PERAN HAKIM DALAM MENENTUKAN GANTI RUGI AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

 PERAN HAKIM DALAM MENENTUKAN GANTI RUGI AKIBAT PERBUATAN MELAWAN HUKUM

Oleh:

Kelompok 9

Hasjumaeni 23690107005

Reva Nabila 23690107003

Nurfadilla 23690107036

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

TAHUN AKADEMIK 2025-2026

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Masalah 2

BAB II PEMBAHASAN 3

A. Peran Putusan Hakim dalam Mewujudkan Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan serta Kriterianya bagi Masyarakat 3

B. Peran hakim dalam menentukan ganti rugi akibat perbuatan melawan hokum 5

BAB III PENUTUP 7

A. Kesimpulan 7

DAFTAR PUSTAKA 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Untuk menyelesaikan suatu perkara secara efektif dan efisien, dibutuhkan pengelolaan atau manajemen yang tepat dalam setiap tahap prosesnya. Hal ini juga berlaku dalam proses peradilan, yang hanya dapat berjalan optimal apabila semua komponen di dalamnya menjalankan tugas dan fungsinya secara proporsional. Salah satu aspek penting dalam proses peradilan adalah pelaksanaan persidangan itu sendiri.

Sebagai bagian dari upaya mewujudkan cetak biru serta Visi Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam membentuk lembaga peradilan yang unggul, Mahkamah Agung beserta seluruh badan peradilan di bawahnya telah menjalankan reformasi birokrasi secara menyeluruh, sistematis, dan mendasar. Reformasi ini bertujuan untuk mencapai target dan sasaran secara lebih efektif dan efisien. Salah satu aspek utama dari reformasi ini adalah peningkatan kualitas putusan hakim serta profesionalisme seluruh lembaga peradilan.

Kualitas putusan dan profesionalisme lembaga peradilan tercermin ketika hakim dapat memberikan putusan yang mempertimbangkan tiga nilai utama: keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtszekerheid), dan kemanfaatan (zweckmäßigkeit).

Menemukan keseimbangan dalam penerapan hukum bukanlah hal yang mudah, namun juga bukan sesuatu yang mustahil. Tantangan utama dalam mewujudkan hukum yang ideal adalah memastikan bahwa para pihak yang bersengketa merasa puas dan dapat menerima hasil putusan dengan lapang dada. Di sisi lain, hukum harus mampu berkembang seiring dengan perubahan zaman agar tetap relevan dalam mengatur berbagai bentuk perselisihan, baik kecil maupun besar. Jika teori dan praktik hukum tidak berjalan beriringan, hal ini akan berdampak negatif terhadap efektivitas sistem hukum secara keseluruhan. Ketertinggalan hukum dari perkembangan masyarakat juga dapat mengancam keberlanjutan hukum serta menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap institusi hukum.

Secara fundamental, hukum hadir untuk memberikan rasa aman dan perlindungan atas berbagai kepentingan dalam masyarakat. Gustav Radbruch menyatakan bahwa dalam penerapannya, hukum tidak boleh terlepas dari tiga pilar utama: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Eksistensi hukum ini mencakup baik hukum dalam bentuk normatif (seperti peraturan perundang-undangan) maupun hukum yang diterapkan secara aktif oleh hakim di pengadilan.

Mengingat pentingnya tiga asas tersebut dalam setiap putusan hakim, maka penulis merasa perlu untuk membahas bagaimana sebuah putusan pengadilan dapat mencerminkan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, agar hak dan kepentingan masyarakat pencari keadilan dapat terlindungi secara maksimal.

Hakim memainkan peranan yang sangat vital dalam menetapkan ganti rugi atas perbuatan melawan hukum. Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus mengadili perkara, menilai dan menelaah bukti, serta menetapkan besaran ganti rugi yang sesuai berdasarkan hukum positif dan pertimbangan objektif terhadap kasus yang dihadapi.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana putusan hakim dapat mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta apa kriteria yang mendasarinya agar dapat memberikan rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat?

2. Apa peran hakim dalam menentukan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui apakah putusan hakim dapat menwujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, serta kriterian apa saja yang dapat mendasari agar dapat memberikan rasa keadilan kepastian hukum dan kemanfaatan bagi Masyarakat.

2. Untuk mengetahui peran hakim dalam menentukan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Peran Putusan Hakim dalam Mewujudkan Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan serta Kriterianya bagi Masyarakat

Setiap putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan seyogianya mencerminkan harapan dan suara hati masyarakat pencari keadilan. Fungsi utama dari putusan hakim adalah untuk memeriksa, menyelesaikan, dan memberikan keputusan atas perkara yang diajukan ke pengadilan. Oleh karena itu, penting bagi putusan tersebut untuk tidak menimbulkan permasalahan baru atau menjadi sumber kontroversi di kalangan masyarakat maupun praktisi hukum. Kontroversi dapat muncul ketika hakim tidak menguasai perkembangan ilmu pengetahuan yang relevan atau ketika kurang cermat dalam menilai dan menangani perkara.

Putusan hakim yang ideal mengandung sejumlah unsur penting, antara lain:

1. Mencerminkan kehidupan sosial sebagai sarana pengendalian sosial.

2. Menjadi perwujudan dari hukum yang berlaku dan memberikan manfaat bagi individu, kelompok, maupun negara.

3. Menunjukkan keseimbangan antara norma hukum yang berlaku dan kondisi nyata di masyarakat.

4. Menggambarkan kesadaran hukum yang ideal terhadap perubahan sosial.

5. Memberikan manfaat nyata bagi para pihak yang bersengketa.

6. Tidak menimbulkan konflik lanjutan baik bagi para pihak maupun masyarakat luas.

Putusan hakim merupakan hasil akhir dari proses persidangan, dan pengadilan adalah tempat terakhir bagi masyarakat dalam mencari keadilan. Oleh sebab itu, keputusan yang diambil oleh hakim harus mampu menjawab harapan keadilan masyarakat dengan merefleksikan tiga asas utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.

Menegakkan keadilan melalui putusan hakim bukanlah perkara mudah, karena persepsi tentang keadilan dapat berbeda antara satu pihak dengan pihak lainnya. Hakim memiliki tugas penting untuk menegakkan keadilan sebagaimana tercermin dalam irah-irah putusan yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Keadilan yang dimaksud adalah keadilan yang tidak berpihak, mengakui kesetaraan hak dan kewajiban antara para pihak. Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus merujuk pada hukum yang berlaku agar keputusan tersebut bisa diterima sebagai cerminan keadilan. Pihak yang menang harus dapat memperoleh haknya, sedangkan pihak yang kalah harus melaksanakan kewajibannya. Selain itu, proses peradilan yang cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan juga menjadi bagian dari realisasi nilai keadilan karena keterlambatan penyelesaian perkara dapat menjadi bentuk ketidakadilan tersendiri.

Kepastian hukum dalam putusan hakim terwujud melalui kemampuan hakim dalam menemukan dan menerapkan hukum yang sesuai dengan perkara yang ditanganinya. Dalam hal undang-undang tidak mengatur secara eksplisit, hakim memiliki kewajiban untuk menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, termasuk hukum adat dan norma tidak tertulis. Putusan yang berdasarkan pada fakta-fakta hukum yang relevan dalam persidangan akan menghasilkan kepastian hukum yang sah. Oleh karena itu, penerapan hukum harus proporsional dengan fakta hukum yang ada, dan hakim harus mampu menafsirkan serta menerapkan undang-undang secara objektif dan menyeluruh. Putusan yang konsisten dengan prinsip kepastian hukum juga berkontribusi terhadap perkembangan keilmuan di bidang hukum, karena ketika putusan tersebut telah memiliki kekuatan hukum tetap, maka ia menjadi representasi dari institusi peradilan itu sendiri, bukan hanya pendapat pribadi hakim.

Kemanfaatan dalam putusan hakim tercapai ketika keputusan tersebut tidak hanya berlandaskan pada teks hukum, tetapi juga dapat diimplementasikan secara konkret dan memberikan manfaat nyata bagi para pihak maupun masyarakat luas. Putusan hakim sebagai bagian dari sistem hukum harus dapat menjaga keseimbangan sosial agar kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum tetap terjaga. Dalam proses pengambilan keputusan, hakim dengan pemikiran rasional dapat menimbang apakah suatu putusan lebih mendekati keadilan atau kepastian hukum. Secara teori, kemanfaatan berada di antara dua kutub: keadilan dan kepastian. Oleh karena itu, hakim harus menilai fungsi dan tujuan hukum dari perspektif kemaslahatan masyarakat. Asas kemanfaatan cenderung memiliki nuansa ekonomis, dengan dasar pemikiran bahwa hukum harus berguna dan berdampak bagi kehidupan sosial manusia secara luas.

Dengan demikian, putusan hakim yang ideal dalam perkara perdata adalah putusan yang mampu memenuhi ketiga prinsip utama: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Meski dalam praktiknya mungkin ada dominasi terhadap salah satu asas, hal tersebut tidak lantas berarti asas lainnya diabaikan. Ketiganya saling terhubung dan membentuk dasar pijakan dalam membangun hukum sebagai pedoman berperilaku dalam masyarakat. Namun, dalam implementasinya, sering kali keadilan berbenturan dengan kepastian hukum, atau kemanfaatan tidak sepenuhnya sejalan dengan kepastian.

B. Peran hakim dalam menentukan ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum.

Hakim memainkan peran yang sangat penting dalam menetapkan besaran ganti rugi dalam kasus perbuatan melawan hukum. Sebagai pihak yang berwenang dalam proses peradilan, hakim bertugas memeriksa perkara, menilai bukti-bukti yang diajukan, dan menetapkan jumlah kompensasi yang adil sesuai dengan ketentuan hukum dan kondisi faktual secara objektif.

1. Penetapan Besaran Ganti Rugi

Kewenangan untuk menentukan nilai ganti rugi berada sepenuhnya di tangan hakim. Dalam menetapkan besaran kompensasi, hakim tidak hanya mengacu pada permintaan penggugat, tetapi juga mempertimbangkan sejumlah faktor penting, seperti:

• Kerugian Materiil: Merujuk pada kerugian nyata yang dapat dihitung secara ekonomis, seperti kerusakan barang, kerugian finansial, atau biaya pengobatan.

• Kerugian Immateriil: Mencakup dampak non-material seperti penderitaan emosional, kehilangan kesempatan, atau trauma psikologis.

• Pertimbangan Objektif: Hakim mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi dari para pihak, termasuk kemampuan pelaku dalam memenuhi kewajiban pembayaran.

• Penerapan Prinsip Ex Aequo et Bono: Untuk kerugian immateriil yang sulit dihitung secara pasti, hakim dapat menggunakan prinsip ex aequo et bono, yakni keadilan berdasarkan kewajaran, kesederhanaan, dan kepatutan.

• Tuntutan dari Penggugat: Meskipun tuntutan dari pihak penggugat menjadi acuan awal, hakim tetap memiliki diskresi untuk menyesuaikan jumlah kompensasi apabila tuntutan tersebut dianggap tidak proporsional dengan keadaan kasus.

2. Proses Pembuktian Kerugian

Dalam menentukan keberadaan dan besarnya kerugian, hakim akan mengevaluasi bukti-bukti yang diajukan oleh kedua belah pihak. Bukti tersebut harus mendukung klaim bahwa penggugat benar-benar mengalami kerugian serta menunjukkan seberapa besar kerugian tersebut secara logis dan terukur.

3. Kewenangan Ex Officio

Dalam situasi tertentu, hakim memiliki kewenangan ex officio, yaitu hak untuk memberikan kompensasi meskipun tidak secara tegas diminta oleh korban. Ini menunjukkan bahwa hakim dapat mengambil inisiatif demi memastikan keadilan, terutama apabila ditemukan kerugian yang nyata namun tidak diajukan sebagai tuntutan formal.

4. Penentuan Bentuk Ganti Rugi

Selain jumlah, hakim juga menetapkan bentuk ganti rugi yang dianggap paling sesuai, antara lain:

• Ganti Rugi Uang Tunai: Pembayaran kompensasi dalam bentuk uang sebagai pengganti kerugian.

• Ganti Rugi Natura: Pengembalian keadaan ke kondisi semula sebelum terjadinya perbuatan melawan hukum, misalnya melalui perbaikan atau pengembalian barang.

• Deklarasi Perbuatan Melawan Hukum: Pernyataan resmi dari pengadilan bahwa suatu tindakan tergolong sebagai perbuatan melanggar hukum.

• Larangan Melakukan Tindakan Tertentu: Perintah hukum untuk menghentikan atau tidak mengulangi perbuatan yang sama di masa mendatang.

• Penyitaan atau Penghentian Tindakan: Tindakan hukum terhadap objek atau aktivitas yang menyebabkan kerugian, seperti penyitaan barang atau penghentian kegiatan yang merugikan.

5. Dampak dari Putusan Hakim

Putusan hakim terkait kompensasi atas perbuatan melawan hukum memiliki implikasi signifikan. Bagi korban, putusan tersebut memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum atas kerugian yang dialami. Bagi pelaku, hal ini menjadi bentuk pertanggungjawaban yang menegaskan bahwa perbuatan melanggar hukum memiliki konsekuensi hukum. Secara lebih luas, putusan semacam ini berfungsi sebagai penegasan terhadap keberlakuan dan wibawa hukum dalam masyarakat. 

BAB III

PENUTUP

A. SIMPULAN

Dalam proses peradilan, putusan hakim memainkan peran yang sangat krusial dalam mewujudkan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan bagi masyarakat. Ketiga asas tersebut merupakan landasan utama yang harus selalu menjadi pertimbangan dalam setiap keputusan yang diambil. Keadilan menuntut hakim untuk bersikap netral dan objektif dalam menilai perkara, kepastian hukum mengharuskan hakim untuk berpegang pada norma dan aturan yang berlaku, sedangkan kemanfaatan menuntut agar putusan yang dijatuhkan memberikan dampak positif dan solutif terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.

Selain itu, dalam perkara perbuatan melawan hukum, hakim memiliki peran vital dalam menetapkan ganti rugi secara proporsional dan adil. Penilaian terhadap kerugian materiil maupun immateriil, serta penerapan prinsip ex aequo et bono, menunjukkan bahwa hakim tidak hanya menerapkan hukum secara formalistik, tetapi juga mempertimbangkan aspek keadilan substantif. Dengan demikian, putusan hakim tidak hanya menjadi representasi dari sistem hukum, melainkan juga instrumen penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

DAFTAR PUSTAKA

Radbruch, Gustav. Legal Philosophy. Translated by Kurt Wilk. New York: The Lawbook Exchange, Ltd., 2001.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2020). Cetak Biru Pembaruan Peradilan 2010–2035. Jakarta: MA RI.

Soerjono Soekanto dan Mamudji, Sri. (2006). Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Sudikno Mertokusumo. (2010). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

Satjipto Rahardjo. (2009). Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama