A. Pendahuluan
Negara hukum
Pancasila mengandung lima asas, yaitu Pertama, asas Ketuhanan Yang
Maha Esa. Asas ini tercantum pada Pembukaan UUD 1945 alinea ke IV, yaitu maka
disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Berdasarkan pernyataan ini, Indonesia merupakan negara yang
ber-Tuhan, agama dijalankan dengan cara yang berkeadaban, hubungan antar umat
beragama, kegiatan beribadahnya dan toleransi harus berdasarkan pada Ketuhanan.
Kebebasan beragama harus dilaksanakan berdasarkan pada tiga pilar,
yaitu freedom (kebebasan), (aturan hukum) dan tolerance (toleransi).
Kedua, asas perikemanusiaan universal. Asas ini mengakui dan memperlakukan
manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan, juga
mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi manusia tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, ras, warna kulit, kedudukan sosial, dan
lainnya. Dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan perwujudan dari asas
perikemanusiaan dalam hukum positif Indonesia dalam kehidupan sehari-hari hal
ini terlihat pada lembaga-lembaga yang didirikan untuk menampung segala yang
tidak seimbang dalam kehidupan sosial.[1]
Ketiga, asas
kebangsaan atau persatuan dalam kebhinekaan, yaitu setiap warga negara
mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Asas ini menunjukkan, bahwa
bangsa Indonesia bebas untuk menentukan nasibnya sendiri dan berdaulat,
sehingga tidak membolehkan adanya campur tangan (intervensi) dari bangsa lain dalam
hal mengenai urusan dalam negeri Keempat, asas
demokrasi permusyawaratan atau kedaulatan rakyat. Penjelmaan dari asas ini
dapat dilihat pada persetujuan dari rakyat atas pemerintah itu dapat
ditunjukkan bahwa presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah,
tetapi terlebih dahulu adanya undang-undang artinya tanpa persetujuan rakyat
Presiden tidak dapat menetapkan suatu peraturan pemerintah.Kelima, asas
keadilan sosial. Asas ini antara lain diwujudkan dalam pemberian jaminan sosial
dan lembaga negara yang bergerak di bidang sosial yang menyelenggarakan
masalah-masalah sosial dalam negara.Pemikiran negara hukum Indonesia, pada satu
sisi berkiblat ke barat dan pada sisi lain mengacu nilai-nilai kultural
Indonesia asli. Pemikiran negara hukum inilah yang kemudian mendorong
pengembangan model negara hukum versi Indonesia yaitu Negara hukum berdasarkan
Pancasila. Pancasila memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan negara
hukum. Pancasila merupakan falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka.
Pancasila menjadi sumber pencerahan, sumber inspirasi dan sebagai dasar
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa Indonesia.[2]
Sesuai dengan
pendapat Daniel S Lev, maka negara hukum Pancasila menjadi paham negara
terbatas dimana kekuasaan politik resmi dikelilingi oleh hukum yang jelas dan
penerimaannya akan mengubah kekuasaan menjadi wewenang yang ditentukan secara
hukum.[3] Konsep
negara hukum Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara hukum formil dan
materiil, karena selain menggunakan undang-undang juga menekankan adanya
pemenuhan nilai-nilai hukum.[4]
Namun demikian, tidaklah mudah untuk dapat menginjeksi
nilai-nilai Pancasila ke dalam tubuh peraturan perundang-undangan. Tantangan
utama yang dihadapi adalah bagaimana membumikan nilai abstrak di dalam
Pancasila ke dalam nilai-nilai konkret pasal-pasal peraturan
perundang-undangan. Sebagai contoh, bagaimana memasukkan nilai-nilai Pancasila
ke dalam norma-norma pasal ketentuan mengenai aturan paten, kandungan produk
impor, dan sebagainya. Penerapan nilai-nilai Pancasila dapat dilakukan sejak
proses awal sampai akhir pembentukan peraturan perundang-undangan dari tahap
perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan, dan pengundangan. Pada tahap
perencanaan misalnya, penerapan tersebut dapat dilakukan dengan memastikan arah
pengaturan di dalam dokumen perencanaan telah sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila. Dokumen dimaksud dapat berupa program legislasi nasional atau
program penyusunan peraturan perundang-undangan kementerian/lembaga.
Sementara pada tahap penyusunan, dilakukan exercise kesesuaian
setiap norma pasal dengan nilai-nilai Pancasila. Demikian seterusnya sampai
dengan tahap pengundangan.[5]
Dalam konteks
Indonesia, peraturan daerah yang diberlakukan oleh pemerintah daerah dan DPRD
Indonesia telah tersapu oleh jebakan modernitas. Undang-undang ini hanya
didasarkan pada nilai-nilai modern untuk
mendorong kemajuan dan sebaliknya, undang-undang tersebut tidak diambil.
Mengingat nilai-nilai adat yang ada selama ini dipandang sebagai penghambat
kemajuan nasional, padahal modernisasi hukum merupakan prasyarat percepatan
pembangunan.Pendidikan hukum di Indonesia hanya bertumpu pada politik
penyederhanaan, sehingga anggota parlemen enggan melakukan hal tersebut. dan
tidak mampu mewakili secara substantif keberagaman nilai-nilai sosial dan hukum
yang ada dalam.[6]
Sejalan dengan
dijelaskan diatas terkait dalam pembentuka peraturan derah kabupaten bone nomor
8 tahun 2020 tentang pengembagan kepemudaan harus sejalan dengan nilai nilai
pencasila, namun kenyataannya dalam proses pembentukan perda tersebut telah
menciderai nilai nilai pancasila yakni kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
B. Pembahasan
Menurut Hans Kelsen, validitas adalah eksistensi norma
secara spesifik. Suatu norma adalah valid merupakan suatu pernyataan yang mengasumsikan eksistensi norma tersebut
dan mengasumsikan bahwa
norma itu memiliki
kekuatan mengikat (binding force)
terhadap orang yang perilakunya
diatur. Aturan adalah
hukum, dan hukum
yang jika valid
adalah norma. Jadi hukum
adalah norma yang
memberikan sanksi. Kelsen
menjelaskan bahwa norma sebagai
kategori yang dikualifikasikan sebagai
suatu keharusan adalah
genus, bukan differentia
spesifica dari hukum. Sebaliknya, norma hukum adalah bagian dari norma
secara umum. Lebih jauh, Kelsen
memberikan penjelasan tentang
norma, menurutnya norma
dapat diasumsikan sebagai perintah sebagaimana yang dijelaskan Austin
yang mengkarateristikkan hukum atau
aturan sebagai suatu perintah.
Tepatnya hukum atau aturan
sebagai spesies dari perintah. Suatu
perintah adalah ekspresi
kehendak individu dan
obyeknya adalah individu yang
lainnya.[7]
Menurut
Hans Nawiasky, dalam suatu negara yang merupakan kesatuan tatanan hukum,
terdapat suatu kaidah tertinggi, yang kedudukannya lebih tinggi dari
undang-undang dasar. Berdasarkan kaidah yang lebih tinggi inilah undang-undang dasar
dibentuk. Kaidah tertinggi dalam kesatuan tatanan hukum dalam negara itu
disebut dengan staatsfundamentalnorm, yang untuk bangsa Indonesia berupa
Pancasila. Hakikat suatu staatsfundamentalnorm adalah syarat bagi berlakunya
suatu undang-undang dasar karena lahir terlebih dahulu dan merupakan akar
langsung pada kehendak sejarah suatu bangsa serta keputusan bersama yang
diambil oleh bangsa.[8]
Konsekuensi
logis dari diletakkannya Pancasila sebagai ground
norm-nya bangsa Indonesia tentunya harus dapat diimplementasikan dalam
setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pancasila harus
dijadikan “way of life” dalam diri
setiap masyarakat Indonesia. Setiap aspek kehidupan baik ekonomi, sosial, budaya,
maupun hukum harus senantiasa berlandaskan kepada nilai-nilai yang terkandung
dalam setiap sila yang ada di dalam Pancasila. Dalam konteks hukum, khususnya
dalam pembentukkan peraturan perundang-undangan, Pancasila semestinya
diletakkan dalam wilayah sumber hukum materiil dari pembentukkan peraturan
perundangundangan. Hal ini diperkuat dengan amanat dari Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukkan Peraturan PerundangUndangan yang
menyebutkan bahwa “ Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum Negara”.
Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah
sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dimana Pancasila ditempatkan sebagai dasar dan ideologi negara serta
sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan
peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai nilai yang
terkandung dalam Pancasila.[9]
Dalam
kontes pembentukan peraturan baik perda maupun UU melalui peroses awal sampai akhir pembentukan peraturan
perundang-undangan dari tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, penetapan,
dan pengundangan, dalam proses ini peraturan daerah kabupaten bone nomor 8
tahun 2020 tentang pembagunan kepemudaan yang tidak sesuai dengan proses pembentukan
peraturan dan juga telah menciderai nilai nilai pancasila yang diman sila kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
Dalam
alinea ke empat Pembukaan UUD 1945, termuat unsur- unsur yang menurut ilmu hukum
di syaratkan bagi adanya suatu tertib hukum di Indonesia (rechts orde) atau (legai orde)
yaitu suatu kebulatan dan keseluruhan peraturan peraturan hukum. Dengan di
cantumkanya Pancasila secara formal didalam pembukaan UUD 1945, maka Pancasila
memperoleh kedudukan sebagai norma dasar hukum positif, dengan demikian tata
kehidupan benegara tidak hanya bertopang pada asasasas sosial, ekonomi,
politik, akan tetapi dalam perpaduanya dengan keseluruhan asas yang melekat
padanya yaitu panduan asas- asas kultural.[10]
Produk
hukum yang lahir harus memlaui tahapan politik hukum yang dimana proses
keterlibatan berbagai kelompok masyrakat yang memiliki kepentingan dalam
peraturan tersebut bukan hanya segelintir kelompok saja, dalam hal ini
peraturan derah kabupaten bone no 8 tahun 2020 tentang pembagunan kepemudaan
tidaklah demikina, dalam proses pembentukanya ditak mencerminkan nilai
pancasila sila ke empat kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan dan
silah ke lima keadilan sosial bagiseluruh rakyat indonesia, dalam pembentukan
peraturan derah tersebut tidaklah demokratis seperti apa yang ada dalam nilai
nilai pancasila perda ini lahir terindikasi naska akademiknya hasil plagiasi
dari perda kepemudaan kota padang, penulis beranggapan hal ini telah menciderai
nilai-nilai pancasila sebab dalam penyusunan naska akademik tidak memperhatikan
fakta dan kondisi kepemudaan yang ada kerena
secara metode penelitian tidak melakukan penelitian sosiolegal.
sebagaiman dalam pembentukan perda memiliki 3
landasan pembentukan sebagai berikut:[11]
1.
Landasan
Filosofis
Landasan
filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang
meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari
Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2.
Landasan
Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya
menyangkut kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat.
3.
Landasan
Yuridis
Landasan
yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan
yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum
dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan
dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan
yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi
yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan,
peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih
rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah
ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
Sebagaimana
dalam landasan pembentukan peraturan daerah ada 3 landasan yang harus
terpenuni. Adanya produk hukum yakni perda kabupaaten bone tentang kepemudaan
yang serupa dengan perda kepemudaan daerah lain, sehingga hal ini memperjelas asumsi
bahwa tidak diperhatiakanya landasan sosiologis. Mengingat secara kultur antara
bone dan derah lain (padang) tentu punya karakteristik baik dalam bentuk
budaya, prilaku, maupun cara hidup yang berbeda, olehnya itu produk hukum yang
dilahirkan tentu harus menjawab tantagan tantagan sosiologis yang ada daerah
tersebut khususnya konteks kepemudaan.
C.
Kesimpulan
Pancasila
merupakan landasan norma bangsa Indonesia dan harus diimplementasikan dalam
setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Pancasila harus
dijadikan “pandangan hidup” dalam diri setiap masyarakat Indonesia.Dalam
konteks pembentukan peraturan baik perda maupun UU, landasan pembentukannya
mencakup landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Produk hukum
yang lahir harus melalui tahapan politik hukum dengan melibatkan kelompok
masyarakat yang memiliki kepentingan dalam peraturan tersebut. Namun peraturan
daerah kabupaten bone nomor 8 tahun 2020 tentang pembangunan kepemudaan tidak
memperhatikan landasan sosiologis dan terindikasi sebagai plagiasi dari
peraturan kepemudaan daerah lain. Hal ini menciderai nilai-nilai Pancasila dan
proses pembentukan hukum yang demokratis.
D.
Saran
Berdasarkan
uraiaan tulisan diatas adapun saran sebagai berikut:
1. Menggali informasi lebih lanjut
terkait landasan sosiologis yang seharusnya menjadi dasar pembentukan peraturan
pembangunan kepemudaan. Melibatkan berbagai pihak yang berkompeten dan memiliki
pengetahuan dalam bidang kepemudaan untuk memberikan masukan yang relevan.
2. Penyusunan proses pembentukan
peraturan di daerah dilakukan secara transparan dan partisipatif. Melibatkan
pemangku kepentingan terkait, seperti organisasi kepemudaan, akademisi, dan
masyarakat umum. Mengadakan forum diskusi atau konsultasi untuk mendengarkan
pendapat dan saran dari berbagai pihak.
3. Mengedepankan prinsip-prinsip
demokrasi dalam proses pembentukan peraturan daerah, termasuk Prinsip-prinsip
Peraturan yang Baik yang meliputi keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan
publik.
[1]Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011), h, 67.
[3]Daniel
S Lev, Hukum dan Politik di
Indonesia: Kesinambungan dan Perubahan, Jakarta:LP3ES, 1990,
h.514.
[5]Nurul Hani Pratiw, : https://setkab.go.id/penerapan-nilai-nilai-pancasila-ke-dalam-peraturan-perundang-undangan/
diakses pada tanggal 10 januari 2024 pukul 21.00 wita
[6]Sulistiowati dan Nurhasan Ismail, Penormaan Asas-Asas Hukum Pancasila dalm Kegiatan Usaha Koperasidan Perseroan Terbatas,Cetakan ke-2. (UGMPress: Yogyakarta, 2020), h 5
[7]Hans
Kelsen, General Theory of
Law and State.
Translated by: Anders
Wedberg. (New York: Russell &
Russell, 1961),hlm. 30
[10]Sri
Widayati. Arti Pancasila Sebagai Sumber Hukum. http://www.gexcess.com. Diunduh
pada Hari selasa tanggal 11 januari 2024 pukul 19.16
[11]Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, Direktorat Fasilitasi Perancangan Peraturan Daerah, Panduan Praktis Memahami Perancangan
Peraturan Daerah, (kuningan) Jakarta Selatan Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan, 2011, h, 15