KONKRETISASI NILAI CITA HUKUM PANCASILA DALAM PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONE NOMOR 8 TAHUN 2020 TENTANG PEMBAGUNAN KEPEMUDAAN pdf

 A.    Pendahuluan

Negara hukum Pancasila mengandung lima asas, yaitu  Pertama, asas Ketuhanan Yang Maha Esa.  Asas ini tercantum pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV, yaitu maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan pernyataan ini, Indonesia merupakan negara yang ber-Tuhan, agama dijalankan dengan cara yang berkeadaban, hubungan antar umat beragama, kegiatan beribadahnya dan toleransi harus berdasarkan pada Ketuhanan. Kebebasan beragama harus dilaksanakan berdasarkan pada tiga pilar, yaitu freedom (kebebasan), (aturan hukum) dan tolerance (toleransi). Kedua, asas perikemanusiaan universal. Asas ini mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, juga mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, ras, warna kulit, kedudukan sosial, dan lainnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan perwujudan dari asas perikemanusiaan dalam hukum positif Indonesia dalam kehidupan sehari-hari hal ini terlihat pada lembaga-lembaga yang didirikan untuk menampung segala yang tidak seimbang dalam kehidupan sosial.[1]

Ketiga, asas  kebangsaan atau persatuan dalam kebhinekaan, yaitu setiap warga negara mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Asas ini menunjukkan, bahwa bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri dan berdaulat, sehingga tidak membolehkan adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain dalam hal mengenai urusan dalam negeri  Keempat, asas demokrasi permusyawaratan atau kedaulatan rakyat. Penjelmaan dari asas ini dapat dilihat pada persetujuan dari rakyat atas pemerintah itu dapat ditunjukkan bahwa presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah, tetapi terlebih dahulu adanya undang-undang artinya tanpa persetujuan rakyat Presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah.Kelima, asas keadilan sosial. Asas ini antara lain diwujudkan dalam pemberian jaminan sosial dan lembaga negara yang bergerak di bidang sosial yang menyelenggarakan masalah-masalah sosial dalam negara.Pemikiran negara hukum Indonesia, pada satu sisi berkiblat ke barat dan pada sisi lain mengacu nilai-nilai kultural Indonesia asli. Pemikiran negara hukum inilah yang kemudian mendorong pengembangan model negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan Pancasila. Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan negara hukum. Pancasila merupakan falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka. Pancasila menjadi sumber pencerahan, sumber inspirasi dan sebagai dasar menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.[2]

Sesuai dengan pendapat Daniel S Lev, maka negara hukum Pancasila menjadi paham negara terbatas dimana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara hukum.[3] Konsep negara hukum Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara hukum formil dan materiil, karena selain menggunakan undang-undang juga menekankan adanya pemenuhan nilai-nilai hukum.[4]

Namun demikian, tidaklah mudah untuk dapat menginjeksi nilai-nilai Pancasila ke dalam tubuh peraturan perundang-undangan. Tantangan utama yang dihadapi adalah bagaimana membumikan nilai abstrak di dalam Pancasila ke dalam nilai-nilai konkret pasal-pasal peraturan perundang-undangan. Sebagai contoh, bagaimana memasukkan nilai-nilai Pancasila ke dalam norma-norma pasal ketentuan mengenai aturan paten, kandungan produk impor, dan sebagainya. Penerapan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan sejak proses awal sampai akhir pembentukan peraturan perundang-undangan dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan. Pada tahap perencanaan misalnya, penerapan tersebut dapat dilakukan dengan memastikan arah pengaturan di dalam dokumen perencanaan telah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Dokumen dimaksud dapat berupa program legislasi nasional atau program penyusunan peraturan perundang-undangan kementerian/lembaga.  Sementara pada tahap penyusunan, dilakukan exercise kesesuaian setiap norma pasal dengan nilai-nilai Pancasila. Demikian seterusnya sampai dengan tahap pengundangan.[5]

Dalam konteks Indonesia, peraturan daerah yang diberlakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD Indonesia telah tersapu oleh jebakan modernitas. Undang-undang ini hanya didasarkan pada nilai-nilai modern  untuk mendorong kemajuan dan sebaliknya, undang-undang tersebut tidak diambil. Mengingat nilai-nilai adat yang ada selama ini dipandang sebagai penghambat kemajuan nasional, padahal modernisasi hukum merupakan prasyarat percepatan pembangunan.Pendidikan hukum di Indonesia hanya bertumpu pada politik penyederhanaan, sehingga anggota parlemen enggan melakukan hal tersebut. dan tidak mampu mewakili secara substantif keberagaman nilai-nilai sosial dan hukum yang ada  dalam.[6]

Sejalan dengan dijelaskan diatas terkait dalam pembentuka peraturan derah kabupaten bone nomor 8 tahun 2020 tentang pengembagan kepemudaan harus sejalan dengan nilai nilai pencasila, namun kenyataannya dalam proses pembentukan perda tersebut telah menciderai nilai nilai pancasila yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.

B.     Pembahasan

 Menurut Hans Kelsen, validitas adalah eksistensi norma secara spesifik. Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang  mengasumsikan eksistensi norma tersebut dan  mengasumsikan  bahwa  norma  itu  memiliki  kekuatan  mengikat  (binding  force)  terhadap orang  yang  perilakunya  diatur.  Aturan  adalah  hukum,  dan  hukum  yang  jika  valid  adalah norma.  Jadi  hukum  adalah  norma  yang  memberikan  sanksi.  Kelsen  menjelaskan  bahwa norma  sebagai  kategori  yang  dikualifikasikan  sebagai  suatu  keharusan  adalah  genus,  bukan differentia spesifica dari hukum. Sebaliknya, norma hukum adalah bagian dari norma secara umum. Lebih  jauh,  Kelsen  memberikan  penjelasan  tentang  norma,  menurutnya  norma  dapat diasumsikan sebagai perintah sebagaimana yang dijelaskan Austin yang mengkarateristikkan hukum  atau aturan sebagai  suatu  perintah.  Tepatnya  hukum atau aturan sebagai spesies  dari perintah.  Suatu  perintah  adalah  ekspresi  kehendak  individu  dan  obyeknya  adalah  individu yang  lainnya.[7]

Menurut Hans Nawiasky, dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum, terdapat suatu kaidah tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi dari undang-undang dasar. Berdasarkan kaidah yang lebih tinggi inilah undang-undang dasar dibentuk. Kaidah tertinggi dalam kesatuan tatanan hukum dalam negara itu disebut dengan staatsfundamentalnorm, yang untuk bangsa Indonesia berupa Pancasila. Hakikat suatu staatsfundamentalnorm adalah syarat bagi berlakunya suatu undang-undang dasar karena lahir terlebih dahulu dan merupakan akar langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa serta keputusan bersama yang diambil oleh bangsa.[8]

Konsekuensi logis dari diletakkannya Pancasila sebagai ground norm-nya bangsa Indonesia tentunya harus dapat diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila harus dijadikan “way of life” dalam diri setiap masyarakat Indonesia. Setiap aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya, maupun hukum harus senantiasa berlandaskan kepada nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila yang ada di dalam Pancasila. Dalam konteks hukum, khususnya dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan, Pancasila semestinya diletakkan dalam wilayah sumber hukum materiil dari pembentukkan peraturan perundangundangan. Hal ini diperkuat dengan amanat dari Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan PerundangUndangan yang menyebutkan bahwa “ Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara”. Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai nilai yang terkandung dalam Pancasila.[9]

Dalam kontes pembentukan peraturan baik perda maupun UU melalui peroses awal sampai akhir pembentukan peraturan perundang-undangan dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan, dalam proses ini peraturan daerah kabupaten bone nomor 8 tahun 2020 tentang pembagunan kepemudaan yang tidak sesuai dengan proses pembentukan peraturan dan juga telah menciderai nilai nilai pancasila yang diman sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.

Dalam alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, termuat unsur- unsur yang menurut ilmu hukum di syaratkan bagi adanya suatu tertib hukum di Indonesia (rechts orde) atau (legai orde) yaitu suatu kebulatan dan keseluruhan peraturan peraturan hukum. Dengan di cantumkanya Pancasila secara formal didalam pembukaan UUD 1945, maka Pancasila memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif, dengan demikian tata kehidupan benegara tidak hanya bertopang pada asasasas sosial, ekonomi, politik, akan tetapi dalam perpaduanya dengan keseluruhan asas yang melekat padanya yaitu panduan asas- asas kultural.[10]

Produk hukum yang lahir harus memlaui tahapan politik hukum yang dimana proses keterlibatan berbagai kelompok masyrakat yang memiliki kepentingan dalam peraturan tersebut bukan hanya segelintir kelompok saja, dalam hal ini peraturan derah kabupaten bone no 8 tahun 2020 tentang pembagunan kepemudaan tidaklah demikina, dalam proses pembentukanya ditak mencerminkan nilai pancasila sila ke empat kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan silah ke lima keadilan sosial bagiseluruh rakyat indonesia, dalam pembentukan peraturan derah tersebut tidaklah demokratis seperti apa yang ada dalam nilai nilai pancasila perda ini lahir terindikasi naska akademiknya hasil plagiasi dari perda kepemudaan kota padang, penulis beranggapan hal ini telah menciderai nilai-nilai pancasila sebab dalam penyusunan naska akademik tidak memperhatikan fakta dan kondisi kepemudaan yang ada kerena  secara metode penelitian tidak melakukan penelitian sosiolegal.

sebagaiman dalam pembentukan perda memiliki 3 landasan pembentukan sebagai berikut:[11]

1.    Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.    Landasan Sosiologis

 Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat.

