Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum

 Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum: Mengapa Tidak Mengikat di Indonesia?

Dalam sistem hukum di berbagai negara, yurisprudensi memiliki peran yang krusial dalam menciptakan kepastian dan keadilan hukum. Terutama di negara-negara penganut sistem common law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia, yurisprudensi tidak hanya dihormati, tetapi juga mengikat bagi pengadilan di masa depan. Putusan hakim dalam kasus sebelumnya menjadi precedent (preseden) yang wajib diikuti oleh hakim lain dalam kasus serupa. Namun, situasi berbeda terjadi di Indonesia. Meskipun putusan Mahkamah Agung (MA) kerap dijadikan rujukan dalam praktik hukum, yurisprudensi belum memperoleh kedudukan sebagai sumber hukum yang secara formal dan mengikat. Mengapa demikian? Apa dampaknya bagi sistem peradilan di Indonesia? Dan apakah perlu dilakukan reformasi hukum dalam hal ini?

1. Yurisprudensi: Pengertian dan Fungsinya

Yurisprudensi secara sederhana dapat diartikan sebagai himpunan putusan-putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, dan secara konsisten diterapkan oleh pengadilan dalam memutus perkara-perkara yang sejenis. Dalam konteks teoritis, yurisprudensi dapat dianggap sebagai produk dari kekuasaan kehakiman yang mencerminkan penerapan hukum dalam kehidupan nyata.

Fungsi yurisprudensi bukan hanya sebagai pelengkap hukum tertulis, tetapi juga sebagai pengisi kekosongan hukum (rechtsvinding) ketika peraturan perundang-undangan tidak secara eksplisit mengatur suatu peristiwa hukum. Dalam situasi demikian, hakim memiliki ruang diskresi untuk menggali, mengikuti, dan menemukan hukum melalui putusannya.

BacaJuga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/eksistensi-dpd-ri-dalam-sistem.html

2. Sistem Civil Law vs Common Law: Kedudukan Yurisprudensi

Indonesia menganut sistem civil law, yang menempatkan undang-undang sebagai sumber hukum utama. Dalam sistem ini, peran hakim lebih sebagai "corong undang-undang" (la bouche de la loi), yaitu hanya menerapkan hukum positif sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan sistem common law yang menempatkan hakim sebagai "pembuat hukum" melalui preseden, dalam sistem civil law, yurisprudensi hanya memiliki kekuatan persuasif, bukan mengikat.

Hal ini menyebabkan tidak ada kewajiban formal bagi hakim-hakim lain untuk mengikuti putusan yang sama, walaupun telah diputus oleh MA sekalipun. Dengan kata lain, seorang hakim tingkat pertama dapat menyimpangi yurisprudensi MA tanpa risiko pelanggaran hukum. Ketentuan ini tentu memunculkan polemik tersendiri terkait inkonsistensi dan ketidakpastian hukum di Indonesia.

3. Pro dan Kontra Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum Mengikat

Argumen yang Mendukung Penguatan Yurisprudensi:

  • Menjaga konsistensi hukum: Adanya yurisprudensi yang mengikat akan mencegah putusan yang saling bertentangan dalam kasus serupa, sehingga menumbuhkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.

  • Meningkatkan kepastian hukum: Jika yurisprudensi diakui secara formal, maka masyarakat dan penegak hukum dapat memprediksi arah putusan pengadilan secara lebih rasional.

  • Mengisi kekosongan hukum: Dalam praktiknya, tidak semua situasi dapat diatur secara rinci dalam undang-undang. Yurisprudensi menjadi solusi praktis untuk kasus-kasus yang belum tersentuh legislasi.

Argumen Penolakan atau Kekhawatiran:

  • Potensi penyimpangan kekuasaan hakim: Jika yurisprudensi dijadikan hukum yang mengikat, maka putusan hakim tertentu bisa memiliki kekuatan hukum layaknya undang-undang tanpa melalui proses legislasi yang demokratis.

  • Kurangnya kontrol sistemik: Tidak ada jaminan bahwa semua putusan yurisprudensi telah melalui evaluasi kualitas dan akuntabilitas hukum yang memadai.

  • Keterbatasan akses publik: Banyak putusan yang dijadikan yurisprudensi belum tersedia secara luas dan transparan di publik, yang mengakibatkan disparitas pemahaman antar penegak hukum.

4. Realitas Yurisprudensi di Indonesia

Dalam praktiknya, Mahkamah Agung telah menyusun dan menerbitkan yurisprudensi penting yang mencakup berbagai bidang hukum seperti perdata, pidana, dan tata usaha negara. Beberapa yurisprudensi bahkan dijadikan acuan tetap oleh pengadilan di berbagai daerah. Namun kenyataannya, banyak hakim tingkat pertama dan banding masih enggan mengutip atau mengikuti yurisprudensi secara konsisten. Hal ini terjadi karena tidak ada mekanisme paksaan normatif yang mewajibkan mereka untuk mengikutinya.

Selain itu, tidak adanya sistem klasifikasi yurisprudensi yang rapi dan mudah diakses menyebabkan yurisprudensi hanya diketahui oleh segelintir kalangan akademik atau praktisi hukum tertentu. Akibatnya, potensi besar yurisprudensi dalam mewujudkan keadilan substantif menjadi terabaikan.

5. Solusi: Perlukah Yurisprudensi Dikuatkan?

Beberapa langkah solutif yang dapat dipertimbangkan untuk memperkuat peran yurisprudensi di Indonesia antara lain:

  1. Reformasi legislasi: Perlu dilakukan amandemen terbatas terhadap Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman untuk mengatur bahwa putusan MA tertentu yang telah dianggap sebagai yurisprudensi tetap memiliki kekuatan hukum yang mengikat secara hierarkis.

  2. Digitalisasi dan keterbukaan informasi: Pemerintah dan MA harus mendorong keterbukaan informasi dengan membuat database yurisprudensi yang mudah diakses publik dan dilengkapi dengan klasifikasi tematik.

  3. Pendidikan dan pelatihan bagi hakim: Para hakim harus diberikan pemahaman mendalam tentang pentingnya preseden dan prinsip keadilan substantif agar tidak semata berpegang pada teks undang-undang.

  4. Penerbitan resmi dan sosialisasi: Yurisprudensi yang penting sebaiknya diterbitkan secara resmi dan diberi status khusus, misalnya “Yurisprudensi Tetap” atau “Preseden Nasional”.

6. Kesimpulan

Secara teoritis, yurisprudensi di Indonesia masih menempati posisi sebagai sumber hukum sekunder, yang kekuatan mengikatnya sangat lemah. Namun dalam praktik, peran yurisprudensi semakin penting, terutama untuk menjamin konsistensi dan memperkuat keadilan hukum. Indonesia membutuhkan sistem hukum yang adaptif dan responsif terhadap perkembangan masyarakat. Untuk itu, penguatan yurisprudensi, baik secara hukum formal maupun melalui pengembangan budaya hukum, menjadi sebuah keharusan.

Jika yurisprudensi terus dianggap sebagai "nasihat tanpa taring", maka sistem hukum Indonesia akan terus mengalami tantangan dalam mewujudkan keadilan yang setara bagi seluruh rakyat. Sudah saatnya kita melihat yurisprudensi bukan sekadar pelengkap, tetapi sebagai elemen penting dalam harmoni hukum nasional.

Baca Juga  https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/problematika-presidential-threshold.html


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama