Di tengah hiruk-pikuk pembahasan RUU TNI yang baru saja disahkan, ada satu pertanyaan mendasar yang menggantung: Apakah kita sedang menyaksikan proses demokratisasi atau justru militerisasi kehidupan sipil?
Sejak era reformasi, Indonesia berusaha meletakkan militer pada posisi yang tepat - sebagai alat pertahanan negara, bukan penguasa politik. Namun, RUU TNI 2025 ini justru membuka pintu lebar bagi kembalinya intervensi militer dalam urusan sipil.
Pertama, perluasan kewenangan TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) menjadi alarm merah bagi demokrasi. Dengan dalih penanganan narkoba dan keamanan siber, TNI kini memiliki legitimasi untuk masuk ke wilayah yang seharusnya menjadi domain kepolisian dan lembaga sipil. Padahal, Mahkamah Konstitusi sejak 2017 telah tegas menyatakan bahwa TNI harus fokus pada ancaman militer eksternal.
Kedua, praktik penempatan perwira aktif di jabatan sipil yang semakin masif. Data menunjukkan lebih dari 2.500 prajurit aktif kini menduduki posisi-posisi strategis di pemerintahan. Ini bukan sekadar pelanggaran terhadap prinsip supremasi sipil, tapi juga menunjukkan betapa birokrasi kita sedang dimiliterisasi secara sistematis.
Ketiga, absennya reformasi peradilan militer dalam RUU ini. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan personel TNI tetap akan diadili di pengadilan militer yang tertutup dari publik. Padahal, Komite HAM PBB telah merekomendasikan agar kasus-kasus tersebut ditangani peradilan sipil.
Proses pembahasan RUU ini sendiri sarat masalah. Dilakukan di balik pintu tertutup hotel mewah, jauh dari pengawasan publik. Puluhan organisasi masyarakat sipil yang mencoba menyuarakan kritik justru dicap sebagai penyebar hoaks.
Sejarah telah mengajarkan kita bahwa ketika militer terlalu dalam masuk ke ranah sipil, demokrasi yang pertama kali menjadi korban. Lihatlah Myanmar dan Thailand. Apakah kita ingin mengulangi kesalahan yang sama?
Reformasi 1998 seharusnya menjadi momentum untuk menempatkan militer di bawah kendali sipil yang demokratis. Namun dengan RUU ini, kita justru menyaksikan langkah mundur menuju era di mana seragam hijau kembali mendominasi kehidupan berbangsa.
Pilihan sekarang ada di tangan kita: membiarkan demokrasi terkikis perlahan, atau bersikap kritis terhadap setiap upaya militerisasi kehidupan sipil. Karena demokrasi yang sejati mensyaratkan satu hal: militer harus tunduk pada otoritas sipil yang demokratis, bukan sebaliknya.
Referensi:
• Putusan MK No. 56/PUU-XV/2017
• Laporan Imparsial 2023 tentang Militerisasi Birokrasi
• Rekomendasi Komite HAM PBB 2023
• Catatan Kritis Amnesty International terhadap RUU TNI 2025