Mahkamah Konstitusi: Penjaga Konstitusi atau Alat Politik?
Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia sejak kelahirannya digadang-gadang sebagai guardian of the constitution, sebuah institusi yang bertugas mengawal tegaknya Undang-Undang Dasar 1945 dan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran agung MK mulai menuai sorotan dan bahkan kritik tajam dari publik, akademisi, hingga organisasi masyarakat sipil.
Isu utama yang mencuat bukan hanya terkait kewenangan lembaga ini yang sangat luas, tetapi juga tentang independensi, integritas, dan etika para hakim konstitusi yang duduk di dalamnya. Sejumlah putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi dalam perkara politik dan pemilu menjadi titik balik kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tertinggi dalam sistem hukum tata negara tersebut.
Fungsi Ideal Mahkamah Konstitusi
Secara normatif, Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Merujuk Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945, MK memiliki lima kewenangan utama: menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta memberikan putusan atas pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dengan kewenangan sebesar itu, MK diharapkan menjadi benteng terakhir dalam menjaga kemurnian konstitusi dan demokrasi. Setiap putusan yang dihasilkan MK bersifat final dan mengikat, sehingga memiliki dampak langsung terhadap arah kebijakan negara dan perlindungan hak konstitusional warga negara.
Putusan Kontroversial dan Kecurigaan Publik
Namun, harapan terhadap netralitas dan kemuliaan MK tidak selalu sejalan dengan kenyataan. Beberapa putusan MK dalam beberapa tahun terakhir justru memperkuat anggapan publik bahwa lembaga ini mulai terkontaminasi kepentingan politik kekuasaan.
Salah satu putusan yang paling mengundang kontroversi adalah Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini dinilai “berbau politis” karena dianggap menguntungkan tokoh tertentu yang masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan elite kekuasaan.
Selain itu, dalam beberapa kasus dualisme partai politik, MK justru dinilai memperkuat kelompok yang dekat dengan kekuasaan, alih-alih menjadi penengah yang adil. Dalam putusan perselisihan hasil pemilu, MK juga tak luput dari sorotan. Ada pandangan bahwa keputusan yang diambil tidak mencerminkan keadilan substantif, melainkan dipengaruhi oleh tekanan politik dan agenda kelompok tertentu.
Pro dan Kontra Terhadap MK
Pihak yang membela MK berpendapat bahwa lembaga ini tetap menjadi pilar penting dalam sistem hukum ketatanegaraan. Keputusan yang bersifat final dan mengikat menjadi jaminan kepastian hukum, dan dalam banyak kasus, MK juga telah menunjukkan keberpihakannya pada konstitusi dan hak rakyat.
Namun, suara kontra tidak kalah lantang. Kritik utama tertuju pada proses seleksi hakim konstitusi yang dianggap tidak transparan dan sarat kepentingan politik, baik dari legislatif, eksekutif, maupun lembaga peradilan. Hal ini menciptakan kekhawatiran bahwa hakim MK bukanlah sosok independen yang bebas dari tekanan politik, melainkan "perpanjangan tangan" kekuasaan.
Masalah Etika dan Independensi Hakim MK
Kekhawatiran publik semakin diperparah dengan kasus pelanggaran etik yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi sendiri. Kasus tersebut menjadi preseden buruk yang mencoreng wibawa MK sebagai lembaga agung negara. Pelanggaran etika di level pimpinan tertinggi menjadi alarm keras bahwa lembaga ini membutuhkan reformasi serius, terutama dalam menjaga integritas para hakimnya.
Publik mulai bertanya, sejauh mana MK masih bisa dipercaya untuk mengawal konstitusi? Atau justru sudah mulai terjebak dalam jebakan kekuasaan yang merusak independensinya?
Rekomendasi: Jalan Reformasi Mahkamah Konstitusi
Jika Mahkamah Konstitusi ingin kembali mendapatkan kepercayaan rakyat, maka dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk memperbaiki sistem dari dalam. Beberapa solusi yang dapat diambil antara lain:
-
Reformasi Seleksi Hakim MK
Seleksi harus didasarkan pada meritokrasi, rekam jejak akademik dan integritas, serta dilakukan secara terbuka dengan melibatkan publik dan pakar independen. -
Pemisahan Politik dari Hukum
Perlu ada batas tegas antara ranah politik dan peradilan. Hakim konstitusi harus benar-benar bebas dari pengaruh partai politik atau kekuasaan eksekutif. -
Penguatan Pengawasan Etik
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi harus diberi kewenangan lebih luas dan independen dalam menegakkan kode etik hakim, termasuk transparansi dalam menjatuhkan sanksi. -
Transparansi Proses Persidangan dan Putusan
Seluruh proses sidang, termasuk pertimbangan putusan, harus terbuka dan bisa diakses publik. Hal ini penting untuk menjaga akuntabilitas.
Penutup
Mahkamah Konstitusi berada di persimpangan jalan: apakah tetap menjadi pelindung konstitusi yang independen, atau terjerumus menjadi instrumen kekuasaan? Kepercayaan publik terhadap lembaga ini harus dijaga dengan serius, karena jika MK tidak bisa dipercaya lagi, maka krisis keadilan konstitusional akan menjadi masalah besar bagi demokrasi Indonesia.
Masyarakat, akademisi, dan seluruh pemangku kepentingan harus terus mengawal dan mengkritisi kinerja MK agar tidak menyimpang dari tujuan awal pembentukannya. Konstitusi bukan alat politik, dan MK bukan panggung sandiwara kekuasaan.
Baca juga:
https://miftahulamri14problematika-presidential-threshold