3.    Landasan Yuridis

Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.

Sebagaimana dalam landasan pembentukan peraturan daerah ada 3 landasan yang harus terpenuni. Adanya produk hukum yakni perda kabupaaten bone tentang kepemudaan yang serupa dengan perda kepemudaan daerah lain, sehingga hal ini memperjelas asumsi bahwa tidak diperhatiakanya landasan sosiologis. Mengingat secara kultur antara bone dan derah lain (padang) tentu punya karakteristik baik dalam bentuk budaya, prilaku, maupun cara hidup yang berbeda, olehnya itu produk hukum yang dilahirkan tentu harus menjawab tantagan tantagan sosiologis yang ada daerah tersebut khususnya konteks kepemudaan.

C.      Kesimpulan

Pancasila merupakan landasan norma bangsa Indonesia dan harus diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila harus dijadikan “pandangan hidup” dalam diri setiap masyarakat Indonesia.Dalam konteks pembentukan peraturan baik perda maupun UU, landasan pembentukannya mencakup landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Produk hukum yang lahir harus melalui tahapan politik hukum dengan melibatkan kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan dalam peraturan tersebut. Namun peraturan daerah kabupaten bone nomor 8 tahun 2020 tentang pembangunan kepemudaan tidak memperhatikan landasan sosiologis dan terindikasi sebagai plagiasi dari peraturan kepemudaan daerah lain. Hal ini menciderai nilai-nilai Pancasila dan proses pembentukan hukum yang demokratis.

D.    Saran

Berdasarkan uraiaan tulisan diatas adapun saran sebagai berikut:

1.      Menggali informasi lebih lanjut terkait landasan sosiologis yang seharusnya menjadi dasar pembentukan peraturan pembangunan kepemudaan. Melibatkan berbagai pihak yang berkompeten dan memiliki pengetahuan dalam bidang kepemudaan untuk memberikan masukan yang relevan.

2.      Penyusunan proses pembentukan peraturan di daerah dilakukan secara transparan dan partisipatif. Melibatkan pemangku kepentingan terkait, seperti organisasi kepemudaan, akademisi, dan masyarakat umum. Mengadakan forum diskusi atau konsultasi untuk mendengarkan pendapat dan saran dari berbagai pihak.

3.      Mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi dalam proses pembentukan peraturan daerah, termasuk Prinsip-prinsip Peraturan yang Baik yang meliputi keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan publik.



                [1]Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011), h, 67.

                [2]JE Sahetapy, Runtuhnya Etik Hukum, Jakarta: Kompas, 2009, h,169

                [3]Daniel S Lev, Hukum dan Politik di Indonesia: Kesinambungan  dan Perubahan, Jakarta:LP3ES, 1990, h.514.

                [4]Padmo Wahyono, “Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia”, Makalah, Jakarta:1977,hlm.4.

                [5]Nurul Hani Pratiw, : https://setkab.go.id/penerapan-nilai-nilai-pancasila-ke-dalam-peraturan-perundang-undangan/  diakses pada tanggal 10 januari 2024 pukul 21.00 wita

                [6]Sulistiowati  dan  Nurhasan  Ismail, Penormaan  Asas-Asas  Hukum  Pancasila  dalm  Kegiatan  Usaha  Koperasidan Perseroan Terbatas,Cetakan ke-2. (UGMPress: Yogyakarta, 2020), h 5

                [7]Hans  Kelsen, General  Theory  of  Law  and  State.  Translated  by:  Anders  Wedberg. (New  York: Russell & Russell, 1961),hlm. 30

                [8]Riyanto Astim, Teori Konstitusi, Yapemdo, Bandung, 2006.

                [9]Sekretariat Jenderal MPR RI, Op. Cit., hlm. 90-91.

                [10]Sri Widayati. Arti Pancasila Sebagai Sumber Hukum. http://www.gexcess.com. Diunduh pada Hari selasa tanggal 11 januari 2024 pukul 19.16

                [11]Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, (kuningan) Jakarta Selatan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, 2011, h, 15

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama