MAKALAH
HUKUM PERKAWINAN DAN KEKELUARGAAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF INDONESIA
Dosen Pengampu:
Andi Miftahul Amri, SH., MH
Disusun Oleh:
Kelompok 6
Muh. Alfa Reza 23690107028
Dewi Asmawati 23690107016
Sulvianti 23690107035
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
TAHUN AKADEMIK 2025
DAFTAR ISI
SAMPUL i
DAFTAR ISI ii
BAB I : PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penulisan 2
BAB II : PEMBAHASAN 3
A. Definisi dan Tujuan Perkawinan 3
B. Syarat Sahnya Perkawinan 4
C. Pencatatan Perkawinan 5
D. Hak dan Kewajiban Suami-Istri 6
E. Kedudukan Anak 6
F. Larangan Perkawinan 8
G. Hukum Kekeluargaan 9
H. Perkawinan Campuran 9
I. Asas Asas Perkawinan 11
BAB III : PENUTUP 12
A. Kesimpulan 12
B. Saran 12
DAFTAR PUSTAKA 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan, secara umum, adalah ikatan resmi antara seorang pria dan wanita yang bertujuan membentuk keluarga dan memiliki keturunan. Sejarahnya panjang, mulai dari perjanjian kontraktual antara keluarga untuk aliansi dan stabilitas sosial hingga menjadi lembaga yang diresmikan oleh agama dan hukum. Tujuan perkawinan meliputi membangun rumah tangga yang bahagia, memenuhi kebutuhan seksual dan emosional, serta mendapatkan keturunan.
Syarat sah perkawinan secara umum di Indonesia, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah: (1) perkawinan dilakukan sesuai hukum agama dan kepercayaannya, dan (2) perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, syarat sah perkawinan juga mencakup persetujuan kedua calon mempelai, dan bagi yang belum berusia 21 tahun, harus mendapat izin orang tua.
Pencatatan perkawinan di Indonesia dimulai sebelum kemerdekaan dengan adanya peraturan hukum yang mengatur tentang perkawinan, seperti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Perkawinan. Setelah kemerdekaan, Undang-undang ini diperluas cakupannya dan disahkan melalui Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954.
Hak dan kewajiban suami istri adalah prinsip dasar dalam pernikahan, yang sudah ada sejak lama dan diatur dalam berbagai tradisi dan hukum, termasuk hukum Islam dan hukum positif Indonesia. Hak dan kewajiban ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keadilan dalam rumah tangga.
Dalam lingkup hukum keluarga, diketahui bahwa terdapat beberapa jenis status hukum bagi seorang anak, antara lain yaitu: anak sah, anak luar kawin, anak angkat atau adopsi, anak asuh, dan anak terlantar Ketentuan mengenai hukum keluarga ini utamanya mengacu pada Undang-undang perkawinan.
Larangan perkawinan memiliki sejarah panjang dan beragam, mulai dari tradisi budaya hingga ketentuan hukum. Secara umum, larangan perkawinan bertujuan untuk menjaga ketertiban sosial, kesehatan, dan mencegah hubungan yang tidak etis atau tidak sesuai dengan norma yang berlaku.
Hukum kekeluargaan, atau hukum perdata keluarga, memiliki sejarah panjang dan kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk agama, budaya, dan politik. Secara umum, hukum kekeluargaan dapat dibagi menjadi beberapa periode penting, mulai dari hukum keluarga tradisional hingga hukum keluarga modern.
Perkawinan campur berarti perkawinan antara orang-orang yang memiliki ras, suku, agama, atau kelas sosial yang berbeda. Contoh perkawinan campur (dalam hal ini perkawinan antar ras) adalah antara orang Asia dan orang kulit hitam .
Asas perkawinan dalam sejarah memiliki evolusi, mulai dari hukum adat hingga pengaruh agama dan undang-undang. Asas-asas ini mencakup kebebasan memilih pasangan, monogami (dengan pengecualian poligami dalam beberapa kasus), dan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas rumusan masalah dari makalah ini yaitu, tentang definisi dan tujuan perkawinan, syarat sahnya perkawinan, pencatatan perkawinan, hak dan kewajiban perkawinan, kedudukan anak, larangan perkawinan, hukum kekeluargaan, perkawinan campuran, dan asas-asas perkawinan.
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan makalah ini yaitu adalah untuk menegetahui tentang definisi dan tujuan perkawinan, syarat sahnya perkawinan, pencatatan perkawinan, hak dan kewajiban perkawinan, kedudukan anak, larangan perkawinan, hukum kekeluargaan, perkawinan campuran, dan asas-asas perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Tujuan Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHPdt, tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan, bahwaperkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Disamping pengertian tersebut diatas, terdapat pula pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana, yaitu:
1. Menurut Prof. Subekti, S.H.: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.(Subekti, 1997; 23).
2. Menurut Prof. Ali Afandi, S.H.: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.(Ali Afandi, 1997; 94).
3. Menurut Prof. Mr. PaulScholten: Perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.(R.Soetojo P, 1985; 31).
4. Menurut Prof Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.: Perkawinan yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan.(Wirjono P, 1990; 7).
5. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.: Perkawinan adalah suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi. (Soediman K, 1994; 36).
6. Menurut K. Wantjik Saleh, S.H: Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri. (K.Wantjik Saleh, 1996; 14).
Dari uraian definisi di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.
Undang-undang No. Tahun 1974 Pasal 1 mengemukakan bahwa tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dikemukakan juga oleh Lili Rasjidi bahwa: “Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu kesejahteraan spiritual.”
Jelas dinyatakan bahwa bahagia dan kekalnya sebuah rumah tangga, sesungguhnya tergantung pada bagaimana suami istri itu membentuk rumah tangganya berdasarkan kesadaran masing-masing. Bagi pihak yang akan melangsungkan perkawinan diharapkan dapat mengerti dan memahami maksud dari pengertian perkawinan yang terkandung di dalamnya agar dasar dan tujuan perkawinan dapat dilaksanakan secara baik dan benar sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.
B. Syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPdt), syarat sahnya perkawinan (syarat materil) adalah:
a. Berlaku asas monogami (Pasal 27);
b. Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28);
c. Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29);
d. Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34);
e. Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35).
Sementara itu, mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:
1) Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36);
2) Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37);
3) Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39);
4) Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40);
5) Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42).
f. Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33).
C. Pencatatan Perkawinan
Mengenai perihal pencatatan perkawinan, selanjutnya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974, tidak menentukan secara tegas sebagai suatu keharusan dan bagian yang tidak terpisahkan dari sahnya perkawinan. Rumusan ke-tentuan pasal tersebut selengkapnya sebagai berikut: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku." Dalam Undang-Undang Perkawinan tidak terdapat penjelasan yang berkaitan dengan pasal ini. Pencatatan perkawinan diatur cukup jelas dalam Pasal 2 sam-pai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (PP No. 9 Tahun 1975).
Di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975, menyebutkan, bahwa: "Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Is-lam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 Tentang Pen-catatan Nikah, Talak dan Rujuk". Selanjutnya di dalam ketentu-an Pasal 2 Ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, juga menyebutkan, bahwa: "Pencatatan perkawinan dari mereka yang melang-sungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan-nya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan."
Di dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) PP No. 9 Tahun 1975, dijelaskan dalam penjelasannya sebagai berikut: "Dengan adanya ketentuan tersebut dalam pasal ini, maka pencatatan perkawinan dilakukan hanya oleh dua instansi, yakni Pegawai Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk, dan Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membantunya."
D. Hak dan Kewajiban Suami-Istri
Menurut KUHPdt, hak dan kewajiban tersebut antara lain :
1. Suami dan isteri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103);
2. Suami-isteri wajib memeliharadan mendidikanaknya (Pasal 104);
3. Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-isteri (Pasal 105 ayat 1);
4. Suami wajib memberi bantuan kepada isterinya (Pasal 105 ayat 2);
5. Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi isterinya (Pasal 105 ayat 3);
6. Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4);
7. Suami tidak diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik isterinya, tanpa persetujuan si isteri (Pasal 105 ayat 5);
8. Setiap isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1);
9. Setiap isteri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2);
10. Setiap suami wajib membantu isterinya di muka hakim (Pasal 110);
11. Setiap isteri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suami-nya (Pasal 118).
Menurut ketentuan Pasal 111 KUHPdt menegaskan, bantuan suami kepada isterinya tidak diperlukan apabila:
1. Si isteri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara pidana.
2. Si isteri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk men-dapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.
3. Kuliah Kedelapan (K.8)
E. Kedudukan Anak
Dasar hukum pengaturan kedudukan anak dalam Undang-undang Perkawinan adalah dalam Pasal 42. Dalam ilmu hukum, ada 4 macam kedudukan anak yaitu:
1. Anak Sah
Pengertian anak sah, Pasal 42 Undang-undang Perkawinan menyebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Jadi sah tidaknya kedudukan anak ditentukan oleh sah tidaknya status perkawinan orang tuanya. Pasal 42 Undang-undang Perkawinan ini dianulir dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, yaitu bahwa anak yang dilahirkan dari perkawinan yang hanya memenuhi syarat sah perkawinan Pasal 2 ayat (1) tanpa dilakukan pencatatan, harus dianggap sebagai anak sah asalkan dapat dibuktikan ilmu pengetahuan. Pasal 250 KUHPerdata menetapkan terkait dengan kedudukan anak sebagai berikut: tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
2. Anak Luar Kawin
Anak luar kawin, istilah anak luar kawin hanya ada dalam KUHPerdata. Pengertian anakluar kawin adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan sah. Anak luar kawin, terdiri dari anak luar kawin yang diakui dan anak luar kawin tidak diakui. Anak luar kawin yang diakui mempunyai hubungan hukum dengan orang tua yang mengakui, konsep KUHPerdata ibu si anak tidak secara otomatis sebagai ibunya apabila tidak melakukan pengakuan terhadap anak luar kawin tersebut. Anak luar kawin yang diakui ini juga tidak mempunyai hubungan dengan kerabat orang yang mengakuinya. Jika dibandingkan dengan Undang-undang Perkawinan Pasal 42, kedudukan anak tersebut mempunyai hubungan kekerabatan dengan ibu dan kerabat ibunya. Terhadap masalah waris menurut KUHPerdata, hanya anak luar kawin yang diakui sajalah yang mempunyai hak waris. Anak luar kawin yang tidak diakui, tidak mempunyai hubungan hukum.
3. Anak Zina
Anak zina, konsep KUHPerdata adalah anak yang dilahirkan dari perbuatan zina antara 2 orang, laki-laki dan perempuan, di mana salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan. Terhadap anak zina ini, tidak diakui hukum dan juga tidak mempunyai hak waris.
4. Anak Sumbang
Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan dua orang yang masih mempunyai hubungan darah yang sangat dekat, di mana hukum mereka melarang untuk dikawini. Terhadap anak sumbang ini juga tidak diakui hukum, seperti halnya anak zina, anak sumbang juga tidak mempunyai hak waris.
Adapun untuk membuktikan asal usul anak, dibuktikan dengan akta kelahiran, demikian ketentuan Pasal 55 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban orang tua dan anak, undang-undang mengatur dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47 Undang-undang Perkawinan, dan Pasal 298, Pasal 104 Dan Pasal 298 KUHPerdata.
Berikut penjelasan hak dan kewajiban orang tua dan anak dalam Pasal 45 Undang-undang Perkawinan:
1. Ayat (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik baiknya.
2. Ayat (2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 104 KUHPerdata.Pasal 46 Undang-undang Perkawinan:
1. Ayat (1) anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.
2. Ayat (2) Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas bila mereka itu memerlukan bantuan.
Hak dan kewajiban orang tua dan anak dalam KUHPerdata sebagai berikut:
1. Pasal 298 KUHPerdata: Tiap-tiap anak, dalam umur berapa pun juga, berwajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya. Si bapak dan ibu, keduanya berwajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa.
2. Pasal 104 KUHPerdata: suami dan istri dengan mengikat diri dalam suatu perkawinan, dan hanya karena itu pun terikatlah mereka dalam suatu perjanjian bertimbal balik, akan memelihara dan mendidik sekalian anak mereka.
3. Pasal 321 KUHPerdata: Tiap-tiap anak berwajib memberi nafkah kepada orang tuanya dan para keluarga sedarahnya dalam garis ke atas, apabila mereka dalam keadaan miskin.
F. Larangan Perkawinan
Mengenai larangan perkawinan, di dalam KUHPdt ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara:
a. Mereka yang bertaiian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30);
b. Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31); c. Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah, oleh putusan hakim (Pasal 32);
c. Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 ptahun (Pasal 33).
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan-nya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UUP).
G. Hukum Kekeluargaan
Hukum Keluarga terjemahan dari bahasa Belanda Familierecht, atau dalam bahasa Inggris Family Law. Ali Afandi mendefinisikan sebagai seperangkat ketentuan yang berkaitan dengan hubungan kekerabatan dan perkawinan (perkawinan, tanggung jawab orang tua, perwalian, pengampuan, ketidakhadiran).
Hukum Keluarga merupakan cabang hukum yang mengatur hubungan antara anggota keluarga, termasuk perkawinan, perceraian, hak asuh anak, dan warisan. Dikenal juga sebagai Hukum Perdata Keluarga, atau Hukum Keluarga dan Warisan.
Hukum Keluarga memiliki peran penting dalam menjaga keharmonisan dan kestabilan keluarga. Tujuan utama dari hukum tersebut adalah melindungi hak-hak dan kepentingan anggota keluarga, serta memastikan keadilan dalam penyelesaian sengekta keluarga.
Selain perkawinan, Hukum Keluarga juga mengatur perceraian. Hukum yang menetapkan prosedur dan persyaratan untuk mengajukan perceraian, termasuk alasan yang dapat diterima untuk perceraian, pembagian harta, dan hak asuh anak. Hukum yang juga mengatur proses mediasi dan penyelesaian sengketa dalam perceraian, dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat.
Hukum Keluarga juga mengatur hak asuh anak, yakni hukum yang menetapkan hak dan kewajiban orang tua terhadap anak, termasuk hak untuk mengambil keputusan penting dalam kehidupan anak. Hukum yang juga mengatur proses penentuan hak asuh anak dalam kasus perceraian atau pemisahan orang tua, dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik anak.
H. Perkawinan Campuran
Dasar hukum pengaturan perkawinan campuran dalam Undang-undang Perkawinan terdapat dalam Pasal 57 sampai dengan 62. Pasal 57 Undang-undang Perkawinan menetapkan sebagai berikut "yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia".
Dari ketentuan Pasal 57 ini berarti hanya ada satu macam yang dimaksud dengan perkawinan campuran sehingga ketentuan yang tercantum dalam Stb. 1898 No. 158 tidak berlaku. Adapun menurut hukum perkawinan ini, sebagaimana yang diatur dalam pasal 59 ayat (2) Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yaitu "perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini".
Menurut pasal 12 UU no 1/1974 tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang undangan tersendiri. Peraturan perundangan yang dimaksud pasal tersebut yaitu Peraturan Pemerintah no 9 tahun 1975 dalam pasal 3 sampai dengan pasal 13.
Dengan demikian inti perkawinan campuran ini hanya terjadi jika beda kewarganegaraan saja serta mengingat ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan 2 (2) Undang-undang Perkawinan.
Dari ketentuan Pasal 57 undang-undang tersebut suatu perkawinan dikatakan sebagai perkawinan campuran harus memenuhi unsur-unsur berikut:
1. Perkawinan itu harus dilangsungkan di wilayah hukum Indonesia;
2. Masing-masing pihak tunduk pada hukum yang berlainan yang disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu warga negara Indonesia sehingga konkretnya adalah:
a. Seorang pria WNI kawin dengan seorang wanita WNA;
b. Seorang wanita WNI kawin dengan seorang pria WNA.
Perumusan Pasal 57 Undang-undang Perkawinan jika dibandingkan dengan perkawinan campuran menurut Stb. 189 No. 158 tentang GHR (Gemengde Huwelijken Reglement) tampak jelas ada bedanya, pengertian menurut Undang-undang Perkawinan lebih sempit karena hanya mengatur tentang beda kewarganegaraan dan salah satu pihak WNI saja sedangkan dalam GHR mengatur antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum-hukum yang berlainan, termasuk beda agama. Dalam praktik perkawinan ini banyak menuai permasalahan karena perkawinan beda agama, bukan sebagai perkawinan campuran dan memang tidak ada satu pasal pun yang mengaturnya.
I. Asas Asas Perkawinan
Perkawinan memiliki sisi hukum perdata, terdapat didalamya berbagai ketentuan yang akhirnya menjadi asas (aturan dasar) perkawinan, hal ini diatur dalam penjelasan umum UUP, yaitu;
1. Asas Sukarela. Dalam perkawinan hal ini sangat penting, baik kesukarelaan diantara kedua mempelai maupun orang tua mempelai yang akan malakukan perkawinan termasuk yang bertugas sebagai wali. Rasulullah menyatakan hal ini dengan tegas dibeberapa hadits.
2. Asas Persetujuan. Asas ini merupakan konsekuensi daripada asas pertama, dimaknai dengan tidak adanya paksaan pada kedua pihak, misalnya apabila seorang wanita akan menikah maka orang tua atau wali harus menanyakan dulu pada si wanita yang akan menikah atau dinikahkan, jika perkawinan dilangsungkan tanpa ada kesepakatan dari keduanya maka perkawinan pengadilan bisa membatalkannya.
3. Asas Bebas Memilih. Dikisahkan di sebuah riwayat Nabi bahwa seseorang dapat memilih antara dua yaitu tetap meneruskan perkawinan yang ada dengan oang yang tidak disukainya atau meminta dibatalkannya perkawinannya dan memilih seseorang yang ia sukai.
4. Asas Kemitraan. Adanya asas ini karena adanya tugas dan fungsi dari setiap pasangan yang berbeda karena perbedaan kodrat, hal ini dijelasannya dalam QS An-Nisaa' yaitu pada ayat 34 kemudian ada juga pada QS al-Baqarah yaitu pada ayat 187.
5. Asas Selamanya. Asas berbicara bahwa perkawinan adalah sesuatu yang dibangun untuk menciptakan hubungan jangka panjang, Adapun penjelasan semacam ini juga tercantum dalam QS. al- Rum yaitu ayat 21. Asas ini juga menjadi dasar tidak diperbolehkannya nikah muťah.
6. Asas Monogami Terbuka. UUP mengatur hal ini tapi hal ini tidak bersifat murtlak.
Undang-undang Perkawinan pasal 3 (1) mengatakan seorang suami hanya di ijinkan memiliki seorang istri begitupun sebaliknya. Hal ini tidak dikatakan mutlak karena asas ini memiliki tujuan untuk mempersempit tujuan poligami, bukan melarang atau menghapuskan poligami. Karena dalam keadaan tertentu dan syarat tertentu seseorang dapat melakukan poligami. Hal ini jelaskan juga dalam ayat 3 dan 129 pada QS. An- Nisa20.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas, maka dapat kami simpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut. Dan Hukum Keluarga merupakan cabang hukum yang mengatur hubungan antara anggota keluarga, termasuk perkawinan, perceraian, hak asuh anak, dan warisan. Dikenal juga sebagai Hukum Perdata Keluarga, atau Hukum Keluarga dan Warisan.
B. Saran
Demikian makalah ini kami susun, kami menyadari banyaknya kekeurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangatlah kami perlukan. Semoga dengan makalah ini, kami dapat memberikan Gambaran tentang Hukum Perkawinan dan Kekeluargaan dalam Perspektif Hukum Positif Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Elfirda, Ade Putri, S.H., MH. (2021). Buku Ajaran Hukum Perkawinan dan Kekeluargaan. Banyumas: CV. Pena Persada.
Dr. Cucu Solihah, S.Ag., M.H. (2025). Hukum Perkawinan dalam Teori dan Perkembangan. Yogyakarta: Zahir Publishing.
M. Zamroni. (2018). Prinsip-Prinsip Hukum Pencatatan di Indonesia. Surabaya: Media Sahabat Cendekia.
Djumikasih. (2022). Buku Ajaran Hukum Perdata. Malang: Universitas Brawijaya Press UB Press.
Phireri, S.H., M.H. (2024). Buku Ajaran Hukum Perdata. Jambi: PT. Sonpedia Publishing Indonesia.
Tinuk Dwi Cahyani, S.H., S.Hi., Mhum. (2020). Hukum Perkawinan. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.