Bagian 1 "Menjaga Nadi Konstitusi: Potret Ketatanegaraan Indonesia Kini"



Bagian 1: Mengapa Konstitusi Harus Dijaga?
A. Arti Penting Konstitusi sebagai "Nadi" Negara
       Konstitusi adalah pondasi utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam analogi biologis, konstitusi bagaikan nadi bagi tubuh negara: denyut yang menunjukkan kehidupan, kesehatan, dan kesinambungan sistem ketatanegaraan. Sebagai hukum dasar tertulis dan tidak tertulis, konstitusi memberikan arah, batasan, serta legitimasi terhadap semua tindakan penyelenggaraan negara.
        Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State (1945) menyatakan bahwa konstitusi merupakan norma dasar (grundnorm) yang menjadi rujukan utama seluruh norma hukum lain. Tanpa konstitusi, negara akan kehilangan pedoman dalam menyusun aturan hukum dan praktik pemerintahan. Dalam konteks Indonesia, UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis telah mengalami empat kali amandemen, yang menggambarkan dinamika politik dan keinginan kolektif untuk memperbaiki sistem ketatanegaraan sesuai dengan semangat demokrasi.
        Jimly Asshiddiqie (2011) menyebut konstitusi sebagai "roh" dari sistem hukum. Tanpa semangat konstitusi yang hidup dan dijaga, lembaga negara hanya menjadi struktur tanpa arah. Oleh karena itu, menjaga konstitusi sama dengan menjaga denyut kehidupan negara.
       Konstitusi juga memiliki peran sebagai pemersatu bangsa. Di negara plural seperti Indonesia, dengan keberagaman etnis, agama, dan budaya, konstitusi menjadi alat yang menjamin kesetaraan dan keadilan. Pasal-pasal dalam UUD 1945 seperti Pasal 27 (tentang kesamaan kedudukan di hadapan hukum) dan Pasal 28 (tentang hak asasi manusia) adalah bukti nyata bahwa konstitusi mengikat seluruh warga tanpa diskriminasi.
B. Konstitusi sebagai Kontrak Sosial dan Fondasi Kekuasaan
       Konstitusi bukan hanya dokumen hukum, melainkan juga sebuah kontrak sosial antara rakyat dan penguasa. Gagasan ini muncul dari pemikiran Jean-Jacques Rousseau dalam The Social Contract (1762), di mana masyarakat sepakat untuk menyerahkan sebagian haknya kepada negara demi perlindungan dan keteraturan. Dalam kontrak ini, negara berkewajiban melindungi hak-hak warga dan tidak bertindak sewenang-wenang.
      Di dalam konteks ini, konstitusi menjadi penjamin bahwa kekuasaan tidak bersifat absolut. Kekuasaan presiden, DPR, dan lembaga lainnya dibatasi oleh aturan main yang adil, rasional, dan disepakati bersama. Tanpa konstitusi, negara akan berpotensi jatuh ke dalam kekuasaan otoriter.
        Konstitusi juga mengatur pembagian kekuasaan (separation of powers) dan mekanisme check and balances, sebagaimana digagas oleh Montesquieu. Dalam sistem presidensial seperti Indonesia, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus berjalan secara independen dan saling mengawasi. Mekanisme ini tertuang dalam berbagai ketentuan UUD 1945, termasuk keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi.
         Menurut Mahfud MD (2007), konstitusi memiliki tiga fungsi penting: (1) memberi legitimasi terhadap kekuasaan; (2) membatasi kekuasaan agar tidak disalahgunakan; dan (3) melindungi hak-hak asasi warga negara. Ketika fungsi-fungsi ini tidak dijalankan secara konsisten, maka wibawa konstitusi akan runtuh.
        Sayangnya, dalam banyak kasus, kekuasaan cenderung mengabaikan kontrak sosial ini. Ketika penguasa menafsirkan konstitusi hanya untuk kepentingannya, maka kepercayaan rakyat terhadap hukum pun melemah. Dalam jangka panjang, hal ini berbahaya bagi stabilitas negara dan legitimasi demokrasi.
C. Tantangan Menjaga Konstitusi di Tengah Godaan Politik Kekuasaan
         Menjaga konstitusi tidaklah mudah. Seiring berkembangnya zaman, konstitusi menghadapi berbagai tantangan yang bersumber dari kepentingan politik, lemahnya penegakan hukum, hingga rendahnya kesadaran konstitusional masyarakat.
       Salah satu tantangan terbesar adalah upaya manipulasi konstitusi oleh elite politik. Amandemen atau interpretasi konstitusi kerap dilakukan demi mempertahankan kekuasaan. Contoh nyata terjadi pada 2023, ketika Mahkamah Konstitusi mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden, yang dinilai menguntungkan kelompok tertentu. Putusan tersebut memicu kritik dari berbagai kalangan karena dianggap tidak independen dan mencederai semangat konstitusi.
        Kritik keras datang dari akademisi dan masyarakat sipil. Prof. Saldi Isra, Hakim Konstitusi, menyatakan bahwa putusan tersebut membuka ruang intervensi kekuasaan terhadap konstitusi. Ia menekankan bahwa Mahkamah Konstitusi harus tetap berdiri sebagai penjaga konstitusi, bukan alat politik.
        Selain itu, rendahnya kesadaran masyarakat terhadap isi dan fungsi konstitusi juga menjadi hambatan. Survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada tahun 2021 menunjukkan bahwa hanya sekitar 32% responden yang memahami fungsi dasar konstitusi. Ini menunjukkan perlunya pendidikan kewarganegaraan yang lebih kuat agar masyarakat dapat berperan aktif menjaga konstitusi.
       Tak hanya itu, praktik legislasi yang tidak transparan dan minim partisipasi publik juga melemahkan wibawa konstitusi. Proses pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya, dinilai terburu-buru dan tidak melibatkan aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Mahkamah Konstitusi sendiri menyatakan bahwa UU tersebut inkonstitusional bersyarat, namun tetap diberlakukan.
         Ketika proses hukum dan politik tidak mencerminkan semangat konstitusi, maka wajar jika muncul ketidakpercayaan publik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mendorong munculnya sikap apatis atau bahkan radikalisme.
D. Menghidupkan Budaya Konstitusional
       Untuk menjaga konstitusi, kita memerlukan bukan hanya aturan yang baik, tetapi juga budaya konstitusional yang kuat. Budaya ini mencakup kesadaran bersama bahwa konstitusi adalah sumber hukum tertinggi dan harus dihormati oleh semua pihak, tanpa kecuali.
        Budaya konstitusional harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan kewarganegaraan di sekolah dan kampus perlu diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran konstitusional. Materi tentang hak asasi manusia, demokrasi, dan ketatanegaraan harus diajarkan secara kontekstual dan aplikatif.
        Media massa dan organisasi masyarakat sipil juga memiliki peran penting. Mereka dapat menjadi pengawas jalannya konstitusi dan menyuarakan kritik ketika terjadi penyimpangan. Gerakan mahasiswa dan akademisi, sebagaimana terjadi dalam sejarah reformasi 1998, menunjukkan bahwa kekuatan sipil bisa menjadi penyeimbang kekuasaan.
E. Kesimpulan
        Konstitusi adalah nadi yang menjaga kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia adalah kontrak sosial yang mengikat antara rakyat dan negara, serta fondasi dari semua bentuk kekuasaan. Namun, menjaga konstitusi bukanlah tugas mudah, terutama di tengah godaan politik yang terus mengintai.
        Diperlukan kesadaran kolektif, pendidikan konstitusional yang kuat, serta peran aktif masyarakat sipil untuk memastikan konstitusi tetap hidup dan relevan. Seperti yang diungkapkan Mahfud MD, "kita boleh berganti pemerintahan, tetapi konstitusi harus tetap menjadi dasar setiap perubahan."
         Jika konstitusi diabaikan, maka negara kehilangan arah. Namun jika dijaga, maka ia akan menjadi penuntun menuju keadilan, demokrasi, dan kemajuan yang beradab.

Referensi
1. Asshiddiqie, Jimly. (2011). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
2. Kelsen, Hans. (1945). General Theory of Law and State. Harvard University Press.
3. Mahfud MD. (2007). Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media.
4. Rousseau, Jean-Jacques. (1762). The Social Contract.
5. Montesquieu. (1748). The Spirit of Laws.
6. LSI. (2021). Survei Nasional Kesadaran Konstitusi.
7. Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 90/PUU-XXI/2023.
8. Saldi Isra. (2023). Pernyataan dalam Diskusi Publik Konstitusi dan Independensi Lembaga Yudisial.
9. Kompas. (2023). "Amandemen UUD dan Polemik Syarat Capres: Antara Etika dan Kepentingan."

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama