Bgian 1.2 Konstitusi sebagai Kontrak Sosial dan Fondasi Kekuasaan


    Konstitusi bukan hanya sekadar naskah hukum yang menjadi dasar berjalannya pemerintahan, melainkan juga simbol perjanjian kolektif antara rakyat dan penguasa. Dalam teori kontrak sosial yang dipopulerkan oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan Jean-Jacques Rousseau, keberadaan konstitusi merupakan bentuk kesepakatan masyarakat untuk keluar dari kondisi alamiah yang penuh ketidakpastian dan kekacauan menuju tatanan sosial yang lebih stabil dan tertib.

    Thomas Hobbes dalam Leviathan mengusulkan bahwa manusia secara naluriah akan saling bersaing dan saling mengancam satu sama lain demi mempertahankan hidup. Oleh karena itu, individu menyerahkan hak-haknya kepada suatu otoritas tertinggi, yaitu negara, agar dapat hidup damai dalam masyarakat yang teratur. Namun, kontrak sosial versi Locke dan Rousseau menekankan bahwa penyerahan kekuasaan kepada negara harus disertai jaminan terhadap hak-hak dasar warga negara. Kekuasaan yang tidak tunduk pada hukum adalah bentuk tirani dan karenanya kehilangan legitimasi.

    Di sinilah peran konstitusi menjadi vital. Konstitusi menetapkan struktur kekuasaan, distribusi kewenangan antar lembaga, serta menjamin perlindungan terhadap hak-hak warga negara. Dengan kata lain, konstitusi tidak hanya menjadi blueprint tata kelola negara, tetapi juga sumber legitimasi moral dan politik bagi penguasa. Tanpa konstitusi, tidak ada dasar hukum yang sah bagi pemerintah untuk bertindak atas nama rakyat.

    Dalam konteks negara hukum modern, seperti Indonesia, prinsip constitutional supremacy menempatkan konstitusi di atas segala produk hukum lainnya. Segala bentuk peraturan dan tindakan pemerintahan harus sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi berarti melanggar kehendak rakyat yang berdaulat.

    Mahkamah Konstitusi RI mengidentifikasi tiga fungsi utama konstitusi: pertama, sebagai alat pembatas kekuasaan agar tidak disalahgunakan; kedua, sebagai pengatur hubungan antar lembaga negara dan antara negara dengan warga; dan ketiga, sebagai dasar legitimasi kekuasaan itu sendiri. Fungsi ini mengukuhkan posisi konstitusi sebagai dokumen hidup (living constitution) yang menjadi rujukan utama dalam penyelenggaraan negara.

    Hans Kelsen, dalam teori hukum murninya, menyebut konstitusi sebagai Grundnorm, norma dasar yang menjadi titik pijak sistem hukum lainnya. Tanpa adanya konstitusi, sistem hukum akan kehilangan struktur hirarkisnya, dan legitimasi negara akan kabur. Ini menunjukkan bahwa konstitusi bukan hanya penting secara normatif, tetapi juga esensial secara ontologis bagi keberadaan negara itu sendiri.

    Lebih lanjut, dalam pengalaman Indonesia, UUD 1945 telah mengalami empat kali amandemen pasca reformasi untuk menyesuaikan dengan aspirasi demokrasi dan supremasi hukum. Amandemen ini dilakukan melalui proses politik dan hukum yang sah, menunjukkan bahwa kontrak sosial selalu terbuka untuk perubahan, selama tetap dalam kerangka konstitusional.

    Dengan demikian, konstitusi tidak hanya menjadi alat legalitas bagi pemerintah, melainkan perwujudan nilai-nilai luhur bangsa yang disepakati secara kolektif. Menjaga dan menegakkan konstitusi berarti menjaga legitimasi kekuasaan dan stabilitas sosial yang telah diperjuangkan bersama. Dalam konteks ini, kesadaran konstitusional harus menjadi bagian integral dari budaya hukum bangsa.

REFENSI

Rousseau, J.J. (1762). *The Social Contract*.

Hobbes, T. (1651). *Leviathan*.

Locke, J. (1689). *Two Treatises of Government*.

Mahkamah Konstitusi RI. (2020). *Naskah Akademik dan Putusan-Putusannya*.

Kelsen, H. (1967). *Pure Theory of Law*. University of California Press.

Asshiddiqie, J. (2006). *Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia*. Jakarta: Ko

nstitusi Press.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama