Penulis
1. Ahmad Riyadi 2269010717
2. Ika Safitri 2269010713
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE PERIODE 2024/2025
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunianya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang Kebebasan Berpendapat di Era Digital dan Peran Hukum dalam Mengatur Kebebasan Berpendapat di Era Digital ini sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.
Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum serta meningkatkan pengetahuan tentang Kebebasan Berpendapat di Era Digital dan Peran Hukum dalam Mengatur Kebebasan Berpendapat di Era Digital.
Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Kakaknda Andi Miftahul Amri, S.H, M.H. selaku Dosen Pengampu Filsafat Hukum yang telah membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini.
Watampone, 11 Oktober 2024
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebebasan manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) diantaranya adalah kebebasan hidup dan kesetaraan, kebebasan dari diskriminasi, kebebasan dari penindasan dan penyiksaan, kebebasan berpendapat dan bereksprsi, kebebaan berserikat, kebebasan bergerak, dll. Namun salah satu kebebasan manusia yang sangat penting menjadi perhatian adalah kebebasan berpendapat apalagi di era digital saat ini. Kebebasan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang sangat penting. Kebebasan berpendapat memungkinkan individu untuk mengemukakan pandangan dan opini mereka tanpa takut akan tindakan balasan atau hukuman dari pemerintah atau entitas lain. Dalam deklarasi universal hak asasi manusia, Pasal 19 menyatakan bahwa "Setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan memiliki pendapat tanpa campur tangan dan mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan ide melalui media apa pun dan tanpa memandang batas wilayah." Hal ini menunjukkan pentingnya kebebasan berpendapat dalam menjaga keberlangsungan hak asasi manusia. Namun, dalam praktiknya, kebebasan berpendapat seringkali terbatas oleh undang-undang atau tindakan pemerintah yang membatasi hak ini. Beberapa negara mengakui kebebasan berpendapat sebagai hak konstitusional, tetapi pada kenyataannya hukum dan kebijakan yang diterapkan seringkali membatasi kebebasan berpendapat, seperti kasus pembatasan kebebasan berpendapat di China dan beberapa negara lainnya. Selain itu, kebebasan berpendapat juga terkait erat dengan hak-hak lain, seperti hak atas informasi, hak atas privasi, dan hak atas kebebasan pers. Keterkaitan ini menekankan pentingnya memastikan bahwa kebebasan berpendapat dijaga dan dilindungi dalam konteks yang lebih luas dari hak asasi manusia. Dalam rangka memastikan kebebasan berpendapat dilindungi dan dihargai, perlu adanya kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan media. Masyarakat sipil dapat memainkan peran penting dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat dan memonitor tindakan pemerintah untuk membatasi hak ini. Sedangkan media dapat membantu dalam memastikan akses informasi yang terbuka dan transparan, serta memberikan platform untuk individu dan kelompok untuk mengemukakan pandangan mereka. Jadi kesimpulan dari hal tersebut adalah bagaimana kemudian hak kebebasan berpendapat individu atau manusia bisa dijaga atau terjamin melalui pembenahan atau hukum yang berlaku.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Kebebasan Berpendapat?
2. Bagaimana Tantangan Yang Dihadapi Terhadap Kebebasan Berpendapat di Era Digital?
3. Bagaimana Peran Hukum Dalam Menjamin Kebebasan Berpendapat di Era Digital?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Pengertian Kebebasan Berpendapat Dan Era Digital?
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Tantangan Yang Dihadapi Dalam Kebebasan Berpendapat di Era Digital?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Peran Hukum Dalam Menjamin Kebebasan Berpendapat di Era Digital?
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Kebebasan Berpendapat
Kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang memungkinkan individu untuk mengemukakan, meluapkan, dan menyampaikan gagasan, opini, dan pandangan mereka tanpa hambatan atau represi dari pihak lain, termasuk pemerintah. Konsep ini adalah salah satu elemen kunci dalam demokrasi modern, yang menekankan pentingnya kebebasan individu untuk berpartisipasi dalam proses politik dan menyumbangkan ide-ide mereka untuk kemajuan masyarakat. Pendapat bebas adalah sebuah konsep yang didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dinyatakan dalam berbagai instrumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Piagam Hak Asasi Manusia Eropa.
