Pada zaman Hindia Belanda dikenal tiga bentuk peradilan, yakni peradilan gubernemen (gouvernements recthspraack), peradilan bumi putra, dan peradilan swapraja. Menurut Soepomo, terdapat lima bentuk tatanan peradilan, yaitu: 1) Tatanan peradilan gubernemen, yang meliputi seluruh daerah Hindia Belanda, 2) Tatanan peradilan rakyat, 3) Tatanan peradilan swapraja, 4) Tatanan peradilan agama, dan 5) Tatanan peradilan desa di dalam masyarakat desa.
Secara historis, pada awal kemerdekaan kekuasaan Kehakiman di Indonesia belum menunjukkan bentuknya yang independen dan mandiri. Hal ini bisa dilihat dalam susunan lembaga peradilan masih diatur di dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942 tentang Susunan Peradilan Sipil dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Selain itu tahun 1946, Pemerintah Republik Indonesia membentuk Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Selanjutnya pada tahun 1947 Pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Jogjakarta mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1947 tentang Penghapusan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat di Jawa dan Madura. Kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang mengatur tentang
Dasardasar Kekuasaan Kehakiman yang juga mengadili perkara atas nama negara Republik Indonesia.
Perubahan mulai tampak setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 sebagai keharusan untuk merealisasikan pasal 24 UUD 1945. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 dinyatakan adanya tiga lembaga peradilan di Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan Peradilan Ketentaraan. Dan dalam pasal 10 ayat (2) undang-undang tersebut juga diakui keberadaan Hakim perdamian desa sebagai pemegang kekuasaan dalam masyarakat yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara berdasarkan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pada tanggal 29 Oktober 1949 saat berlangsung Konferensi Meja Bundar yang diadakan tanggal 23 Agustus-2 November 1949 di Belanda, disahkan Rancangan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Indonesia yang pada awal kemerdekaan didirikan di atas susunan kesatuan (unitaris) diarahkan menjadi negara federal (serikat). yang terdiri dari negara-negara bagian. Negara kesatuan dipecah oleh Belanda menjadi negara Federal dengan maksud agar antar negara bagian bisa diadu domba, sehingga jika terjadi krisis politik dan keamanan Belanda dapat mengambil kesempatan untuk menjajah Indonesia kembali.
Setelah disetujui oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 14 Desember 1949, naskah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dinyatakan berlaku pada tanggal 27 Desember 1949. Dalam konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949, Mahkamah Agung (MA) disebut sebagai salah satu dari enam alat kelengkapan federal Republik Indonesia Serikat (RIS). Mahkamah Agung (MA) diatur dalam ketentuan Bab IV, Pasal 113 - Pasal 116, sedangkan jenis pengadilan termasuk Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan federal, diatur pada Bagian III tentang Pengadilan yang terdiri dari Pasal 114 - Pasal 163. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) hanya berlaku selama satu tahun, yaitu berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950. Pada 12 Agustus 1950 disahkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Periode Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 berakhir setelah Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Dekrit presiden memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950. Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami awal krisis yang dimulai dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 19 tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional dan revolusi yang terancam, Presiden diperbolehkan intervensi kekuasaan atas putusan peradilan, serta menimbulkan berbagai penyimpangan. Praktek penyelenggaraan negara yang menyimpang dari UUD 1945 selama kepemimpinan Presiden Soekarno, antara lain:
1. Pengangkatan dirinya menjadi presiden seumur hidup yang dilakukan dengan TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Bng Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur hidup. Ketetapan ini jelas melanggar pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen.
2. Diangkatnya pimpinan lembaga tinggi negara Menjadi menteri hal ini dilakukan terhadap Prof Dr. Wirdjono Prodjodikoro saat itu menjabat ketua Mahkamah Agung (MA) dan Khairul Shaleh Wakil ketua MPRS. Padahal menurut ketentuan pasal 17 ayat (1) UUD 1945 (sebelum amandemen) menteri adalah pembantu presiden, dengan mengangkat keduanya sebagai menteri, maka presiden telah menempatkan MPR dan MA menjadi lembaga bawahannya.
3. Presiden Soekarno mengeluarkan peraturan perundang-undangan baru yang dikenal dengan nama penetapan Presiden, jenis peraturan ini dikeluarkan karena Soekarno tidak mau mendengar DPR atau DPR-GR.
4. Melakukan pembredeilan terhadap pers.
5. Penangkapan dan pemenjaraan tanpa proses hukum atas lawan-lawan politiknya.
Dependensi peradilan semakin merajalela ketika rezim Orde Baru. Dengan UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman terjadi dualisme dalam kekuasaan kehakiman, teknis peradilan berada di bawah Mahkamah Agung sedangkan administrasinya berada di bawah Departemen Kehakiman. Dualisme kekuasaan kehakiman inilah yang kemudian melahirkan perselingkuhan peradilan dan hakim tunduk kepada kekuasaan Soeharto dan menjadi petanda kekalahan kaum reformis saat itu. Berbagai penyelewengan dari UUD 1945 yang dilakukan oleh presiden Soeharto, yaitu antara lain:
a. Pemusatan kekuasaan yang sangat luar biasa di tangan presiden. Kondisi demikian pada perkembangannya membentk kedaulatan penguasa yang mengalahkan kedaulatan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
b. Memanfaat isi pasal 7 UUD 1945 untuk kepentingan politiknya agar terus berkuasa, sehinggga pada ahirnya diangkat menjad presiden berturut-turut selama 7 kali. Sementara teks pasal 7 UUD 1945 jka difahami secara mendalam hanya untuk dua kali masa jabatan presiden walaupunn tetap ada pihak yang tidak berpandangan demikian. Perilaku 7 kali menkabat presiden secara terus-menerus tidak sesuai dengan semangat demokrasi.
c. Eksplorasi sumber daya alam yang dlakukan secara massif dan mendatangkan keuntungan yang dinikmati oleh segelintir orang di sekitar kekuasaan (termasuk anakanak presiden soeharto). Perilaku ini melanggar prinsip “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemalmuran rakyat” sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
d. Membentuk lembaga ekstra konstitusional KopKamTib (diganti dengan Bakorstanas) yangbegitu berkuasa. Lembaga ini dapat menangkapn menahan bahkan menyiksa warga negara bila dipandang berbahaya bagi stabilitas keamanan yang ditafsirkan sendiri oleh lembaga ini. Sebagian besar korban dari aksi lembaga ini adalah orang-orang yang tidak sefaham dan mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan penguasa maupun yang kritis terhadap penguasa.
e. Pembredeilan terhadap pers dan menyumbat kebebasan berpendapat serta mengeluarkan fikiran sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.