MELIHAT
KEDEPAN : PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 DAN PROSPEK DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA
ANDI MIFTAHUL AMRI
WA: 081346406486
Mahasiswa Hukum
Tata Negara Pascasarja Iain Bone
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis prospek demokrasi lokal di Indonesia melalui
konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024. Demokrasi lokal
di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan sejak reformasi tahun 1998,
termasuk Pilkada serentak yang pertama kali diadakan pada tahun 2015. Melihat
kedepannya, Pilkada serentak tahun 2024 memiliki potensi yang cukup besar dalam
memperkuat demokrasi lokal di Indonesia.Metode penelitian yang digunakan adalah
studi literatur atau penelitian hukum normatif yang mencakup aspek hukum,
politik, dan sosial dalam kaitannya dengan proses Pilkada serentak. Penelitian
ini juga melibatkan pengumpulan data tentang partisipasi masyarakat, peran
media, dan keterlibatan pemilih dalam proses Pilkada Serentak.
Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Pilkada serentak tahun 2024 dapat menjadi
momentum penting dalam memperkuat demokrasi lokal di Indonesia. Partisipasi
masyarakat dalam pemilihan kepala daerah diharapkan semakin meningkat, begitu
pula dengan pemahaman dan kesadaran politik masyarakat. Selain itu, peran media
sebagai pengawas dan pendukung proses Pilkada juga menjadi faktor kunci dalam
memastikan transparansi dan akuntabilitas.Namun demikian, penelitian ini juga
mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pilkada
serentak tahun 2024. Tantangan tersebut meliputi faktor politik, ekonomi, dan
sosial yang dapat mempengaruhi integritas dan mendukung demokrasi lokal di
Indonesia.
Kata
kunci : dinamika, pilkada serentak, demokrasi lokal di indonesia
LOOKING AHEAD: SIMULTANEOUS
ELECTIONS IN 2024 AND PROSPECTS FOR LOCAL DEMOCRACY IN INDONESIA
ANDI MIFTAHUL AMRI
WA: 081346406486
ABSTRACT
This
research aims to analyze the prospects for local democracy in Indonesia through
the context of simultaneous Regional Head Elections (Pilkada) in 2024. Local
democracy in Indonesia has experienced significant development since the 1998
reform, including the first simultaneous Pilkada which was held in 2015.
Looking to the future, Pilkada Simultaneously in 2024 has considerable
potential in strengthening local democracy in Indonesia. The research method
used is literature study or normative legal research which covers legal,
political and social aspects in relation to the simultaneous regional election
process. This research also involves collecting data on community
participation, the role of the media, and voter involvement in the Simultaneous
Regional Election process.
The
results of this research show that the simultaneous regional elections in 2024
could be an important momentum in strengthening local democracy in Indonesia.
It is hoped that community participation in regional head elections will
increase, as will community political understanding and awareness. Apart from
that, the role of the media as a supervisor and supporter of the Pilkada
process is also a key factor in ensuring transparency and accountability. However,
this research also identifies several challenges faced in implementing the
simultaneous Pilkada in 2024. These challenges include political, economic and
social factors that can influence integrity and support local democracy in
Indonesia.
Key
words: dynamics, simultaneous regional elections, local democracy in Indonesia
A.
Pendahuluan
Konstitusi
sebagaimana dikenal dalam berbagai literatur dapat diartikan secara sempit
maupun secara luas. Dalam arti sempit, konstitusi dipahami hanya sebagai dokumen
hukum, namun dalam arti luas, konstitusi tidak hanya mencakup aspek dokumen
hukum tetapi juga non-hukum Memahami usulan konstitusi dalam arti luas Bolingkroke: “by constitutions, we mean,
whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage of laws,
institutions and custums, derived from certain fixed principles of reason, that
compose the general system, according to which the community had agreed to be
governed”.( Wheare, 1976).
Berdasarkan
pengertian tersebut, Bolingcroke menegaskan bahwa konstitusi merupakan suatu
bentuk pengaturan berbagai aspek
fundamental suatu negara, baik aspek hukum maupun aspek lain yang disepakati
oleh masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam memahami jubah bowling adalah aspek
sosial atau filosofis. Aspek fleksibilitas konstitusional yang ditekankan
Bolingcroke konsisten dengan pemahaman
konstitusi baik dalam arti statis maupun dinamis. Konstitusi dalam arti
statis merujuk pada wujudnya sebagai suatu pasal konstitusi yang bersifat
normatif dan memenuhi syarat sebagai konsep yang ingin diwujudkan oleh negara
sebagai konsensus sosial. (social
contract). (Dennis C. Mueller, 1998)
Perubahan
politik Indonesia pasca berakhirnya kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun
(1967-1998) antara lain ditandai dengan adanya reformasi ketatanegaraan yang
mengatur sistem ketatanegaraan Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia,
yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mulai berlaku
pada tanggal 18 Agustus 1945 dan telah
empat kali diubah. Politik terdiri dari dua instrumen politik yang penting: pemilihan umum yang demokratis
dan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi. Salah satu langkah mendasar
dalam kebijakan desentralisasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum daerah
untuk memilih pemimpin daerah. Penyelenggaraan pemilu nasional dan regional
atau daerah merupakan salah satu indikator keberhasilan demokrasi di negara
transisi seperti Indonesia. Henk Schulte Nordholt mengatakan, keberhasilan
Indonesia menyelenggarakan pemilu nasional (sejak 1999) dan pemilu lokal (sejak 2005)
karena diselenggarakannya pemilu khusus di tingkat kabupaten/kota,
provinsi, dan nasional yang berujung pada demokrasi elektoral. (Henk Schulte
Nordholt & Ireen Hoogenboom, 2006).
Penerapan
pemilihan kepala daerah secara langsung mencerminkan pergeseran dari model
elitis ke model populis dalam pemilihan kepemimpinan. Pemilihan kepala
daerah secara langsung yang erat
kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi ciri khas
perkembangan demokrasi di Indonesia dan partisipasi aktif masyarakat sangat
diharapkan. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat memperkuat
demokrasi dan menjadi peluang untuk memperkuat politik lokal. Sayangnya, kita
masih jauh dari tujuan tersebut.
Pemilihan kepala daerah secara langsung belum merupakan sarana demokrasi partisipatif yang utuh. Elit
politik menggunakan isu-isu agama,
etnis, kekeluargaan, dan kelompok sebagai instrumen hegemoni dan beralih ke
demokrasi patronase.. (Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken,2009).
Gejolak
yang terjadi setelah pemilukada tahun 2005 memunculkan gagasan untuk
menyelenggarakan pilkada serentak dalam beberapa tahap atau gelombang. Dua poin
berikut ini penting mengapa pilkada serentak menjadi solusi terbaik atas
berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pilkada. (1) Alasan pemilukada
efektif ditinjau dari tercapainya pemilukada yang lebih bermutu dan
bermartabat, baik ditinjau dari proses
maupun hasil pemilukada. (2) mengapa pemilu lokal berlangsung efisien,
khususnya dalam hal efisiensi anggaran yang harus digunakan negara untuk
mendanai proses pemilu lokal;. (Indra Pahlevi, 2014).
Pilkada
serentak merupakan hal yang penting dan strategis, merupakan momen bersejarah
bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin daerah secara besar-besaran,
terorganisir dan terstruktur. Pilkada serentak ini sebenarnya merupakan model
pemilu serentak pertama di dunia.
Indonesia harus tercatat dalam sejarah dunia karena menyelenggarakan pemilukada
serentak gelombang pertama yang meliputi sembilan provinsi, 224 daerah
pemilihan, dan 36 kota. Artinya, sekitar 53 persen dari 537
provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan menyelenggarakan
pemilukada serentak gelombang pertama. Gelombang pertama pilkada serentak
menyasar wilayah yang calon wali kota dan wakil wali kota daerahnya akan
menyelesaikan masa jabatannya (AMJ) pada tahun 2015 dan awal tahun 2016.
Kemudian, pada tahun 2017, gelombang kedua pemilukada serentak akan
dilaksanakan di seluruh daerah yang tercakup dalam AMJ pada akhir tahun 2016
dan AMJ pada tahun 2017. Sementara itu, pemilukada serentak gelombang ketiga
rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2018, dengan sasaran wilayah yang
dicakup oleh AMJ pada tahun 2018 dan
2019. Selain itu, Pilkada Serentak gelombang keempat akan dilaksanakan pada
tahun 2020, gelombang kelima pada tahun
2022, dan gelombang kelima pada tahun 2022. Gelombang 6 tahun 2018 Dilanjutkan
tahun 2023.( pidato kpu, 2015).
Pemilihan
kepala daerah secara langsung juga mengandung kontradiksi dengan tujuan awal
desentralisasi. Dalam pemilukada, partai politik memegang peranan yang sangat
penting dalam mengajukan calon pemimpin daerah, namun kini tidak menutup
kemungkinan bagi calon independen untuk mengajukan calon sebagai calon.
Ironisnya, desentralisasi di bidang politik
justru bertentangan dengan peran partai politik. Partai politik cenderung
terpusat karena semakin besarnya kekuasaan dan campur tangan elit politik tingkat pusat dalam mengajukan calon pemimpin
daerah. Celah dalam pemilukada harus segera diatasi untuk meminimalkan distorsi
demokrasi. Jika tidak diperbaiki, sistem
ini akan terus diterapkan dan terus memberikan peluang bagi elite politik untuk
terus mengontrol politik lokal. (M.
Zubakhrum B. Tjenreng, 2020 ).Berdasrakan pada uraian ditas maka penulis mengkaji
perssoalan pilkada serentak dan perospek demokarsi lokal di indonesia.
B. Metode penelitian
Metode
penelitian yang digunakan adalah studi literatur atau penelitian hukum normatif
yang mencakup aspek hukum, politik, dan sosial dalam kaitannya dengan proses
Pilkada serentak. Penelitian ini juga melibatkan pengumpulan data tentang
partisipasi masyarakat, peran media, dan keterlibatan pemilih dalam proses
Pilkada Serentak.
C. Hasil dan Pembahasan
1. Tantangan Pilkada Serentak Tahun 2024
Salah
satu landasan fundamental negara demokratis adalah adanya hak pilih universal.
Faktanya, pemilu menjadi dasar legitimasi rakyat dan merupakan sumber asli
kekuasaan dalam sistem demokrasi. Indonesia sendiri dikenal sebagai negara paling demokratis dalam hal pemilu. Hanya
dalam waktu lima tahun, masyarakat Indonesia telah melaksanakan berbagai
program pemilu baik di tingkat pusat maupun di tingkat desa. Faktanya,
Indonesia dikatakan memiliki sistem pemilu yang paling rumit di dunia, karena
sebagian besar pemilu diselenggarakan melalui pemungutan suara langsung. (one man one vote).( Khalil Zadeh Fuad
Afgan,2016)
Pemilu
di Indonesia terkenal rumit, namun sistem dan desainnya sering mengalami
perubahan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan
inkonstitusional terhadap pemilu legislatif di Indonesia yang sebelumnya
dilakukan secara terpisah (Pireg dan Pireg) dan selanjutnya menyatakan model
pemilu serentak yang dimulai pada tahun
2019 inkonstitusional. itu (Bayu Duy Angono, 2017). Dalam pembahasannya,
Mahkamah Konstitusi menyatakan ada tiga alasan diselenggarakannya pemilu
serentak, yakni sistem pemilu dan sistem pemerintahan presidensial, maksud asli
UUD 1945, serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu. MK juga
berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilu presiden dan parlemen secara bersamaan
akan mengubah sistem politik dan
menciptakan insentif bagi masyarakat, partai politik, dan pejabat pemerintah.
Hal ini dimulai dengan penghematan biaya dan waktu, memfasilitasi evaluasi fungsi
eksekutif dan legislatif, meminimalkan potensi konflik, dan menciptakan lembaga
eksekutif dan legislatif yang kuat.. (Achmad Edi Subiyanto,2020).
Akibat
berbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan Pemilu Serentak Pemilu 2019,
banyak partai politik yang meminta adanya perbaikan dan evaluasi yang
signifikan terhadap penyelenggaraan Pemilu Serentak Pemilu 2024. Namun
mengingat akan dilaksanakannya pemilu serentak pada tahun yang sama, maka
tantangan penyelenggaraan pemilu
serentak pada pemilu 2024 nampaknya
semakin kompleks. 2024. Dari awal hingga akhir tahun , konflik politik besar dipastikan akan
terjadi sepanjang tahun 2024. Mengingat agenda ini akan dilaksanakan serentak
di seluruh wilayah Indonesia,
maka penyelenggaraan pemilukada serentak akan menambah kompleksitas
penyelenggaraan pemilu 2024.
Melihat
ke belakang, rencana menyelenggarakan pemilukada terpadu secara serentak
merupakan tujuan yang telah digagas selama beberapa tahun. Hal ini tidak
terlepas dari UU Nomor 10 tahun 2016
tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan peraturan
pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Di seluruh Indonesia. Oleh
karena itu, pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020 telah dilaksanakan pilkada gelombang,
dan pada tahun 2024 akan dilaksanakan pilkada serentak di seluruh daerah.
Namun, kemungkinan terselenggaranya pemilukada serentak pada tahun 2024 harus
dibayar dengan penghapusan pemilukada pada tahun 2022 dan 2023, yang
mengakibatkan terpilihnya kepala daerah baru di daerah tersebut pada tahun
2024, banyak daerah yang akan diisi dengan pemimpin daerah yang petahana.(
Darmawan Darmawan dan M. Fajrul Falah,2022).
Terdapat
beberapa dinamika dan tantangan yang berpotensi ada dalam pelaksanaan Pemilu dan
Pirkada 2024. (Akhmad Rizal,2022).
1. Banyaknya pilihan dan rumitnya penyelenggaraan
pemilu serentak dapat menimbulkan kebingungan pemilu di kalangan masyarakat.
2. pemilu lokal
dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu nasional, perhatian masyarakat tidak
lagi tertuju pada pemilu tersebut. Perhatian masyarakat terutama akan tertuju
pada pemilu presiden dan pemilu nasional.
Dalam menghadapi pilkada serentak di
seluruh wilaya di indonesia memiliki tantangan yang cukup besar karena
berdasrakan dari pengamatan penulis melihat tahun 2024 adalah tahun politik
dimana 14 februari 2024 dilaksanakanya pemilihan umum presiden dan wakil
presiden serta DPR RI samapi DPRD kab/kota yang masih membekas ditelinga
masyarakat, bahakan masih terjadi konflik ditengah tengah masyarakar imbas dari
kampanye pemilu, dalam penggunan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak
pilihnya masih kurang.
2. Prospek Demokrasi Lokal Di Indonesia Dalam
Kontestasi Pilkada Serentak Tahun 2024
Demokrasi sebagai aspek penting
berkaitan dengan pemerintahan dan hierarki kekuasaan yang terdapat dalam sistem politik suatu negara. Artinya ada
sistem politik nasional, dan dalam kerangka sistem nasional itu terdapat
subsistem politik daerah. Penggolongan demokrasi lokal seperti ini tidak
berarti adanya penentuan wilayah di mana demokrasi dipraktikkan atau adanya
perbedaan antara suatu demokrasi dengan demokrasi induknya.demokrasi lokal
menjadi bagian integral dari demokrasi
Indonesia dalam rekrutmen elit
politik di pemerintahan daerah. Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem
politik nasional dan tingkat pengaruhnya berada dalam lingkup pemerintahan
daerah. Di Indonesia, demokrasi lokal merupakan subsistem demokrasi yang memberikan kesempatan kepada
pemerintah daerah untuk membangun hubungan pemerintahan daerah dengan
masyarakat di sekitarnya. Sejak era reformasi, demokrasi digantikan oleh
demokrasi partisipatif dan demokrasi langsung. Hal ini disebabkan karena banyak
pejabat politik yang tidak sepenuhnya memenuhi tanggung jawab mereka sehingga
legitimasi mereka lemah. Di sisi lain, hal ini akan meningkatkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa dan mendorong pengangkatan
birokrat politik ke arah demokrasi langsung. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika pengambilan hampir semua posisi politik berlangsung dalam
bentuk demokratis, berdasarkan hubungan langsung antara negara dan masyarakat.
Diawali dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya akan diadakan
pemilihan umum presiden dan wakil presiden Era demokrasi langsung ini menandai
era baru reformasi politik di Indonesia, yang pertama sejak Indonesia merdeka. Penerapan politik di
tingkat nasional ini merupakan perkembangan demokratis, dan keberhasilannya
diakui di seluruh dunia. (A.M. Yadisar, 214)
Demokrasi lokal dalam pemilu tingkat
lokal merupakan suatu dinamika yang besar, dan implementasinya masih sangat
diragukan. Pertanyaan ini relevan dengan demokrasi partisipatif yang akan
datang. Alasan tidak dilakukannya hal tersebut adalah pemberian kedaulatan
rakyat kepada elite daerah masih
diwarnai ketidakpastian, baik dari segi proses kerja penyelenggara dan peserta
serta posisi pemilih. Terkait dengan kedaulatan lokal, demokrasi lokal dibangun
sedemikian rupa untuk memberikan masyarakat lokal hak yang layak dalam
melegitimasi elit-elit terkemuka mereka. Hingga saat ini, warga lokal hanya
menyerahkan kedaulatan kepada dewan lokal melalui pemilihan parlemen. Sesuai
dengan konsep trias politica Montesquieu, pembagian kekuasaan ketiga lembaga
negara dalam konteks pemerintahan daerah terletak pada badan eksekutif dan
legislatif daerah, namun dalam kerangka hukum didasarkan pada kewenangan pusat.
Hal ini disebabkan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan
prinsip desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan
dapat dibagi menjadi strata demokrasi nasional dan lokal berdasarkan prosedur
rekrutmen politik. (A.M. Yadisar, 214)
Pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan
telah terjadi di masa lalu dimana para elit lokal berperang untuk menduduki
suatu wilayah yang dikehendakinya. Penaklukan wilayah pun tidak serta merta
hanya dilakukan melalui pertumpahan darah, adanya diplomasi antara kerajaan
satu dengan yang lain untuk menjalin kerja sama demi menciptakan kesejateraan
rakyat serta memperluas pengaruhnya sebagai pemimpin. Dalam konteks kekinian
relasi yang terbangun menjadi salah satu modal yang dimanfaatkan oleh elit
lokal untuk berkontestasi di panggung politik termasuk pilkada. Egoisme untuk
menjadi pemimpin sejatinya justru merusak tatanan sistem kekerabatan yang
terjalin, termasuk yang terjadi pada para Andi di sulawesi selatan , pada
pertarungan politik lokal yang terjadi justru melahirkan ketidaksolidan di mata
masyarakat. Kepemilikan capital para Andi serta pemanfaatan modal tersebut
kemudian dikontsruksikan sebagai upaya dalam meraih kesuksesan di pilkada.Mulai
dari capital kultural yang seringkali menjadi wacana pada saat kampanye dimana
sebagai dasar untuk menjadi seorang pemimpin yang berkualitas, selain itu
kepribadian yang bersahaja dan merakyat senantiasa ditunjukkan dalam menarik
simpatisan masyarakat. Para Andi ini masing-masing mengklaim dirinya yang
pantas untuk menduduki jabatan Bupati. (Muchlas M.Tahir,dkk,2017)
Adanya demokrasi dan liberalisasi
politik dimanfaatkan oleh seluruh atau kelompok masyarakat yang terjun ke
kancah politik untuk membuktikan kekuatannya. Pada masa Orde Baru di Indonesia,
tidak banyak kelompok bangsawan yang
mampu mempertahankan kekuasaan dalam menguasai wilayah. Penelitian tentang
kebangkitan kaum bangsawan dalam meraih kekuasaan di tingkat lokal semakin
meningkat. Ini merupakan penelitian yang
menarik dan menantang. Kebangsawanan dari berbagai wilayah secara
historis menjadi simbol dan cerita yang
ditanamkan secara turun temurun. Namun, tidak banyak keluarga bangsawan yang
mampu bertahan dengan kekuasaan tradisional
dan identitas kedaerahan. Terlebih lagi, pada masa Orde Baru, para
pemimpin adat Wilayah seolah “tertidur” di bawah bayang-bayang rezim otoriter penguasa. Terlebih lagi, masyarakat saat
ini menuntut hadirnya tata kelola
pemerintahan yang baik di semua tingkatan, termasuk proses konstruksi politik seperti pemilu
kepala daerah. Tata kelola yang mengedepankan adaptasi, kerja sama, dan sinergi
dalam kesetaraan antar tindakan.
(Prianto, 2011)
Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, para
bangsawan kembali muncul untuk mengeksplorasi dan menunjukkan jati diri mereka. (Gerry Van
Klinken (2007, Davidson dkk) menunjukkan
kepulangan sultan terjadi di Kalimantan Barat dan Maluku Utara. Para bangsawan
ini berusaha mengembalikan sistem kehidupan bernuansa istana di tiap daerah.
Klinken menyatakan, gerakan bangsawan ini
membentuk kelompok pada tahun
untuk menunjukkan kehadirannya dalam politik. Kelompok ini ingin melestarikan feodalisme di era otonomi daerah yang bersifat republik.
Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Dwipayana (2004) yang mengkaji fenomena kembalinya kekuasaan, bangsawan di dua
kota: Surakarta (Solo) dan Denpasar (Bali). Dengan memaparkan silsilah
kekuasaan aristokrat dan strategi kelangsungan hidup aristokrasi ini, pada masa
krisis yang mereka alami, pasca tumbangnya rezim Soeharto, kaum bangsawan ini
kembali hadir dan masuk kembali dalam kebudayaan. bidang ekonomi, politik, dan
birokrasi.
Menurut penelitian sejarah masa lalu, berbagai wilayah di Indonesia
terdiri dari kerajaan, dan secara historis mereka mempertahankan sistem
bangsawan sebagai sistem yang benar. Namun
rezim berubah dari waktu ke waktu, mempengaruhi kebiasaan kaum
bangsawan, dan terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru, kaum bangsawan harus
mengikuti pola dan sistem pemerintahan yang otoriter. Otoritarianisme penguasa
Orde Baru tercermin dari kekuasaan
kroni-kroni Soeharto yang tersebar di seluruh pemerintahan dan ranah politik,
dan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah, jabatan bupati tentu saja diangkat
oleh pemerintah pusat. Mengamankan kekuasaan Soeharto melalui jaringan tingkat lokal. Fenomena serupa terjadi di
Kabupaten Sengkang, Sulawesi Selatan. Di sana, pada masa Orde Baru,
terdapat pola kerja sama antara kaum bangsawan dan penguasa, para
bangsawan mampu eksis dan bertahan pada
masa Orde Baru karena lebih dekat dengan kekuasaan. Dengan bergabung di Partai
Golkar dan menjadi bagian dari tentara, bangsawan dengan mudah memperoleh
posisi di politik dan pemerintahan (Andi
Faisal Bakti, 2007, Nordholt dan Klinken).
Keadaan ini secara tidak langsung
menunjukkan adanya konflik elit antara bangsawan dan konflik dengan non bangsawan. Konflik elit yang terjadi dalam pemilukada
merupakan fenomena politik lokal yang
tidak dapat dihindari dalam setiap proses
penyelenggaraan pemilukada. Konflik elit mempunyai dampak positif dan negatif
terhadap proses demokratisasi yang
sedang berlangsung di Indonesia (Nehrun, 2016). Harus kita sadari bahwa situasi
politik ini membuat masyarakat menjadi dewasa untuk memilih yang terbaik sesuai
cita-cita masyarakat. Selain itu, perlu dipahami bahwa desentralisasi
dan demokratisasi daerah mempunyai potensi
besar untuk merangsang tumbuhnya organisasi dan jaringan masyarakat sipil (Usman, 2011). Jadi, meskipun mengalami
konflik yang didominasi oleh satu pihak, hal tersebut sebenarnya merupakan cara
untuk menciptakan jaringan komunitas.
Kajian terkait hal demikian bahwa
demokrasi lahir untuk memberikan hak yang sama bagi seluru warga negara untuk
ikut dalam kontektasi politik sesuai dengan perintah konstitusi setiap warga
negara berhak mendapatkan perlakukan yang sama baik dalam ranah hukum maupun
ranah politik, sebab hari ini sistem demokrasilah yang digunakan bukan sistem
kolonial yang memprotitaskan kaum bangswan.
D. Kesimpulan
Dalam
menghadapi pemihan kepalada derah serentak tahun 2024 memiliki tangtangan
akibat dari pemilu 14 februari 2024 yang masih membekas ditelinga masyarakat,
bahakan masih terjadi konflik ditengah tengah masyarakar imbas dari kampanye
pemilu, dalam penggunan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya
masih kurang, Banyaknya pilihan dan rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak
dapat menimbulkan kebingungan pemilu di kalangan masyarakat. pemilu lokal
dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu nasional, perhatian masyarakat tidak
lagi tertuju pada pemilu tersebut. Perhatian masyarakat terutama akan tertuju
pada pemilu presiden dan pemilu nasional.
Prospek
demokrasi lokal di indonesia dapat berjalan dengan baik ketika penerpan
regulasi dengan baik sesuai dengan amat konstitusi bahwa stiap orang berhak
mendapatkan kedudukan yang sama dalam mengikuti kontestasi politik lokal, sebab
demokrasi lahri untuk memberikan sarana bagi warga negara baik kaum bawah
maupun kaum bangsawan yang telah memenuhi syarat yang tertuang dalam aturan
yang berlaku ntuk ikut serta dalam konstes tasi politik lokal.
E. Daftar Pustaka
A.M.
YADISAR, PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG PERWUJUDAN DARI KEHIDUPAN DEMOKRASI
Fokus, Jilid 12, Nomor 2, Maret 2014
Bakti,
Andi Faisal. 2007. Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selata dalam Politik
Lokal di Indonesia, Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (eds). Jakarta.
KITLV Press.
Dennis
C. Mueller, 1988, Constitutional Democracy, London: Oxford University Press
Dwipayana,
AA GN Ari. 2004. Bangsawan dan Kuasa “Kembalinya Para NIngrat di Dua Kota”.
Yogyakarta.IRE Press.
Henk
Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, 2009, Politik Lokal di Indonesia,
Jakarta:Yayasan Obor
Henk
Schulte Nordholt & Ireen Hoogenboom, Indonesian in Transition, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 1
http://www.kpu.go.id/,
akses tanggal 07 maret 2024.
Indra
Pahlevi, “Pilkada Serentak dalam RUU Pilkada”, Buletin INFO Singkat Kemendagri,
Vol. VI. No.2/II/P3DI/ Januari/2014
K.C.
Wheare, dalam Modern Constitutions, (London: Oxford University Press, 1976),
Klinken,
Van Gerry. 2007. Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam
Politik Lokal: Adat dalam Politik Indonesia, Jamie S Davidson, David Henley,
dan Sandra Moniaga (ed). Jakarta. KITLV Press.
Muchlas
M.Tahir, Fitriani Sari Handayani Razak, dan Zulfan Nahruddin / Public Policy
/9/Vol. 5.No. 1. Tahun 2017
Nehrun,
I. (2016). Konflik Elit Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di
Gorontalo Tahun 2013. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 6(1), 42-49.
Prianto,
A. L. (2011). Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal.
Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1).
Usman,
J. (2011). Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah Dengan
Semangat Euforia Demokrasi Lokal. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1).