Kebebasan berpendapat adalah hak yang dimiliki dan dijamin oleh setiap orang oleh negara. Sebagaimana Pasal 28E (3) UUD 1945 menyatakan bahwa semua orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berbicara (Hsb, 2021). Penafsiran pasal ini diselaraskan dengan UU No. 9 Tahun 1998. Kebebasan mengkomunikasikan gagasan secara bebas dan bertanggung jawab, secara lisan, tertulis, dan lain-lain, sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Nasution, 2020). Beberapa pernyataan di atas merupakan bukti bahwa kebebasan merupakan hak asasi manusia yang dijamin dan diatur oleh hukum negara. Beberapa aturan di atas menekankan bahwa kebebasan berpendapat adalah hak fundamental yang dijamin dan dilindungi oleh negara untuk hidup. Perwujudan kebebasan berpendapat dapat berupa tulisan, buku, diskusi atau karya pers. Setiap warga negara dapat secara sah mengungkapkan apa adanya, baik berupa tindakan-tindakan publik yang dilakukan oleh pemerintahmaupun lembaga negara lainnya. Pendapat atau kritik terhadap kebijakan publik merupakan gambaran umum dari tindakan pemerintah. Hal ini diperlukan agar tidak ada kebijakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan kebijakan tersebut jelas menyasar masyarakat. Dalam menilai keadaan demokrasi di Indonesia, ada empat aspek penting yaitu: kebebasan sipil, partisipasi warga negara, yurisdiksi, dan perlindungan hak asasi manusia. Salah satu XA Bab 28E, yang mengatur tentang hak asasi manusia, pada ayat 3 setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan berbicara, negara menjamin dan memberikan kebebasan berpendapat kepada warganya, menyampaikan aspirasi yang sebesar-besarnya, memberikan kepada rakyatnya ruang kontribusi. Untuk melakukan keterlibatan dalam kritik dan proposal konstruktif dimulai dari pendekatan persuasif seperti dialog, diskusi, hubungan persahabatan, konsolidasi, hingga pendekatan massa, misalnya demonstrasi atau demonstrasi, bertindak atas nama rakyat dan menjangkau rakyat, tetapi pada kenyataannya. Kebebasan hak ini seringkali bergaung kontradiktif antara pengemban aspirasi dan penerima aspirasi, dimana kesalahan dan tata cara untuk membawa aspirasi, suara-suara jujur dan suci itu sering dibungkam.
1.2 Tantangan Yang Dihadapi Terhadap Kebebasan Berpendapat di Era Digital
1. Sensor dan Pembatasan terhadap Konten Online
Censorship dan pembatasan konten online dapat dilakukan oleh pemerintah, badan pengawas, atau perusahaan swasta. Tujuannya bisa beragam, seperti melindungi keamanan nasional, menjaga ketertiban sosial, atau mencegah penyebaran informasi yang merugikan. Namun, tindakan semacam ini juga dapat mengekang kebebasan berekspresi individu dan membatasi akses terhadap informasi yang penting contohnya seperti :
a. Sensor dan penyensoran konten Sensor
Sensor dan penyensoran konten Sensor merujuk pada tindakan membatasi, memfilter, atau membatasi akses terhadap informasi yang beredar di media dan platform digital. Hal ini dapat dilakukan oleh pemerintah, perusahaan teknologi, atau pihak lain yang berwenang. Sensor dapat berdampak pada kebebasan berekspresi dengan membatasi akses informasi, membatasi pluralisme pendapat, dan menghambat kebebasan individu untuk menyampaikan pandangan mereka. Teori asimetri informasi mengacu pada situasi di mana satu pihak dalam sebuah transaksi memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi daripada pihak lainnya. Dalam konteks sensorship, pihak yang melakukan sensorship memiliki kendali yang lebih besar terhadap informasi yang dapat diakses oleh masyarakat atau khalayak. Mereka dapat memilih untuk menyensor atau menghilangkan informasi tertentu yang dianggap tidak sesuai atau tidak diinginkan. Penyensoran informasi dalam konteks kebebasan pendapat sering kali bertujuan untuk mempengaruhi persepsi dan pemikiran masyarakat. Ketika pihak yang melakukan sensorship memiliki kontrol atas aliran informasi, mereka dapat memilih untuk menonjolkan atau menyensor pandangan tertentu sesuai dengan kepentingan atau agenda mereka. Hal ini dapat menciptakan asimetri informasi yang signifikan antara pihak yang memegang kendali dan masyarakat yang mengalami sensorship. Dampak dari asimetri informasi dalam sensorship terhadap kebebasan pendapat dapat sangat merugikan. Ketika masyarakat tidak memiliki akses yang luas dan tidak terbatas terhadap informasi yang beragam, mereka cenderung terpapar pada sudut pandang yang sempit dan tidak mendapatkan gambaran yang komprehensif. Hal ini dapat mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk membentuk pendapat yang independen dan kritis.
b. Kekuatan platform digital dalam membatasi kebebasan berpendapat
Kebebasan berbicara dan ekspresi adalah hak asasi manusia yang fundamental, diakui oleh berbagai instrumen internasional seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Namun, dalam era digital, di mana platform-platform digital seperti media sosial, blog, dan forum menjadi tempat utama untuk berinteraksi dan berbagi informasi, pertanyaan tentang batasbatas kebebasan berbicara muncul. Meskipun digital platforms menyediakan aksesibilitas yang luas dan peluang ekspresi yang tidak terbatas, namun juga memiliki potensi dalam membatasi kebebasan berbicara. Salah satu teori yang relevan untuk memahami peran platform-platform digital dalam membatasi kebebasan berbicara adalah teori filter gelembung atau «filter bubble» yang dikemukakan oleh Eli Pariser. Teori ini mengacu pada fenomena di mana algoritma platform digital memilih dan menyajikan konten yang sejalan dengan preferensi dan kepercayaan pengguna, sehingga menciptakan gelembung informasi yang terisolasi. Dalam filter bubble ini, pengguna akan cenderung terpapar dengan pandangan dan opini yang serupa dengan yang mereka miliki, sementara pandangan yang berbeda atau kontroversial diabaikan atau disembunyikan. Dengan demikian, platform-platform digital dapat membatasi eksposur pengguna terhadap perspektif alternatif dan menyebabkan polarisasi opini yang lebih besar dalam masyarakat. Sebagai contoh, sebuah penelitian oleh Pariser (2011) menunjukkan bahwa algoritma Google cenderung menyesuaikan hasil pencarian berdasarkan sejarah pencarian pengguna, preferensi, dan profil demografi. Ini berarti bahwa dua orang yang melakukan pencarian yang sama dapat menerima hasil yang berbeda berdasarkan data yang dikumpulkan oleh platform. Dalam konteks kebebasan berbicara, hal ini dapat mengakibatkan terbatasnya akses pengguna terhadap informasi yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Dengan kata lain, platform-platform digital dapat mengontrol aliran informasi yang mencapai pengguna dan mempersempit keragaman opini. Selain itu, digital platforms juga memiliki kekuatan untuk membatasi kebebasan berbicara melalui praktik sensorship dan moderasi konten. Dalam upaya untuk menjaga etika, keamanan, dan mematuhi hukum lokal atau persyaratan platform, operator platform sering kali menerapkan kebijakan sensorship dan moderasi konten. Namun, implementasi kebijakan ini dapat menjadi subyektif dan kontroversial, dan dalam beberapa kasus, dapat menyebabkan pembatasan kebebasan berbicara. Sebagai contoh, beberapa platform media sosial telah menghapus atau membatasi konten yang dianggap melanggar kebijakan mereka terkait kebencian, kekerasan, atau diskriminasi. Namun, dalam beberapa kasus, batasan ini dapat diperluas ke konten yang sebenarnya masuk dalam ranah kebebasan berbicara dan ekspresi yang dilindungi. Penelitian oleh Roberts et al. (2018) menemukan bahwa filter moderasi otomatis pada platform media sosial sering kali memblokir atau menyembunyikan konten yang tidak melanggar aturan, tetapi memiliki karakteristik yang mirip dengan konten yang melanggar. Hal ini menunjukkan bahwa implementasi sensorship dan moderasi konten yang tidak tepat dapat membatasi kebebasan berbicara secara tidak adil.
2. Penyebaran Hoaks, Berita Palsu, dan Disinformasi
Pendapat merupakan hak asasi yang penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis. Kebebasan pendapat memungkinkan individu untuk menyatakan pikiran, keyakinan, dan pandangan mereka tanpa takut dihukum atau diintimidasi. Namun, dalam era digital yang semakin terhubung, penyebaran hoaks telah menjadi tantangan serius bagi kebebasan pendapat. Hoaks adalah informasi palsu atau menyesatkan yang disebarkan dengan maksud menipu atau mempengaruhi orang lain. Penyebaran hoaks dapat merusak kepercayaan publik, mempengaruhi proses demokrasi, dan bahkan mengancam stabilitas sosial. Dalam konteks kebebasan pendapat, penyebaran hoaks menciptakan permasalahan yang kompleks. Pada satu sisi, ada kebutuhan untuk melindungi kebebasan pendapat dan menghindari sensor informasi. Pada sisi lain, penyebaran hoaks dapat menimbulkan dampak yang merugikan pada individu dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu ada keseimbangan yang tepat antara kebebasan pendapat dan upaya untuk melawan penyebaran hoaks. Sebagai tantangan terhadap kebebasan pendapat, penyebaran hoaks memiliki beberapa aspek yang harus dipahami. Pertama, hoaks sering kali menyebar dengan cepat melalui media sosial dan platform digital lainnya. Informasi palsu dapat dengan mudah beredar dan menjangkau audiens yang lebih luas daripada sebelumnya. Hal ini memperkuat efek hoaks dan meningkatkan potensi kerusakan yang bisa ditimbulkannya. Kedua, hoaks sering kali dibuat dengan tujuan politik, ekonomi, atau sosial tertentu. Pihak-pihak yang tertarik dapat dengan sengaja menyebarkan hoaks untuk mempengaruhi opini publik, memperoleh keuntungan finansial, atau mengganggu stabilitas sosial. Misalnya, dalam konteks politik, hoaks dapat digunakan untuk menggiring opini publik atau mempengaruhi hasil pemilihan. Ketiga, penyebaran hoaks dapat menciptakan perpecahan dan konflik dalam masyarakat. Misinformasi yang menyebar dapat memperkuat pemisahan antara kelompok sosial, menciptakan ketidakpercayaan, dan memperburuk polarisasi. Selain itu, hoaks dapat merusak reputasi individu atau lembaga, menciptakan kebencian dan ketidakstabilan sosial contohnya sendiri seperti :
a. Kejahatan Siber dan Pelanggaran Privasi
Kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang diakui dan dijunjung tinggi dalam masyarakat demokratis. Namun, dalam era digital saat ini, kebebasan berpendapat sering kali terancam oleh tindakan kriminal dan pelanggaran privasi yang terjadi secara daring. Cybercrime dan pelanggaran privasi dalam konteks kebebasan berpendapat menjadi isu yang kompleks dan mendesak yang perlu ditangani dengan serius. Salah satu bentuk cybercrime yang paling umum adalah serangan terhadap situs web dan jaringan komputer. Serangan ini dapat mengakibatkan penyensoran informasi, penyebaran propaganda yang salah, atau bahkan penghapusan data penting. Dalam konteks kebebasan berpendapat, serangan semacam itu dapat merugikan opini publik dan menghambat akses terhadap informasi yang sah dan beragam. Misalnya, serangan terhadap situs web media independen dapat membatasi akses masyarakat terhadap berita yang berbeda pandangan atau kritis terhadap pemerintah. Selain serangan terhadap situs web, cybercrime juga dapat melibatkan pencurian identitas dan penipuan daring. Individu yang berbicara atau menyuarakan pendapat mereka secara online dapat menjadi target pencurian identitas, yang dapat mengakibatkan penyalahgunaan informasi pribadi dan merusak reputasi mereka. Pencurian identitas juga dapat digunakan untuk menyensor atau menghentikan penyebaran informasi yang tidak diinginkan oleh pihak yang berkepentingan. Akibatnya, kebebasan berpendapat individu dapat terancam karena takut akan konsekuensi yang mungkin timbul dari ekspresi mereka. Selain cybercrime, pelanggaran privasi juga menjadi perhatian utama dalam konteks kebebasan berpendapat. Pihak-pihak yang ingin membatasi kebebasan berpendapat seringkali memanfaatkan pengumpulan dan pemantauan data pribadi pengguna daring untuk membatasi akses atau mengendalikan informasi yang beredar. Dalam beberapa kasus, data pribadi dapat digunakan untuk mengintimidasi individu dan menghentikan mereka dalam menyuarakan pendapat atau menyebarkan informasi. Ketika pelanggaran privasi terjadi dalam konteks kebebasan berpendapat, efeknya bisa sangat merusak. Pengguna internet yang merasa terawasi atau takut akan penyalahgunaan data pribadi mereka mungkin akan menahan diri dalam menyampaikan opini yang kontroversial atau berbeda pendapat. Hal ini berpotensi menyebabkan penyensoran diri dan merusak kehidupan berdemokrasi yang sehat. Kebebasan berpendapat memerlukan lingkungan yang aman dan bebas dari ancaman untuk memungkinkan individu menyuarakan pendapat mereka tanpa rasa takut atau ketakutan.
b. Kebencian dan Ancaman Online
Online hate atau kebencian online merujuk pada setiap bentuk perilaku online yang merendahkan, mendiskriminasi, atau menghasut kebencian terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, agama, etnisitas, jenis kelamin, orientasi seksual, atau atribut lainnya. Hal ini dapat terjadi melalui komentar yang menghina, meme yang merendahkan, atau kampanye penyebaran pesan kebencian yang sistematis. Sementara itu, online threats atau ancaman online adalah ungkapan atau perilaku yang mengancam kehidupan, keamanan, atau integritas seseorang melalui media digital. Ancaman ini bisa berupa ancaman fisik, seperti ancaman kekerasan atau pembunuhan, atau ancaman non-fisik, seperti ancaman pencemaran nama baik atau penyebaran informasi pribadi yang merugikan. Kebebasan berpendapat adalah nilai yang penting dalam masyarakat demokratis. Ini memberikan warga negara hak untuk mengemukakan pandangan mereka, memperdebatkan isu-isu penting, dan berpartisipasi dalam proses pembuatan keputusan. Namun, kebebasan ini bukanlah hak tanpa batas. Ada batasan-batasan yang diakui secara umum, seperti larangan untuk menyebarkan kebencian, melakukan pencemaran nama baik, atau mendorong tindakan kekerasan. Dalam konteks kebebasan berpendapat, online hate dan threats menimbulkan tantangan serius. Mereka dapat membatasi kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam diskusi publik secara bebas dan menyebabkan kerusakan psikologis, emosional, dan bahkan fisik pada targetnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memahami dan mengatasi fenomena ini tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar kebebasan berpendapat. Ada berbagai faktor yang dapat menyebabkan munculnya online hate dan threats. Salah satunya adalah anonimitas yang ditawarkan oleh internet. Ketika orang merasa dapat bersembunyi di balik identitas online mereka, mereka mungkin merasa lebih berani dan terlindungi dari konsekuensi hukum atau sosial atas tindakan mereka. Anonimitas ini memungkinkan penyebaran pesan kebencian tanpa perlu menghadapi akibat langsung dari tindakan tersebut. Selain itu, faktor psikologis seperti efek deindividuasi juga dapat berperan dalam mendorong online hate dan threats. Ketika individu merasa mereka adalah bagian dari kerumunan online yang besar, mereka mungkin kehilangan rasa tanggung jawab pribadi dan merasa lebih bebas untuk mengungkapkan sikap negatif atau mengancam orang lain. Dalam beberapa kasus, faktor sosial seperti ketidaksetaraan dan ketegangan antar kelompok juga dapat menjadi pemicu online hate dan threats. Konflik sosial yang ada di dunia nyata sering kali dapat diperbesar dalam lingkungan digital, di mana pesan kebencian dan ancaman dapat menyebar dengan cepat dan mencapai audiens yang lebih luas. Online hate dan threats memiliki dampak negatif yang signifikan pada individu dan masyarakat secara keseluruhan. Bagi individu yang menjadi sasaran, mereka dapat mengalami stres emosional, ketakutan, depresi, dan bahkan trauma psikologis. Dalam kasus yang paling ekstrem, ancaman online dapat berujung pada kekerasan fisik atau kematian, seperti yang telah terjadi dalam beberapa kasus pengeboman atau penembakan massal yang dilakukan oleh individu yang terpengaruh oleh pesan kebencian online. Selain itu, online hate dan threats juga dapat merusak kehidupan sosial dan profesional seseorang. Ancaman atau serangan terhadap reputasi online dapat menghancurkan karier atau kesempatan kerja, mengisolasi individu dari komunitas online, dan membatasi partisipasi mereka dalam kehidupan publik. Pemerintah dan lembaga internasional telah merespons fenomena online hate dan threats melalui berbagai upaya hukum dan regulasi. Namun, ada tantangan dalam mengatasi masalah ini tanpa mengorbankan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh undang-undang. Dalam banyak yurisdiksi, kebebasan berpendapat dianggap sebagai hak yang fundamental, dan pembatasan atas kebebasan ini harus sesuai dengan prinsip-prinsip legalitas, proporsionalitas, dan kepentingan umum. Beberapa negara telah menerapkan undang-undang yang mengkriminalisasikan tindakan online hate dan threats. Misalnya, beberapa negara memiliki hukum yang melarang pencemaran nama baik, penyebaran pesan kebencian, atau ancaman terhadap individu atau kelompok tertentu. Namun, ada perdebatan tentang apakah pendekatan hukum yang keras adalah solusi yang efektif dan sejalan dengan prinsip kebebasan berpendapat. Selain tanggapan hukum, pendekatan lain yang penting adalah pendidikan dan kesadaran masyarakat. Pendidikan tentang etika berinternet, kesadaran tentang dampak negatif dari online hate dan threats, serta promosi penggunaan yang bertanggung jawab dari media sosial dan platform online dapat membantu mengurangi prevalensi fenomena ini. Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan perusahaan teknologi juga penting untuk mengembangkan solusi yang holistik dan efektif.
1.3 Peran Hukum Dalam Menjamin Kebebasan Berpendapat di Era Digital
1. Undang-undang dan regulasi yang melindungi kebebasan berpendapat online
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah perjanjian internasional yang menjadi landasan bagi organisasi tersebut. Dalam menghadapi perkembangan pesat teknologi informasi, penting untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi juga dilindungi dalam konteks online. Oleh karena itu, sebuah regulasi diperlukan untuk melindungi kebebasan berekspresi online secara efektif. Regulasi ini harus didasarkan pada teori dan bukti ilmiah yang kuat. Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang penting dan diakui secara universal. Ini adalah hak bagi individu untuk mengemukakan pendapat, mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan tanpa hambatan. Kebebasan berekspresi juga mencakup hak untuk berbagi informasi dan berkomunikasi melalui media apa pun, termasuk internet. Untuk melindungi kebebasan berekspresi online, regulasi yang efektif harus memperhatikan beberapa prinsip teoritis dan bukti ilmiah.
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) Indonesia adalah konstitusi negara yang mengatur hak-hak dan kewajiban warga negara Indonesia. UUD 45 secara tegas menjamin kebebasan berpendapat dan menyampaikan pikiran secara lisan, tulisan, gambar, atau media lainnya. Dalam era digital saat ini, kebebasan berpendapat dan berekspresi telah meluas ke dunia online. Oleh karena itu, regulasi yang melindungi kebebasan berekspresi online sangat penting untuk menjamin hak asasi manusia dan demokrasi. UUD 45 mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah diakui secara internasional. Salah satu dokumen penting yang menjadi dasar bagi kebebasan berekspresi adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948. Pasal 19 DUHAM menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa campur tangan, baik secara verbal maupun non-verbal. Prinsip-prinsip ini harus diakui dan dihormati oleh setiap negara, termasuk Indonesia.
Pasal 19 UU ITE menyatakan bahwa setiap orang berhak mengakses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dengan tetap menghormati undang-undang yang berlaku. Dalam konteks ini, kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi merupakan hak konstitusional yang diakui oleh negara. Tetapi kebebasan berekspresi juga harus diimbangi dengan tanggung jawab. UU ITE melarang konten-konten yang mengandung fitnah, pencemaran nama baik, penghinaan, atau konten yang berpotensi menyebabkan kebencian dan konflik antarindividu atau kelompok.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) di Indonesia memainkan peran penting dalam mengatur penggunaan internet dan melindungi kebebasan berekspresi secara online. Kominfo telah mengeluarkan serangkaian regulasi yang bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab pengguna internet. Salah satu regulasi yang relevan adalah Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2022 tentang Keamanan dan Perlindungan Data Pribadi di Internet. Regulasi ini bertujuan untuk melindungi privasi dan keamanan data pribadi pengguna internet, sehingga pengguna dapat berekspresi tanpa takut data pribadi mereka disalahgunakan. Regulasi ini juga mengatur kewajiban bagi penyelenggara sistem elektronik untuk melindungi data pribadi pengguna dan memberikan penggunaan data yang transparan.
Selain itu, Kominfo juga mengeluarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2021 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan Konten Digital. Regulasi ini mengatur tanggung jawab penyedia layanan aplikasi dan konten digital untuk mengawasi dan menghapus konten yang melanggar hukum, termasuk yang menyinggung, menghina, atau memicu kebencian terhadap individu atau kelompok tertentu. Namun, regulasi ini juga mengakui pentingnya kebebasan berekspresi dengan mengatur prosedur yang adil dan transparan dalam penghapusan konten yang diduga melanggar.
2. Pendidikan dan literasi digital
Pendidikan dan literasi digital telah menjadi hal yang semakin penting dalam era digital ini. Dalam masyarakat yang semakin terhubung secara online, kemampuan untuk berpartisipasi aktif dalam dunia digital adalah suatu keharusan. Selain memberikan akses ke informasi dan pengetahuan yang melimpah, pendidikan dan literasi digital juga memiliki peran penting dalam meningkatkan kebebasan berekspresi individu. Kebebasan berekspresi adalah hak asasi manusia yang melindungi kemampuan individu untuk menyampaikan, menerima, dan berbagi informasi dan ide tanpa hambatan. Dalam konteks digital, kebebasan berekspresi menjadi semakin relevan karena internet telah menjadi platform utama untuk menyebarkan informasi dan mempertukarkan gagasan. Namun, untuk benar-benar menghargai dan melindungi kebebasan berekspresi, individu perlu memiliki kemampuan dan literasi digital yang memadai. Pendidikan digital adalah proses pemberian pengetahuan dan keterampilan tentang penggunaan teknologi digital dan internet. Melalui pendidikan digital, individu dapat memahami cara menggunakan dan berpartisipasi secara efektif dalam dunia digital. Ini mencakup pengetahuan tentang keamanan digital, privasi online, verifikasi informasi, dan etika berinternet. Dengan pemahaman yang kuat tentang aspek-aspek ini, individu dapat melindungi diri mereka sendiri dan orang lain dari ancaman digital, serta secara bertanggung jawab menggunakan platform digital untuk berkomunikasi dan berbagi gagasan. Literasi digital berkaitan dengan kemampuan individu untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan informasi secara kritis melalui media digital. Ini melibatkan kemampuan untuk memahami dan mengevaluasi keaslian, kredibilitas, dan relevansi informasi yang ditemukan secara online. Dengan literasi digital yang kuat, individu dapat membedakan antara fakta dan opini, mengidentifikasi bias informasi, dan memahami konsekuensi dari tindakan online mereka. Literasi digital juga melibatkan pemahaman tentang hak-hak kebebasan berekspresi dan tanggung jawab yang terkait dengan penggunaan platform digital. Dalam studi yang dilakukan oleh Abers, Soares, dan Sampaio (2020), mereka menemukan bahwa pendidikan dan literasi digital berkontribusi pada peningkatan kebebasan berekspresi. Individu yang memiliki pengetahuan dan keterampilan digital yang baik cenderung lebih percaya diri dalam menyampaikan pendapat mereka secara online. Mereka mampu menggunakan media sosial dan platform digital dengan bijaksana, dan lebih mampu melindungi diri mereka sendiri dari ancaman seperti hoaks, pelecehan online, atau sensor dari pemerintah atau pihak ketiga.
3. Kolaborasi antara Pemerintah, Platform Digital, dan Masyarakat Sipil
Kolaborasi antara pemerintah, platform digital, dan masyarakat sipil dalam upaya mempertahankan kebebasan berpendapat di era digital telah menjadi isu yang semakin penting. Dalam dunia yang semakin terhubung, internet dan platform digital telah menjadi sarana utama bagi individu untuk berbagi informasi, berkomunikasi, dan menyampaikan pendapat mereka. Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi digital juga telah membawa tantangan baru dalam mempertahankan kebebasan berbicara dan berpendapat. Pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga kebebasan berpendapat di era digital. Mereka harus menciptakan kebijakan yang melindungi hak-hak individu untuk berpendapat secara bebas tanpa takut sensor atau represi. Namun, dalam melakukannya, pemerintah juga perlu memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Mereka harus bekerja sama dengan platform digital untuk mengembangkan kerangka kerja yang mempromosikan kebebasan berpendapat, sambil tetap mempertimbangkan perlindungan privasi dan keamanan pengguna. Platform digital, seperti media sosial dan mesin pencari, juga memiliki peran penting dalam mempertahankan kebebasan berpendapat. Mereka harus memastikan bahwa algoritma mereka tidak membatasi akses atau menutup suara-suara yang berbeda. Platform-platform ini harus transparan dalam memoderasi konten, menghormati kebebasan berpendapat, dan memberikan ruang bagi diskusi yang sehat dan inklusif. Selain itu, mereka juga harus bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengembangkan standar dan praktik terbaik dalam menjaga kebebasan berpendapat di platform mereka. Platform digital, seperti media sosial dan mesin pencari, juga memiliki peran penting dalam mempertahankan kebebasan berpendapat. Mereka harus memastikan bahwa algoritma mereka tidak membatasi akses atau menutup suarasuara yang berbeda. Platform-platform ini harus transparan dalam memoderasi konten, menghormati kebebasan berpendapat, dan memberikan ruang bagi diskusi yang sehat dan inklusif. Selain itu, mereka juga harus bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengembangkan standar dan praktik terbaik dalam menjaga kebebasan berpendapat di platform mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan Makalah tentang Kebebasan Berpendapat di Era Digital dan Peran Hukum dalam Pengaturannya dimana, Kebebasan berpendapat di era digital adalah hak fundamental yang dijamin oleh berbagai konstitusi dan perjanjian internasional. Kebebasan ini mencakup hak individu untuk mengekspresikan pikiran, ide, dan opini tanpa takut mendapatkan tekanan atau ancaman. Namun, kebebasan ini dihadapkan pada tantangan signifikan di era digital, terutama terkait dengan penyebaran informasi yang tidak benar (misinformasi), ujaran kebencian, hingga konten berbahaya lainnya.Tantangan yang dihadapi dalam kebebasan berpendapat di dunia digital meliputi masalah penyalahgunaan kebebasan itu sendiri, misalnya penyebaran hoaks yang dapat merugikan masyarakat, serta kurangnya literasi digital yang mengakibatkan masyarakat mudah terpengaruh oleh informasi yang salah. Selain itu, platform digital yang besar dan bersifat global juga menghadirkan tantangan baru dalam penegakan hukum, terutama ketika suatu pernyataan melanggar hukum suatu negara, tetapi dilindungi di yurisdiksi lain.Peran hukum sangat penting dalam mengatur kebebasan berpendapat di era digital. Regulasi yang tepat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan antara melindungi hak berpendapat dan menjaga ketertiban umum. Hukum nasional dan internasional perlu menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi, misalnya dengan mengatur platform media sosial yang sering menjadi sarana utama penyebaran opini publik. Selain itu, peran negara dalam menerapkan hukum harus memperhatikan prinsip proporsionalitas, yaitu kebijakan yang tidak boleh membatasi kebebasan secara berlebihan atau sewenang-wenang.Dengan demikian, hukum harus hadir sebagai pelindung kebebasan berpendapat tanpa mengesampingkan tanggung jawab yang menyertainya. Pengaturan yang efektif akan membantu membentuk ruang digital yang lebih aman, seimbang, dan adil bagi semua penggunanya.
3.2 Saran
Berdasarkan hasil pencarian ini dapat dikemukakan saran sebagai berikut:
a. Saran untuk diri sendiri
Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki. Hal ini di karenakan masih minimnya pengetahuan kami. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca materi yang kami buat sangat di harapkan sebagai bahan evaluasi kedepannya.
b. Saran untuk calon pendidik Calon pendidik di harapkan lebih mampu lagi mendalami materi Kebebasan Berpendapat di Era Digital dan Peran Hukum dalam Mengatur Kebebasan Berpendapat di Era Digital.
DAFTAR PUSTAKA
Abers, R., Soares, G., & Sampaio, R. (2020). Education, Digital Literacy, and Freedom of Expression. In J. Novais, R. W. L. Coutinho, R. N. Rosa, & F. Machado (Eds.), Proceedings of the 11th International Conference on Theory and Practice of Electronic Governance (ICEGOV 2020), 151– 154. Association for Computing Machinery. https://doi. org/10.1145/3405264.3405331 Abrami, P. C., Bernard, R. M., Borokh.
Marwandianto, M., & Nasution, H. A. (2020). Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi dalam Koridor Penerapan Pasal 310 dan 311 KUHP. Jurnal HAM, 11(1), 1. https://doi.org/10.30641/ham.2020.11.1-25.
Roberts, R., Tynes, B. M., & Foucault-Welles, B. (2018). Filtering through the Bots: Automated moderation and censorship on social media platforms. Social Media + Society, 4(3), 2056305118789678.
Syamsidar, Syamsidar, et al. "Tantangan dalam Menjaga Kebebasan Berpendapat di Era Digital." (2023): 1-194.
Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think. Penguin UK.
Tags:
Filsafat Hukum