islam dan radikalisme pdf

 

BAB I

PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Hubungan mayoritas-minoritas pastilah sangat kompleks, terlebih lagi di Indonesia yang memang secara historis dan sosial sangat majemuk dari sudut keagamaan. Dengan beragamnya bentuk-bentuk agama di Indonesia, maka beragam pula pandangan hidup yang terdiri dari rentetan etika. Dalam pelaksanaannya sering terjadi gesekan antar pemeluk karena dalam fungsi ini, agama tidak hanya menjadi alat pemersatu, namun agama dapat menjadi alat pemecah. Untuk itulah keragaman agama harus dipahami sebagai sesuatu yang memperindah bentuk lain supaya tidak terlihat janggal dalam kehidupan sosial. Di Indonesia, secara nasional orang selalu mengatakan Indonesia bukan negara Islam, tetapi negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Artinya, muslim atau pemeluk agama Islam sebagai mayoritas, sementara pemeluk agama selain Islam adalah minoritas.[1]

Isu kehidupan beragama di Indonesia tidaklah lugas, sebagaimana ditunjukkan oleh data-data tersebut. Di tengah persaingan antar agama untuk menerapkan syariat dan memperbanyak pemeluknya, toleransi tetap menjadi isu yang signifikan. Perwujudan kehidupan yang harmonis masih belum pasti. Konflik antar agama sebagian masyarakat dianggap disebabkan oleh paradigma keagamaan yang eksklusif, superior, dan meyakini agamanya paling benar. Manusia dan pemeluk agama dianggap lebih mungkin berkonflik sebagai akibat dari sikap tersebut. Diyakini bahwa paradigma eksklusif jelas menindas dan mengasingkan agama lain. [2]

Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”. Masyarakat beragama mayoritas dan minoritas memiliki tantangan masing-masing. Namun, masyarakat beragama minoritas memiliki tantangan tersendiri ketika berada di lingkungan masyarakat yang beragama mayoritas.

Selain agama, keberagaman yang dapat ditemui di Indonesia adalah keberagaman dalam hal kebudayaan (culture). Keberagaman dalam kebudayaan merupakan suatu keniscayaan bagi setiap warga negara Indonesia agar senantiasa hidup damai dan harmonis dalam perbedaan. Meskipun demikian, keberagaman kebudayaan yang ada di Indonesia seringkali menimbulkan ketegangan sosial yang dipicu oleh fanatisme dalam golongan masyarakat tertentu. Fanatisme dalam kebudayaan inilah yang sering menimbulkan isu-isu yang berkaitan dengan toleransi antar umat. Dalam kehidupan bermasyarakat, toleransi menjadi sebuah hal penting yang harus ada dalam setiap unsur kemasyarakatan. Karena dengan toleransi, masyarakat dapat menciptakan sikap saling menghargai antar umat beragama dan terjalin kehidupan yang harmonis. Secara harfiah, toleransi berasal dari kata tolerantia yang memiliki arti keringanan, kelonggaran, kesabaran, dan kelembutan hati.[3]

 Toleransi secara istilah berarti sikap keterbukaan dan lapang dada terhadap segala bentuk perbedaan. Toleransi juga dapat diartikan sebagai sikap membiarkan orang lain melakukan apapun sesuai dengan kepentingan pribadinya. Ada berbagai macam bentuk toleransi, salah satunya adalah toleransi dalam beragama. Toleransi beragama memiliki arti tidak menghalangi berbagai macam kegiatan keagamaan yang dilakukan umat beragama lain dalam rangka menjaga suasana kondusif antar umat beragama.[4] Dalam kehidupan bermasyarakat, fungsi yang dimiliki oleh agama tidak hanya terbatas pada fungsi spiritualnya saja, akan tetapi agama juga akan menjalankan fungsi sosial dalam rangka menciptakan kehidupan yang baik. Josê Cassanova (1994) menyatakan bahwa agama akan melakukan proses transformasi berupa meninggalkan ruang privat (fungsi spiritual) dan mulai memasuki ruang publik (masyarakat) untuk menjalankan fungsi sosial yang dimilikinya.[5]

B.  Rumusan masalah

1.    Bagaiman Islam memandang prinsip-prinsip toleransi terhadap minoritas agama di indonesia ?

2.    Bagaimana hubungan antara mayoritas dan minoritas beragama di indonesia ?

3.    Tujuan penulisan

1.      Untuk mengetahui hubungan antara mayoritas dan minoritas beragama di indonesia

2.      Untuk mengetahui pandagan islam terkait toleransi beragama 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pandagan Islam Terhdap Prinsip Toleransi Minoritas Agama Di Indonesia

Hakikatnya manusia terlahir dalam keadaan merdeka (freedom) dan suci, maksudnya hak ini merupakan sesuatu yang mutlak dimiliki oleh setiap manusia dalam bingkai kehidupannya di dunia. Begitupun dengan kebebasan dalam menjalankan keyakinannya kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak dapat diinterpensi oleh siapapun. Kebebasan tersebut menjadi sebuah keharusan bahwa hak-hak tersebut dilindungi baik oleh kelompok mayoritas maupun Hak Asasi Manusia dalam hal berkumpul, memberikan penerangan, menerima, dan mengajarkan agama. Selain itu juga diimbangi dengan penerapan kebebasan beragama dalam aspek sosial, ekonomi, hukum, dan politik pada lingkup nasional maupun internasional.[6]

Setiap individu berhak memilih dan meyakini kepercayaannya terhadap salah satu agama dengan diimbangi pengamalan sepenuh hati terhadap agama yang diyakininya. Dalam hal ini, Islam tidak memaksakan kehendak dan tidak diperbolehkan memaksakan keyakinan kepada orang lain bahwa seseorang harus mengikuti ajaran Islam, tetapi bagi yang meyakini Islam sebagai agamanya maka prinsip dalam menjalankan ajarannya harus kaffah.[7]

Islam sangat menghormati dan menghargai perbedaan, terlebih dalam urusan keyakinan terhadap agama. Setiap Muslim diberikan tugas untuk memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkadung dalam ajaran Islam tanpa harus memaksakan kehendaknya dengan jalan kekerasan. Islam harus diterima dengan keinginan sendiri bukan dengan paksaan, keputusan tersebut harus dihormati dan selalu dijaga oleh setiap Muslim. Selain itu juga Islam sangat melindungi jaminan kebebasan setiap individu baik dalam mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan mengeluarkan ucapan hati nurani dan keyakinan.[8] Piagam Madinah sudah mengatur akan kebebasan dalam memeluk dan menjalankan suatu agama, kebebasan beragama bukan dimaksudkan untuk merusak agama, tetapi menjaga dan melindunginya agar hak-hak tersebut tidak disalahgunakan terutama pada kelompok minoritas.[9]

Di Indonesia sendiri, kemajemukan mengenai agama merupakan suatu fakta sosiologis yang secara otomatis dikukuhkan dengan wacana politik sebagai hasil reformasi terhadap sikap keberagamaan. Dalam praktiknya mengakibatkan terjadinya transformasi kehidupan sosial keagamaan di Indonesia yang semakin terbuka lebar untuk berekspresi secara bebas. Intinya, Islam berpandangan bahwa setiap manusia mempunyai persamaan hak saat menentukan agama yang diyakininya. Hal tersebut telah dicontohkan Rasulullah SAW, beliau mampu memimpin dengan bijak dan mampu mewujudkan masyarakat madani meskipun berbeda kepercayaan satu sama lain.[10]

Sejarah mencatat, bahwa Islam dapat hidup berdampingan dengan komunitas minoritas dalam kondisi yang aman. Bahkan Nabi Muhammad SAW telah menyusun sebuah aturan yang menjamin terpeliharanya sebuah toleransi antara Islam dan agama lainnya dengan damai di Madinah yang dikenal dengan “Mitsaq al-Madinah” Di antara butir perjanjian itu berbunyi, “Orang-orang Yahudi Bani Auf adalah satu umat dengan orang-orang mukmin. Bagi orang-orang Yahudi adalah agama mereka dan bagi orang-orang Mukmin agama mereka, termasuk pengikut mereka dan diri mereka sendiri. Hal ini berlaku bagi orang-orang Yahudi selain Bani Auf.[11]

Pengakuan akan prinsip pluralisme dan kemajemukan dalam kontek agama, ras, suku, dan budaya merupakan kehendak Allah SWT. Tetapi Islam tidak membenarkan bahwa semua agama sama, karena pandangan Islam bahwa perbedaan seorang muslim dengan non-muslim tercermin pada Akidahnya dalam memeluk agama Islam. Sehingga ini menjadi perbedaan yang fundamental dan tidak membenarkan agama agama lain sama derajatnya dengan Islam[12]

