HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MENURUTKUH-PERDATA

MAKALAH HUKUM PERDATA
HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT
KUH-PERDATA




Dosen Pengampu:
Andi Miftahul Amri, S.H., M.H.

Disusun Oleh:
Kelompok 5
Nur Anisa 23690107018
Nabila Cahya Malika 23690107027
Muh. Alief Tito Rahman 23690107022
Yuda Alphiranda Halid 23690107026



PRODI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
2025


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perjanjian jual beli, sebagai salah satu bentuk transaksi ekonomi, memiliki dasar hukum yang kuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) Indonesia. Pentingnya perjanjian jual beli dalam aktivitas ekonomi menggarisbawahi perlunya regulasi yang jelas untuk melindungi hak-hak dan menegakkan kewajiban pihak-pihak yang terlibat. Melalui KUH-Perdata, hukum memberikan panduan tentang aspek-aspek kritis perjanjian jual beli, seperti penyerahan barang, hak kepemilikan, pembayaran, dan jaminan atas kualitas barang.
Namun, dalam pelaksanaannya masih banyak pihak yang lalai dalam memenuhi kewajibannya sehingga menimbulkan permasalahan hukum. Berdasarkan hal tersebut, makalah ini disusun untuk membahas tentang definisi jual beli, unsur dan syarat, serta hak dan kewajiban dalam jual beli menurut KUH-Perdata, dan sanksi yang dikenakan terhadap pelanggar hak dan kewajiban dalam jual beli.
Rumusan Masalah
Bagimana definisi jual beli?
Bagaimana unsur dan syarat perjanjian sah dalam KUH-Perdata?
Bagimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli menurut KUH-Perdata?
Bagaimana sanksi bagi para pihak pelanggar hak dan kewajiban jual beli?
Tujuan
Dapat mengetahui definisi jual beli.
Dapat mengetahui unsur dan syarat perjanjian sah dalam KUH-Perdata.
Dapat mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian jual beli menurut KUH-Perdata.
Dapat mengetahui sanksi bagi pihak pelanggar hak dan kewajiban jual beli.
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Jual Beli
Jual beli terdiri dari dua suku kata yaitu “jual dan beli”. Kata jual menunjukkan adanya perbuatan menjual sedangkan beli adalah adanya perbuatan membeli. Sehingga jual beli merupakan perbuatan dua pihak, pihak yang satu sebagai penjual/menjual dan pihak yang laing sebagai pembeli/membeli, maka dalam hal ini terjadilah suatu peristiwa hukum yaitu jual beli. Jual beli merupakan peristiwa hukum pada ranah perdata, menurut Soeroso jual beli termasuk peristiwa hukum majemuk yaitu terdiri dari lebih dari satu peristiwa yakni pada jual beli akan terjadi peristiwa tawar menawar, penyerahan barang, penerimaan barang. Jual beli merupakan peristiwa perdata yang paling sering dilakukan oleh orang demi memperoleh hak milik atas suatu benda. Sebagian besar benda yang dipunyai seseorang, hak milik atas benda tersebut diperoleh karena adanya penyerahan oleh pihak lain, yakni penjual. Peristiwa perdata atau titel berupa Perjanjian Jual Beli mendominasi kepemilikan benda yang dipunyai oleh setiap anggota masyarakat. 
Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pengertian tersebut, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban, yaitu yang pertama kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Yang kedua, kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang dibeli kepada penjual. 
Menurut Wirjono Prodjodikoro, jual beli adalah suatu persetujuan dimana suatu pihak mengikat diri untuk wajib menyerahkan suatu barang dan pihak lain wajib membayar harga, yang dimufakati mereka berdua. Selanjutnya, Volmar sebagaimana dikutip oleh Suryodiningrat mengatakan bahwa jual beli adalah pihak yang satu penjual (verkopen) mengikatkan dirinya kepada pihak lainnya pembeli (loper) untuk memindah tangankan suatu benda dalam eigendom dengan memperoleh pembayaran dari orang yang disebut terakhir, sejumlah tertentu, berwujud uang.
Unsur dan Syarat Perjanjian Sah Menurut KUH-Perdata
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH-Perdata) di Indonesia, agar suatu perjanjian jual beli dianggap sah, harus memenuhi unsur dan syarat yang ditetapkan. Berikut adalah unsur-unsur dan syarat-syarat perjanjian sah menurut KUHPerdata: 
Unsur-unsur Perjanjian: 
Kesepakatan (Consensus): Para pihak harus sepakat untuk membuat perjanjian. Kesepakatan ini harus bersifat serius dan dengan itikad baik dari kedua belah pihak.
Kecakapan Hukum (Capacitas): Para pihak yang terlibat dalam perjanjian harus memiliki kecakapan hukum. Artinya, mereka harus memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian, yang dapat dipengaruhi oleh usia, kondisi mental, atau keadaan hukum tertentu.
Objek yang Halal (Objek yang dapat dipindahtangankan): Objek perjanjian harus sah secara hukum dan dapat dipindahtangankan. Barang atau jasa yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan hukum atau kesusilaan.
Sebab (Causa): Perjanjian harus memiliki sebab yang sah atau alasan yang sah untuk dilakukan. Sebab tersebut tidak boleh melanggar hukum atau kesusilaan. 
Dalam menyusun perjanjian, para pihak harus memastikan bahwa terdapat kesepakatan yang serius dan itikad baik, kecakapan hukum para pihak, objek perjanjian yang sah, dan sebab yang tidak melanggar hukum. Kehadiran semua unsur tersebut penting untuk memastikan keberlakuan dan keabsahan perjanjian dalam konteks hukum perdata di Indonesia. Mematuhi unsur-unsur ini tidak hanya menciptakan perjanjian yang sah secara hukum, tetapi juga menciptakan dasar yang kuat untuk hubungan yang adil dan bermoral antara para pihak.
Syarat-syarat Perjanjian: 
Tentang Barang dan Jasa: Perjanjian jual beli harus jelas mengenai barang atau jasa yang menjadi objek perjanjian, termasuk jumlah, kualitas, dan spesifikasi yang telah disepakati.
Harga yang Pasti: Perjanjian jual beli harus mencakup harga yang pasti atau dapat ditentukan. Harga harus jelas dan dapat diidentifikasi dengan jelas oleh para pihak.
Waktu Penyerahan: Perjanjian jual beli sebaiknya mencantumkan waktu atau batas waktu penyerahan barang atau jasa yang telah disepakati oleh para pihak.
Itikad Baik (Bonafide): Para pihak harus bertindak dengan itikad baik atau niat baik untuk menjalankan perjanjian dengan sungguh sungguh.
Kebenaran dan Kepastian: Informasi yang diberikan oleh pihak yang membuat perjanjian harus benar dan jujur. Para pihak harus menyampaikan informasi yang diperlukan untuk membuat keputusan yang tepat.
Sesuai dengan Hukum dan Peraturan: Perjanjian jual beli tidak boleh bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
Dengan mematuhi syarat-syarat perjanjian di atas, para pihak dapat memastikan bahwa perjanjian jual beli tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga membentuk dasar yang kuat untuk pelaksanaan yang efektif dan saling menguntungkan. Keseluruhan, syarat-syarat ini menciptakan landasan yang transparan, adil, dan berintegritas dalam konteks perjanjian jual beli.
Hak dan Kewajiban Pihak Pejanjian Jual Beli Menurut KUH-Perdata
Hak adalah kewenangan atau keistimewaan yang diberikan kepada seseorang atau kelompok untuk melakukan sesuatu atau memperoleh sesuatu. Dalam konteks hukum, hak dapat diartikan sebagai klaim atau tuntutan yang diakui oleh hukum untuk melakukan atau melakukan memperoleh sesuatu. sesuatu, atau untuk Hak juga dapat dibedakan antara hak perdata (hak yang dapat dipertahankan di pengadilan) dan hak alamiah (hak yang diyakini sebagai hak dasar yang dimiliki setiap individu). 
Kewajiban adalah tanggung jawab atau tugas yang harus dilaksanakan oleh seseorang atau kelompok. Dalam konteks hukum, kewajiban adalah suatu tindakan atau kewenangan yang diamanatkan oleh hukum dan diharapkan untuk dilakukan atau dihindari oleh individu atau pihak tertentu. Kewajiban dapat bersifat hukum, kontraktual, moral, atau sosial, dan tidak memenuhi kewajiban tersebut dapat berakibat pada sanksi atau tanggung jawab hukum. Pemahaman yang baik mengenai kewajiban adalah kunci untuk membangun tatanan hukum dan sosial yang berfungsi dengan baik. Secara umum, perjanjian jual beli adalah kesepakatan antara penjual dan pembeli untuk menukar suatu barang dengan harga tertentu. Beberapa poin penting yang mungkin ingin kamu ketahui:
Kesepakatan Para Pihak: Ada dua pihak utama, yaitu penjual dan pembeli, yang harus sepakat mengenai barang yang akan dijual, harga jual, dan syarat-syarat lainnya.
Objek Jual Beli: Objek yang dijual bisa berupa barang, hak, atau jasa. Barang yang dijual harus jelas dan dapat ditentukan.
Harga: Harga jual beli harus disepakati oleh kedua belah pihak. Harga ini bisa berupa uang atau nilai tukar lainnya.
Pembayaran dan Penyerahan Barang: Pembeli berkewajiban membayar harga sesuai kesepakatan, dan penjual harus menyerahkan barang sesuai perjanjian.
Pentingnya Akta Jual Beli: Untuk kepastian hukum, sebaiknya perjanjian jual beli dibuat dalam bentuk akta notaris. Ini memberikan bukti yang lebih kuat jika terjadi sengketa di kemudian hari.
Kewajiban Penjual dan Pembeli: Penjual berkewajiban menyampaikan barang yang dijual dalam keadaan baik, sementara pembeli berkewajiban membayar harga sesuai dengan perjanjian.
Risiko dan Kepemilikan: Biasanya, risiko kerusakan atau kehilangan barang ditentukan oleh perjanjian. Begitu juga dengan kapan kepemilikan barang beralih dari penjual ke pembeli.
Hak Penjual menurut KUH-Perdata:
Hak untuk Menerima Pembayaran (Pasal 1457 KUH-Perdata): Penjual berhak menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan harga yang telah disepakati.
Hak atas Barang yang Dijual (Pasal 1458 KUH-Perdata): Penjual memiliki hak atas barang yang dijual sampai pembeli membayar secara penuh, yang dikenal sebagai hak retensi atau hak pemegangan. 
Kewajiban Penjual menurut KUH-Perdata:
Kewajiban Menyerahkan Barang (Pasal 1459 KUH-Perdata): Penjual wajib menyampaikan barang kepada pembeli sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban Jaminan (Pasal 1467 KUH-Perdata): Penjual berkewajiban memberikan jaminan atau kepastian atas kualitas barang yang dijual.
Kewajiban Memberikan Bukti (Pasal 1467 KUH-Perdata): Penjual wajib memberikan bukti atau tanda terima kepada pembeli sebagai bukti transaksi.
Hak Pembeli menurut KUH-Perdata:
Hak untuk Menerima Barang (Pasal 1473 KUHPerdata): Pembeli memiliki hak untuk menerima barang yang sesuai dengan perjanjian.
Hak untuk Menuntut Ganti Rugi (Pasal 1484 KUHPerdata): Jika barang tidak sesuai dengan kualitas atau spesifikasi yang disepakati, pembeli memiliki hak untuk menuntut ganti rugi.
Hak untuk Menunda Pembayaran (Pasal 1503 KUHPerdata): Jika barang tidak sesuai, pembeli dapat menunda pembayaran atau menegosiasikan kembali harga.
Kewajiban Pembeli menurut KUH-Perdata:
Kewajiban Pembayaran (Pasal 1493 KUH-Perdata): Pembeli memiliki kewajiban untuk membayar harga jual sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban Menerima Barang (Pasal 1474 KUH-Perdata): Pembeli wajib menerima dan membayar barang sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban Memberikan Bukti (Pasal 1493 KUH-Perdata): Pembeli wajib memberikan bukti atau tanda terima pembayaran.
Implikasi Hukum Pelanggaran Hak dan Kewajiban dalam Jual Beli
Dalam hubungan perdata, khususnya dalam perjanjian jual beli, masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak dan kewajiban tersebut, maka timbul implikasi hukum yang berdampak langsung terhadap keabsahan perjanjian serta hubungan hukum antara para pihak.
Pelanggaran hak dan kewajiban dalam jual beli, baik oleh penjual maupun pembeli, pada dasarnya merupakan bentuk wanprestasi, yakni tidak dipenuhinya prestasi sebagaimana yang telah diperjanjikan. Prestasi itu sendiri dapat berupa menyerahkan barang, membayar harga, memberikan jaminan atas barang, atau menerima barang sesuai ketentuan.
Menurut Pasal 1238 KUHPerdata, seorang debitur (dalam hal ini penjual atau pembeli) dianggap lalai jika tidak memenuhi kewajibannya dalam waktu yang telah ditentukan, tanpa perlu surat peringatan terlebih dahulu apabila waktu tersebut sudah ditentukan secara tegas dalam perjanjian.
Adapun implikasi hukum yang timbul akibat pelanggaran tersebut adalah sebagai berikut:

Pengakuan Wanprestasi
Pihak yang melanggar secara hukum dinyatakan melakukan wanprestasi. Wanprestasi ini dapat berbentuk:
Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktu.
Memenuhi prestasi, tetapi tidak sesuai isi perjanjian.
Melakukan sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.
Pelanggaran semacam ini mengakibatkan pihak lain mendapatkan hak untuk menuntut hak-haknya berdasarkan hukum.
Kewajiban Membayar Ganti Rugi
Sebagai akibat wanprestasi, pihak yang dirugikan berhak menuntut ganti rugi. Menurut Pasal 1246 KUHPerdata, ganti rugi mencakup:
Biaya (costs), yakni segala pengeluaran atau pengorbanan yang nyata-nyata sudah dilakukan untuk menjaga atau memulihkan hak.
Kerugian (losses), yaitu segala bentuk kerugian materiil akibat tidak terpenuhinya prestasi.
Bunga (interests), yaitu keuntungan yang diharapkan apabila prestasi dipenuhi tepat waktu.
Kewajiban ini bertujuan mengembalikan kondisi pihak yang dirugikan seolah-olah tidak terjadi pelanggaran.
Tuntutan Pemenuhan Perjanjian
Pihak yang dirugikan berhak untuk menuntut agar pihak yang wanprestasi tetap melaksanakan kewajibannya sebagaimana diperjanjikan. Ini disebut specific performance. Misalnya, pembeli berhak menuntut penyerahan barang yang sudah dibayar. Dalam kondisi tertentu, meskipun pihak yang bersalah telah lalai, pihak yang dirugikan masih dapat memilih untuk tidak membatalkan perjanjian dan hanya menuntut pemenuhan prestasi.

Pembatalan Perjanjian
Jika pelanggaran yang dilakukan bersifat berat sehingga mengakibatkan tujuan perjanjian tidak tercapai, maka pihak yang dirugikan dapat meminta pembatalan perjanjian. Pembatalan ini mengembalikan para pihak ke keadaan semula sebelum perjanjian dibuat, sejauh mungkin. Ini didasarkan pada prinsip dalam KUHPerdata bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan apabila terjadi pelanggaran berat terhadap syarat utama perjanjian.
Peralihan Risiko
Dalam perjanjian jual beli, terjadi peralihan risiko dari penjual kepada pembeli setelah perjanjian dinyatakan sah, sesuai Pasal 1460 KUHPerdata. Namun, jika terjadi wanprestasi dari pihak penjual, maka risiko tetap berada pada penjual hingga kewajibannya terpenuhi. Sebaliknya, jika pembeli yang melakukan pelanggaran, risiko atas barang dapat beralih kepada pembeli meskipun barang belum diserahkan.
Kerugian Non-Materiel
Meskipun KUHPerdata lebih fokus pada kerugian materiil, dalam praktiknya pelanggaran hak atau kewajiban juga dapat menyebabkan kerugian non-materiel seperti kehilangan kepercayaan bisnis atau reputasi. Dalam kasus-kasus tertentu, kompensasi atas kerugian ini dapat dimintakan di hadapan pengadilan.

BAB III
PENUTUP
Simpulan 
Perjanjian jual beli menurut KUH-Perdata di Indonesia dianggap sah apabila para pihak memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Kesepakatan yang dibuat harus bersifat serius, itikad baik, dan mematuhi ketentuan mengenai objek, harga, waktu, serta kecakapan hukum para pihak. Memahami dan mematuhi ketentuan ini penting untuk memastikan keabsahan dan keberlakuan perjanjian jual beli dalam konteks hukum perdata di Indonesia.
Saran
Berdasarkan hasil materi kami kami paparkan, kami menyadari masih terdapat banyak keterbatasan dan kekeliruan yang ada dalam makalah ini, dan kami berharap dengan makalah ini dapat memberikan wawasan mengenai hak dan kewajiban dalam perjanjian jual beli menurut KUH-Perdata.

DAFTAR PUSTAKA

Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH-Perdata)
Abdurahman A, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan Perdagangan, Pradnya Pramita, Jakarta 1991. 
Kansil Cst dkk, Pokok-pokok Hukum pasar Modal Pustaka sinar harapan 
Muhammad Abdul Khadir, HukumPerdata Indonesia, PT Citra Aditya bakti, bandung 2014 
Tutik Triwulan Titik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Prestasi Pustaka Jakarta, 2006.
Widjaja Gunawan, Jual Beli. PT. RajaGrafindo Persada Jakarta, 2003.




Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama