Berpikir merupakan kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola yang disebut silogismusatau silogisme. Silogisme tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau pengetahuan akan benar apabila (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara penarikan kesimpulannya pun benar.
Berpikir Ilmiah adalah sebuah metode yang fokus untuk mencapai suatu tujuan berpikir yang optimal. Berpikir Ilmiah juga disebut dengan berpikir kritis Dengan kata lain, berpikir ilmiah merupakan suatu cara berpikir yang sistematis, logis, dan empiris untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sehingga berpikir ilmiah tersebut menghasilkan pengetahuan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Tujuan berpikir ilmiah tentu saja untuk menghasilkan suatu keputusan dan kesimpulan dari proses berpikir yang sah dan benar. Berpikir ilmiah adalah sebuah proses panjang dan bersifat makro yang terjadi dalam diri seorang manusia. Melewati serangkaian uji kebenaran mulai dari proses pengamatan, perenungan,
pembandingan, pengujian, penarikan keputusan hingga menyimpulkan, semuanya ada dalam satu paket berpikir ilmiah yang dalam interaksinya dengan masyarakat kemudian disebut dengan pengetahuan ilmiah.
Sarana bepikir juga menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan proses logika induktif, sebagimana ilmu yang merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Implikasi proses deduktif dan induktif menggunakan logika ilmiah. Logika ilmiah merupakan sarana berpikir ilmiah yang paling penting Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan atura-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu. Dalam penelitian ilmiah terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui cara kerja logika yaitu adalah induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif adalah cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang bersifat khusus sesuai fakta di lapangan.
Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses ilmiah. Namun dalam makalah ini sarana berpikir ilmiah akan dikelompokkan menjadi tiga yaitu bahasa, matematika dan statistika, sedangkan pembahasan logika dimasukan dalam ketiga sarana tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas. Adapun sarana berfikir ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika dan logika, kekempat sarana berfikir ilmiah ini sangat berperan dalam pembentukan ilmu yang baru.
B. Bahasa, matematika, logika, dan statistika diperlukan dalam kegiatan ilmiah
1. Bahasa Sarana Berpikir Ilmiah
Dalam komunikasi ilmiah, tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan ragam bahasa lainnya. Bahasa sastra sarat dengan keindahan atau estetika. Sementara itu, bahasa agama, dari perspektif theo-oriented, merupakan bahasa kitab suci yang preskriptif dan deskriptif, sedangkan dari perspektif anthropooriented, bisa mengarah pada narasi filsafat atau ilmiah.
Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.
Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif,yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.
2. Matematika Sarana Berpikir Ilmiah
Matematika merupakan sarana berpikir ilmiah yang menggunakan pola penalaran deduktif. Sarana berpikir ilmiah ini dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana berpikir ilmiah ini seperti mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahui bahwa salah satu karakterisitk dari ilmu umpamanya adalah penggunaan berpikir deduktif dan induktif dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya yang berbeda dengan metode ilmiah.
Selain sebagai bahasa, matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Menurut Wittegenstein dalam, matematika merupakan metode berpikir yang logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, sebagaimana yang disimpulkan oleh, "matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika"
Peranan matematika sebagai sarana berpikir ilmiah disebutkan dapat diperolehnya kemampuankemampuan sebagai berikut :
a. Menggunakan algoritma
Yang termasuk kedalam kemampuan ini antara lain adalah melakukan operasi hitung, operasi himpunan, dan operasi lainya. Juga menghitung ukuran tendensi sentral dari data yang banyak dengan cara manual.
b. Melakukan manipulasi secara matematika
Yang termasuk kedalam kemampuan ini antara lain adalah menggunakan sifatsifat atau rumus-rumus atau prinsipprinsip atau teorema-teorema kedalam pernyataan matematika .
c. Mengorganisasikan data
Kemampuan ini antara lain meliputi : mengorganisasikan data atau informasi, misalnya membedakan atau menyebutkan apa yang diketahui dari suatu soal atau masalah dari apa yang ditanyakan.
d. Memanfatkan simbol, tabel, grafik, dan membuatnya
Kemampuan ini antara lain meliputi : menggunakan simbol, tabel, grafik untuk menunjukan suatu perubahan atau kecenderungan dan membuatnya.