Kebebasan beragama sepenuhnya dijamin oleh Islam tanpa ada unsur paksaan bahkan ancaman. Pandangan Islam, bahwa setiap orang berhak memeluk agama berdasarkan keyakinannya. Tidak dibenarkan ada pemaksaan terhadap seseorang untuk meninggalkan agamanya dan memeluk agama lain, terlebih lagi memeluk agama Islam. Prinsip Islam dalam melindungi hak minoritas sangat dijaga dan dihormati sebagaimana terkandung dalam Al-Quran, diantaranya: Q.S. Yunus Ayat 99, Q.S. Al-Kahfi Ayat 29, dan Q.S. Al-Kafirun. Keseluruhan ayat-ayat tersebut tidak membenarkan adanya paksaan dalam memeluk agama Islam. Islam juga mengajarkan kepada umatnya tentang tuntunan dan etika dalam berdakwah dan berdialog dengan orang-orang non-Muslim. Islam dengan sangat tegas melarang umatnya untuk mencela sembahan-sembahan orang non-Muslim, hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam QS: al-An’am: 108.

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

Terjemah:

Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.

Al-Quran secara tekstual tidak membicarakan secara jelas dan spesifik mengenai Hak Asasi Manusia. Hal itu dikarenakan Al-Quran merupakan sebuah kitab yang berisi pedoman dan bukan buku ilmiah yang secara tekstual menjabarkan akan sesuatu. Namun hebatnya AlQuran, di dalamnya memuat sejumlah tataran prinsip seperti mengajarkan nilai musyawarah, keadilan, kepedulian terhadap sesama, persamaan derajat atau menolak diskriminasi, perangai akhlak dan lain sebagainya. Konsep-konsep tersebut tidak lain merupakan penjabaran terhadap intisari nilai-nilai yang ada dalam Hak Asasi Manusia dan secara prinsipal saling terkait satu sama lain yang jika dipadukan akan memperoleh titik temu lebih rinci. 238 | Adliya: Jurnal Hukum dan Kemanusi Pada hakikatnya, Islam memang mengajarkan manusia menjadi muslim yang humanis, yakni muslim yang mampu berdamai dengan manusia lainnya, mereka yang menghindari sikap ekslusif, mereka yang mampu menghargai hingga bertoleransi dalam suatu ruang lingkup tertentu, serta mereka yang mampu menjadi penyangga bagi siapa saja yang berusaha untuk berdialektika dengan tujuan menjadi manusia idealis yang mampu ditempa dan dicetak.[13]

B.     Hubungan Antara Mayoritas Dan Minoritas Beragama Di Indonesia

Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu sarana yang penting dalam menjamin integrasi nasional, sekaligus merupakan kebutuhan dalam rangka menciptakan stabilitas yang diperlukan bagi proses pencapaian masyarakat Indonesia yang bersatu dan damai. Kerjasama yang rukun dapat terjadi apabila diantara para pemeluk agama merasa saling membutuhkan, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong, saling membantu dan mampu menyatukan pendapat atau istilah lainnya memiliki sikap toleransi. Dengan adanya toleransi maka akan dapat melestarikan persatuan dan kesatuan bangsa, mendukung dan menyukseskan pembangunan, serta menghilangkan kesenjangan. Hubungan antar umat beragama didasarkan pada prinsip persaudaraan yang baik, bekerjasama untuk menghadapi musuh dan membela golongan yang menderita.[14]

Prinsip mengenai toleransi antar umat beragama yaitu:

1.      tidak boleh ada paksaan dalam beragama baik paksaan itu berupa halus maupun dilakukan secara kasar;

2.      manusia berhak untuk memilih dan memeluk agama yang diyakininya dan beribadat menurut keyakinan itu;

3.      tidak akan berguna memaksa seseorang agar mengikuti suatu keyakinan tertentu ; dan

4.      Tuhan Yang Maha Esa tidak melarang hidup bermasyarakat dengan yang tidak sefaham atau tidak seagama, dengan harapan menghindari sikap saling bermusuhan.

Bentuk toleransi yang harus ditegakkan yaitu:

1.      Toleransi Agama

Toleransi agama adalah toleransi yang menyangkut keyakinan yang berhubungan dengan akidah yaitu sikap lapang dada untuk memberi kesempatan pemeluk agama selain Islam beribadah menurut ketentuan agama yang diyakininya

2.      Toleransi Sosial.

Sedangkan, toleransi sosial berorientasi terhadap toleransi kemasyarakatan. Dalam masyarakat yang beragam karena perbedaan agama dianjurkan untuk menegakkan kedamaian dan melakukan kerjasama dengan orang-orang yang berlainan agama dalam batas-batas yang telah ditentukan.[15]

Masing-masing agama seharusnya berusaha keras untuk mengisi pemahaman dan kegiatannya dengan hal-hal yang mendorong hubungan saling bekerjasama untuk semua orang sikap toleransi antar umat beragama yang dapat menerima kehadiran agama lain dengan segala kegiatannya. Bahkan untuk memberikan suasana yang baik, penerimaan itu diimbangi dengan terjadinya pergaulan antar umat beragama. Secara normatif nilai-nilai dasar yang menjadi landasan terbentuknya toleransi antar umat beragama adalah sebagai berikut: Pertama adalah nilai agama yang bersumber dari ajaran yang terdapat pada masingmasing agama baik itu Islam maupun Kristen yang menjelaskan tentang pentingnya sikap toleransi antar umat beragama. Seperti ajaran agama Kristen yang berlandaskan pada hukum kasih yang berbunyi: (1) kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan segenap jiwamu, (2) kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri. Bahkan terhadap musuh pun harus saling mengasihi. Karena dengan mengembangkan sikap saling mengasihi maka akan menjadi anak-anak bapamu yang disurga. Sebagaimana yang dituturkan oleh Bapak Sarji S.TH (50 tahun) selaku Pendeta agama Kristen bahwa kasih sayang itu tidak hanya tercurahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan tetapi juga mangasihi terhadap sesama manusia, semua ciptaan Tuhan baik itu binatang, tumbuhan, tanah, air, batuan dan bahkan terhadap musuh harus mengasihi ( Matius 5: 44-45). Dengan terwujudnya ajaran cinta kasih maka akan menciptakan kerukunan hidup dengan tidak memandang perbedaan latar belakang agama, budaya maupun sosial.[16]

Jadi dalam ajaran agama Kristen telah mengatur toleransi dengan cara mengasihi Tuhan, sesama manusia dan bahkan musuh. Kasih kepada Tuhan dengan totalitas diri baik jiwa maupun raga. Kasih kepada sesama seperti mencintai diri sendiri dan tidak membeda-bedakan manusia berdasarkan latar budaya. Sementara kasih kepada musuh dengan cara mendoakan agar kembali kepada jalan yang lurus. Ajaran agama Kristen juga percaya bahwa semua agama itu mengajarkan tentang kebaikan, keluhuran budi dan kerukunan antar umat beragama.

 Pada ajaran agama Islam pun telah mengatur tentang toleransi antar umat beragama. Seperti yang terdapat pada surat Al Kafirun ayat 6 yang berbunyi “Lakum Diinukum Waliyaddin” yang artinya untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku. Prinsip Islam mengenai toleransi adalah tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memeluk agama lain dan atau meninggalkan ajaran agamanya, dan setiap orang berhak untuk beribadat menurut ketentuan agamanya masingmasing. Selain itu, ajaran agama Islam selalu mengingatkan manusia bahwa seluruh umat manusia diciptakan Allah berbeda-beda, karena dijadikan oleh-Nya berbangsa-bangsa dan bersukusuku. Semua itu tidak lain agar manusia saling mengenal dan saling menghormati. Manusia juga dianjurkan untuk beramal saleh terhadap siapapun agar mendapat pengampunan dan barokah. Kedua adalah nilai budaya yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang dan telah menjadi tradisi di lingkungan masyarakat tertentu. Misalkan kebiasaan gotong-royong, guyub rukun yang turut mewarnai kehidupan manusia. Masyarakat Dusun Segaran tetap mempertahankan budaya gotongroyong dan guyub rukun sebagai wujud kebutuhan bersama dan sekaligus nilai yang membangun sikap kebersamaan di tengah-tengah perbedaan agama. Nilai budaya gotong-royong tidak memandang manusia berdasarkan agama, ras dan pangkat, melainkan memiliki kedudukan yang setara.[17]

Dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan-perbedaan golongan atau kasta atau perbedaan berdasarkan jumlah golongan (mayoritas dan minoritas). Yang menjadi peran penting dalam Islam adalah persatuan dan kedamaian. Dalam hal ini sudah tercermin di Indonesia yang ditunjukkan oleh Pancasila sila ketiga. Jika ada perbedaan maka tetap harus berlandaskan persatuan tersebut terlepas dari jumlah anggota. Sebagai umat Islam sebaiknya kita tetap menjaga pemahaman tentang mayoritas dan minoritas sesuai dengan ajaran Islam.

BAB III

PENUTUP

1.      Kesimpulan

 Setiap Muslim diberikan tugas untuk memberikan pemahaman terhadap nilai-nilai yang terkadung dalam ajaran Islam tanpa harus memaksakan kehendaknya dengan jalan kekerasan.  

Dalam Islam tidak mengenal adanya perbedaan-perbedaan golongan atau kasta atau perbedaan berdasarkan jumlah golongan (mayoritas dan minoritas). Yang menjadi peran penting dalam Islam adalah persatuan dan kedamaian



                [1]Liliweri, Komunikasi Antarpribadi (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005), h, 9-10.

                [2]M. Afiqul Adib, Toleransi Beragama Dari Sudut Pandang Agama Minoritas (Studi Kasus Di Vihara Dhammadipa Arama, Malang), Jurnal Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Islam Volume 01 No. 01 April 2023, h, 76.

                [3]Casram, “Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat Plural”, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, No. 2 (2016), 187-198. 

                [4]Suryan A. Jamrah, “Toleransi Antarumat Beragama: Perspektif Islam”, Jurnal Ushuluddin, No. 2 (2015), 185-200.

                [5]Agus Ahmad Safei, M. Ag., Sosiologi Toleransi, (Yogyakarta: CV Budi Utama), 25.

                [6] K. W. Eckhardt, Social Research Methods: Perspective, Theory, and Analysis (New York: Random House Inc., 1977), h, 230

                [7]Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Cet.1., (Yogyakarta: UII Press, 2001), h, 95-96

                [8]Maulana Abul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, Diterjemahkan oleh Djajaatmadja dan Bambang Iriana, Cet. 2., (Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h, 22

                [9]Sarah Larasati Mantovani, “Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 1 PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Penodaan Agama Terhadap Kebebasan Beragama di Indonesia (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 140/PUU-VII/2009)”. Skripsi: Fakultas Hukum Universitas Pamulang, 2011, h, 13

                [10]Dadang Kahmad, Multikulturalisme Islam dan Media, (Bandung : Pustaka Djati), 2013, h,22

                [11]Teks “Piagam Madinah” ini selengkapnya dapat dilihat dalam: Ibn Hisyam, AlSirah al-Nabawiyyah, hlm. 501. Lihat juga dalam: Saifurrah}man al-Mubarakfury, Sirah Nabawiyyah, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, Cet. 19, 2005), hlm. 255.

                [12]Ja’far Abd al-Salam, Al-Tasamuh fial-Fikri al-Islami, (Kairo: Rabit}ah al-Jami’ah al-Islamiyyah, 1425/2005), hlm. 167.

                [13]Linda Novianti, Pesan Cinta Sufisme Untuk Milenial, (Bandung :FITRAH), 2019, h. 56.

                [14]Lely Nisvilyah, Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa,  Kajian Moral dan Kewargenegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013, h 384

                [15]Ali, Mohammad Daud, Islam Untuk Disiplin Ilmu Hukum, Sosial dan Politik. (Jakarta: CV Wirabuana, 1986), h, 82

                [16]Lely Nisvilyah, Toleransi Antarumat Beragama Dalam Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa,  Kajian Moral dan Kewargenegaraan Nomor 1 Volume 2 Tahun 2013, h 388-389

                [17]Nofi Rohmawati, Nilai Nilai Pancasila Dalamkehidupan Sehari Hari Toleransi Antarumat Beragamadalam Memperkokoh Persatuan Dan Kesatuan Bangsa, Makalah  Program Studi Diii Keperawatanstik Kesdam Iv/Diponegoro Semarang 2022, h, 8.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama