Putusan MK tentang Pemisahan Pemilu dan Posisi Mahkamah Konstitusi sebagai Negative Legislator
Demokrasi modern tidak hanya berbicara tentang keterlibatan rakyat dalam memilih pemimpin, tetapi juga tentang bagaimana proses tersebut dilaksanakan secara konstitusional, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan. Di Indonesia, pemilu merupakan pilar utama demokrasi, dan desain pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan perundang-undangan turunannya.
Namun, saat desain pemilu itu sendiri menjadi persoalan hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) muncul sebagai aktor sentral yang menentukan arah pelaksanaan demokrasi. Hal ini tercermin dalam Putusan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. yang memisahkan antara pemilu nasional dan daerah.
Putusan ini memunculkan pertanyaan fundamental: Apakah MK masih berada dalam koridor sebagai negative legislator, atau telah berubah menjadi positive legislator?
Baca Juga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/08/amnesti-dan-abolisi.html
- Sejak Pemilu 2019 dilaksanakan secara serentak (pemilihan DPR, DPD, Presiden, dan DPRD dalam satu hari), kritik tajam bermunculan:Beban kerja luar biasa terhadap penyelenggara pemilu, yang menyebabkan ratusan petugas KPPS wafat.
- Kerancuan dalam memilih karena terlalu banyak surat suara.
- Minimnya partisipasi kritis akibat kelelahan dan kebingungan pemilih.
Berdasarkan kritik ini, sejumlah pemohon mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, meminta agar pemilu nasional dan pemilu daerah dipisahkan pelaksanaannya.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa pelaksanaan pemilu secara serentak tidak sepenuhnya menjamin prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (LUBER JURDIL). MK kemudian memutuskan bahwa pemilu legislatif dan presiden harus dilaksanakan terpisah dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Lebih dari itu, MK bahkan menentukan desain dan waktu pelaksanaan pemilu di masa depan. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang batas wewenang Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi Indonesia didirikan berdasarkan inspirasi dari teori Hans Kelsen, yang menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah negative legislator, yakni:
“Constitutional courts are not positive legislators, they do not create laws, but they can nullify laws that are unconstitutional.” – Hans Kelsen, General Theory of Law and State
Sebagai negative legislator, MK hanya berwenang membatalkan norma hukum yang bertentangan dengan UUD 1945. Namun MK tidak memiliki kewenangan untuk menciptakan norma baru atau mendesain sistem politik atau hukum secara substantif.
Baca Juga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/mens-rea-antara-niat-jahat-dan-hak.html
Putusan ini menimbulkan ketegangan antara dua prinsip dasar:
- Pendukung putusan berpendapat bahwa MK telah melakukan koreksi atas sistem pemilu yang tidak efektif dan merusak kualitas demokrasi. Dengan memisahkan pemilu nasional dan lokal, maka:Beban administratif akan berkurang.
- Pemilih lebih fokus dalam menilai calon.
- Pemilu lebih efisien dan partisipatif.
Dalam teori judicial activism, hakim konstitusi memang diberi ruang untuk melakukan interpretasi progresif atas konstitusi guna menjawab kebutuhan zaman. Hal ini menguatkan klaim bahwa MK tidak salah ketika melampaui batas pasif, demi menyelamatkan demokrasi substantif.
2. Risiko Menjadi Positive Legislator
Namun di sisi lain, banyak pakar hukum tata negara menilai bahwa MK telah mengintervensi domain politik hukum pembentuk UU, yaitu DPR dan Presiden. Hal ini menunjukkan gejala judicial overreach, di mana MK bertindak sebagai positive legislator.
Teori separation of power klasik yang dirumuskan oleh Montesquieu menekankan pentingnya pembagian kekuasaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kewenangan. Bila lembaga yudisial (MK) ikut menyusun sistem pemilu, maka ia telah mengambil alih peran legislatif secara de facto.
“Ketika kekuasaan legislatif dan yudikatif berada di tangan yang sama, maka tidak ada kebebasan.” – Montesquieu, The Spirit of Laws
1. Potensi Ketidakpastian Hukum
Putusan ini menciptakan ambiguitas dalam desain pemilu ke depan. KPU dan pemerintah kini berada dalam posisi dilematis: mengikuti UU lama atau menyesuaikan dengan tafsir baru MK?
2. Dugaan Politisasi Putusan
Dalam iklim politik yang sarat kepentingan, putusan MK ini ditafsirkan oleh sebagian pihak sebagai manuver hukum yang bernuansa politis, terutama jika dijadikan dasar penundaan Pilkada 2029.
3. Desakan Revisi UU MK
Banyak akademisi mendorong revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, khususnya untuk mempertegas batas-batas kewenangan MK agar tidak lagi mengulangi pola “legislasi yudisial” secara berlebihan.
Putusan MK tentang pemisahan pemilu menjadi momen penting untuk mengevaluasi peran Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan. Di satu sisi, MK berperan melindungi prinsip demokrasi dan keadilan pemilu. Namun di sisi lain, MK harus tetap menjaga batas antara menafsirkan hukum dan menciptakan hukum.
Dalam negara hukum, keadilan bukan hanya soal isi putusan, tetapi juga soal cara putusan itu dihasilkan dan batas wewenang yang digunakan.
Ke depan, Indonesia perlu memperjelas posisi MK sebagai pengawal konstitusi yang netral, bukan sebagai aktor politik yang menyusun arah demokrasi. Dengan demikian, kita tidak hanya menjaga konstitusi secara tekstual, tetapi juga menjaga ruh demokrasi substantif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Baca Juga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/sengketa-kewenangan-antar-lembaga-negara.html