e. Mengenal dan menemukan pola
Kemampuan ini antara lain meliputi : mengenal pola susunan bilangan dan pola bangun geometri.
f. Menarik kesimpulan
Kemampuan ini antara lain meliputi : kemampuan menarik kesimpulan dari suatu hasil hitungan atau pembuktian suatu rumus.
g. Membuat kalimat atau model matematika
Kemampuan ini antara lain meliputi : kemampuan secara sederhana dari fonemenadalam kehidupan sehari-hari kedalam model matematika atau sebaliknya denganmodel ini diharapkan akan mempermudah penyelesaianya.
h. Membuat interpretasi bangun geometri
Kemampuan ini antara lain meliputi : kemampuan menyatakan bagian-bagian dari bangun geometri dasar maupun ruang dan memahami posisi dari bagian.
i. Memahami pengukuran dan satuannya
Kemampuan ini antara lain meliputi ; kemampuan memilih satuan ukuran yang tepat, estimasi, mengubah satuan ukuran ke satuan lainnya.
j. Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.
3. Logika Sarana Berpikir Ilmiah
Perkataan logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. Dalam bahasa Arab dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur benar10. Dalam Kamus Filsafat, logika – Inggris – logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti1. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah.
Logika sebagai cabang filsafat – adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan., logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan.
Dengan logika dapat dibedakan antara proses berpikir yang benar dan proses berpikir yang salah, ada tiga aspek penting dalam memahami logika:
a. Pengertian, pengertian merupakan tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dipahami, atau merupakan hasil pengetahuan hasil pengetahuan manusia mengenai realitas.
b. Proposisi atau Pernyataan, adalah rangkaian dari pengertian yang dibentuk oleh akal budi, atau merupakan pernyataan mengenai hubungan yang terdapat di antara dua term.
Penalaran, yaitu suatu proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. mengatakan ada dua cara penarikan kesimpulan melalui cara logika yakni Induktif dan Deduktif. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara tertentu, cara penarikan kesimpulan itu disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih. Dalam logika, berpikir dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatan , karena berpikir lurus dan tepat, merupakan objek formal logika.
Kegunaan Logika menurut:
a) Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.
b) Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.
c) Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.
d) Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan Menggunakan asas-asas sistematis.
e) Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan kesalahan berpikir, kekeliruan serta kesesatan.
f) Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.
g) Terhindar dari klenik, gugon-tuhon (bahasaJawa)
h) Apabila sudah mampu berpikir rasional, kritis ,lurus, metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang.
Ketidak puasan atas keilmuan yang dibangun diatas pemikiran awam terus mendorong berbagai disiplin keilmuan, salah satunya adalah filsafat. Filsafat mengurai kembali semua asumsi tersebut guna mendapatkan sebuah pengetahuan yang hakiki. Setiap kepala memiliki pemikirannya masing- masing, begitu pula dengan para ilmuan, setiap individu merujuk pada filsatat yang sama, yaitu penggunaan metode Ilmiah dalam menyelesaikan sebuah problematika keilmuan yang mereka hadapi.Karena penggunaan metode ilmiah dalam sebuah wacana keilmuan dapat meringankan ilmuan dan pengikutnya dalam melacak kebenaran wacana mereka tersebut. Sehigga akhirnya lahirlah sebuah asumsi bahwa dalam pengetahuan ilmiah semua kebenaran dapat dipertanggung jawabkan, meskipun hanya atas nama logika. Karena padahakekatnya setiap kebenaran ilmiah selalu diperkuat dengan adanya bukti-bukti empiris maupun indrawi yang mengikutinya.Sehingga dalam proses berfikir ilmiah ataupun sebuah pencapaian pemahaman final perlu ditopang dengan logika.
Penalaran dalam fungsinya sebagai kegiatan berfikir tentunya memiliki karakteristik atau ciri-ciri tertentu. Pertama, adanya pola berfikir yang secara luas (logis), hal inilah yang sering disebut sebagai logika. Selanjutnya dapat dikatakan bahwa setiap usaha penalaran mempunyai logikanya tersendiri karena ia merupakan sebuah proses berfikir. Sehingga Berfikir secara logis dapat dimaknai sebagai suatu pola, dan ketentuan tertentu yang digunakan dalam proses berfikir. Maka dari itu sebuah kerangka logika dalam satu hal tertentu sangat mungkin dianggap tidak logis jika ditinjau dari kerangka lainnya. Hal inilah yang menimbulkan adanya ketidakkonsistenan dalam menggunakan pola pikir, yang akhirnya melahirkan beberapa motode pendekatan yang bermacam-macam. Kedua, penalaran harus bersifat analistik, dengan maksud ia merupakan pencerminan dari suatu proses berfikir yang bersandar pada suatu analisa dan kerangka berfikir tertentu, dengan logika sebagai pijakannya. Secara sederhananya poin kedua ini merupakan sebuah proses menganalisa dengan logika ilmiah sebagai pijakannya. Yang mana analisa sendiri adalah suatu kegiatan berfikir dengan langkah-langkah yang tertentu. Sehingga kegiatan berfikir tidak semuanya berlandaskan pada penalaran. Maka dari itu berfikir dapat dibedakan mana yang menggunakan dasar logika dan analisa, serta mana yang tanpa menggunakan penalaran seperti menggunakan perasaan, intuisi, ataupun hal lainnya. Karena hal-hal tersebut bersifat non-analistik, yang tidak mendasarkan diri pada suatu pola berfikir tertentu.
Pengetahuan selalu berkembang dengan ukuran-ukuran yang konkrit, model, dan metodologi, serta observasi. Hingga dalam perkembangannya model dan cara berfikir yang dianggapkuno telah memperoleh gugatan. Hal ini dikarenakan, tidak semua ilmu pengetahuan dapat didekati dengan cara yang sama. Sehingga ditemukannya metode Penalaran deduktif yang diambil poin intinya dan dirumuskan secara singkat, maka didapatilah bentuk logis pikiran yang disebut silogisme ini. Sehingga penguasaan atas bentuk logis ini akan sangat membantu memfokuskan langkah-langkah pola pikirsehingga terlihat hubungan sebelum mencapai suatu kesimpulan.
Sehingga jika metode ilmiah adalah sebuah prosedur yang digunakan ilmuwan dalam mencari suatu kebenaran baru, maka ia perlu dijalankan secara sistematis dan ditinjau kembali dari kacamata pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Secara singkat metode bernalar dapat digolongkan kedalam dua bentuk yang tampak saling bertolak belakang namun saling melengkapi, yaitu induksi dan deduksi
1. Penalaran Deduktif (Rasionalisme/Logika Minor)
Penalaran Deduktif adalah suatu kerangka atau cara berfikir yang bertolak darisebuah asumsi atau pernyataan yang bersifat umum untuk mencapai sebuah kesimpulan yang bermakna lebih khusus. Ia sering pula diartikan dengan istilah logika minor, dikarenakan memperdalami dasar-dasar pensesuaian dalam pemikiran dengan hukum, rumus dan patokan-patokan tertentu. Pola penarikan kesimpulan dalam metode deduktif merujuk pada pola berfikir yang disebut silogisme. Yaitu bermula dari dua pernyataan atau lebih dengan sebuah kesimpulan. Yang mana kedua pernyataan tersebut sering disebut sebagai premis minor dan premis mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua premis tersebut. Namun kesimpulan di sini hanya bernilai benar jika kedua premis dan cara yang digunakan juga benar, serta hasilnya juga menunjukkan koherensi data tersebut. Contoh dari penggunaan premis dalam deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa. Premis Minor: Menipu merugikan orang lain. Kesimpulan: Menipu adalah dosa. Selain itu, matematika sebagai salah satu disiplin keilmuan yang yang menerapkan prinsip koherensi di dalam pembuktian kebenarannya.
2. Penalaran Induktif (Empirisme/Logika Mayor)
Penalaran induktif adalah cara berfikir untuk menarik kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala yang bersifat umum atau universal. Sehingga dapat dikatakan bahwapenalaran ini bertolak dari kenyataan yang bersifat terbatas dan khusus lalu diakhiri dengan statemen yang bersifat komplek dan umum. Generalisasi adalah salah satu ciri yang paling khas dalam metode induksi. Hanya saja, generalisasi di sini tidak berarti dengan mudahnya suatu proposisi yang diangkat dari suatu individu dibawa untuk digeneralisasikan terhadap suatu komunitas yang lebih luas. Justru, melalui metode ini, diberikan suatu kemungkinan untuk disimpulkan. Dalam artian, bahwa ada kemungkinan kesimpulan itu benar tapi tidak berarti bahwa itu pasti benar, sehingga akhirnya disinilah lahir probabilitas.
Ciri khas dari penalaran induktif adalah generalisasi. Generalisasi dapat dilakukan dengan dua metode yang berbeda. Pertama, yang dikenal dengan istilah induksi lengkap, yaitu generalisasi yang dilakukan dengan diawali hal-hal partikular yang mencakup keseluruhan jumlah dari suatu peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah di desa ada pohon kelapa, kemudian digeneralisasikan dengan pernyataan umum “setiap rumah di desa memiliki pohon kelapa.” Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula ragukan.Kedua, yang dilakukan dengan hanya sebagian hal partikular, atau bahkan dengan hanya sebuah hal khusus. Poin kedua inilah yang biasa disebut dengan induksi tidak lengkap.
Dalam penalaran induksi atau penelitian ilmiah sering kali tidak memungkinkan menerapkan induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap. Induksi lengkap dicapai manakala seluruh kejadian atau premis awalnya telah diteliti dan diamati secara mendalam. Namun jika tidak semua premis itu diamati dengan teliti, atau ada yang terlewatkan dan terlanjur sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap. Bahkan manakala seseorang seusai mengamati hal-hal partikular kemudian mengeneralisasikannya, maka sadar atau tidak, ia telah menggunakan induksi. Generalisasi di sini mungkin benar mungkin pula salah, namun yang lebih perlu dicermati adalah agar tidak terjadi sebuah kecerobohan generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada sarjana dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati. Alasanya sederhana, keterbatasanmanusia.Induksi sering pula diartikan dengan istilah logika mayor, karena membahas pensesuaian pemikiran dengan dunia empiris, ia menguji hasil usaha logika formal (deduktif), dengan membandingkannya dengan kenyataan empiris. Sehingga penganut paham empirme yang lebih sering mengembangkan pengetahuan bertolak dari pengalaman konkrit. Yang akhirnya mereka beranggapan satu-satunya pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh langsung dari pengalaman nyata. Dengan demikian secara tidak langsung penggiat aliran inilah yang sering menggunakan penalaran induktif. Karena Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi indrawi atau empiris.
Dengan kata lain penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-kasus yang bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.70Inilah alasan atas eratnya ikatan antara logika induktif dengan istilah generalisasi, serta empirisme.Penarikan kesimpulan secara induktif menghadapkan kita kepada suatu dilema tersendiri, yaitu banyaknya kasus yang harus diamati sampai mengerucut pada suatu kesimpulan yang general. Sebagai contohnya jika kita ingin mengetahui berapa rata-rata tinggi badan anak umur 9 tahun di Indonesia tentu cara paling logis adalah dengan mengukur tinggi seluruh anak umur 9 tahun diIndonesia. Proses tersebut tentu akan memberikan kesimpulan yang dapat dipertanggung jawabkan namun pelaksanaan dari proses ini sendiri sudah menjadi dilema yang tidak mudah untuk ditanggulangi.Di samping itu, guna menghindari kesalahan yang disebabkan karena generalisasi yang terburu, Bacon menawarkan empat macam idola atau godaan dalam berfikir: Pertama,idola tribus, yaitu menarik kesimpulan, tanpa dasar yang cukup. Artinya, kesimpulan diperoleh darik pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni, kesimpulan yang dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih sebagai hasil dari prasangka belaka. Ketiga, idola fori, poin ketiga ini cukup menarik, karena kesimpulan lahir hanya sebatas mengikuti anggapan ataupun opini public secara umum. Dan terakhir, idola theari, anggapan bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan yang diambil hanya berdasarkan mitos, doktrin, ataupun lainnya.
Tags:
Filsafat Hukum