JURNAL MELIHAT KEDEPAN : PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 DAN PROSPEK DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA PDF

 

MELIHAT KEDEPAN : PILKADA SERENTAK TAHUN 2024 DAN PROSPEK DEMOKRASI LOKAL DI INDONESIA

ANDI MIFTAHUL AMRI

andimiftha30@gmail.com

WA: 081346406486

Mahasiswa Hukum Tata Negara Pascasarja Iain Bone

 


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prospek demokrasi lokal di Indonesia melalui konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024. Demokrasi lokal di Indonesia mengalami perkembangan yang signifikan sejak reformasi tahun 1998, termasuk Pilkada serentak yang pertama kali diadakan pada tahun 2015. Melihat kedepannya, Pilkada serentak tahun 2024 memiliki potensi yang cukup besar dalam memperkuat demokrasi lokal di Indonesia.Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur atau penelitian hukum normatif yang mencakup aspek hukum, politik, dan sosial dalam kaitannya dengan proses Pilkada serentak. Penelitian ini juga melibatkan pengumpulan data tentang partisipasi masyarakat, peran media, dan keterlibatan pemilih dalam proses Pilkada Serentak.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pilkada serentak tahun 2024 dapat menjadi momentum penting dalam memperkuat demokrasi lokal di Indonesia. Partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah diharapkan semakin meningkat, begitu pula dengan pemahaman dan kesadaran politik masyarakat. Selain itu, peran media sebagai pengawas dan pendukung proses Pilkada juga menjadi faktor kunci dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas.Namun demikian, penelitian ini juga mengidentifikasi beberapa tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024. Tantangan tersebut meliputi faktor politik, ekonomi, dan sosial yang dapat mempengaruhi integritas dan mendukung demokrasi lokal di Indonesia.

Kata kunci :  dinamika, pilkada serentak,  demokrasi lokal di indonesia

 

 

 

 

 

LOOKING AHEAD: SIMULTANEOUS ELECTIONS IN 2024 AND PROSPECTS FOR LOCAL DEMOCRACY IN INDONESIA

ANDI MIFTAHUL AMRI

andimiftha30@gmail.com

WA: 081346406486

Postgraduate Constitutional Law Student Iain Bone

ABSTRACT

This research aims to analyze the prospects for local democracy in Indonesia through the context of simultaneous Regional Head Elections (Pilkada) in 2024. Local democracy in Indonesia has experienced significant development since the 1998 reform, including the first simultaneous Pilkada which was held in 2015. Looking to the future, Pilkada Simultaneously in 2024 has considerable potential in strengthening local democracy in Indonesia. The research method used is literature study or normative legal research which covers legal, political and social aspects in relation to the simultaneous regional election process. This research also involves collecting data on community participation, the role of the media, and voter involvement in the Simultaneous Regional Election process.

The results of this research show that the simultaneous regional elections in 2024 could be an important momentum in strengthening local democracy in Indonesia. It is hoped that community participation in regional head elections will increase, as will community political understanding and awareness. Apart from that, the role of the media as a supervisor and supporter of the Pilkada process is also a key factor in ensuring transparency and accountability. However, this research also identifies several challenges faced in implementing the simultaneous Pilkada in 2024. These challenges include political, economic and social factors that can influence integrity and support local democracy in Indonesia.

Key words: dynamics, simultaneous regional elections, local democracy in Indonesia

 

 

 

 

 

A.    Pendahuluan

Konstitusi sebagaimana dikenal dalam berbagai literatur dapat diartikan secara sempit maupun secara luas. Dalam arti sempit, konstitusi dipahami hanya sebagai dokumen hukum, namun dalam arti luas, konstitusi tidak hanya mencakup aspek dokumen hukum tetapi juga non-hukum Memahami usulan konstitusi dalam arti luas Bolingkroke: “by constitutions, we mean, whenever we speak with propriety and exactness, that assemblage of laws, institutions and custums, derived from certain fixed principles of reason, that compose the general system, according to which the community had agreed to be governed”.( Wheare, 1976).

Berdasarkan pengertian tersebut, Bolingcroke menegaskan bahwa konstitusi merupakan suatu bentuk pengaturan  berbagai aspek fundamental suatu negara, baik aspek hukum maupun aspek lain yang disepakati oleh masyarakat untuk diatur. Aspek lain dalam memahami jubah bowling adalah aspek sosial atau filosofis. Aspek fleksibilitas konstitusional yang ditekankan Bolingcroke konsisten dengan pemahaman  konstitusi baik dalam arti statis maupun dinamis. Konstitusi dalam arti statis merujuk pada wujudnya sebagai suatu pasal konstitusi yang bersifat normatif dan memenuhi syarat sebagai konsep yang ingin diwujudkan oleh negara sebagai konsensus sosial. (social contract). (Dennis C. Mueller, 1998)

Perubahan politik Indonesia pasca berakhirnya kekuasaan Orde Baru selama 32 tahun (1967-1998) antara lain ditandai dengan adanya reformasi ketatanegaraan yang mengatur sistem ketatanegaraan Indonesia.

 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mulai berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 dan telah  empat kali diubah. Politik terdiri dari dua instrumen politik  yang penting: pemilihan umum yang demokratis dan kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi. Salah satu langkah mendasar dalam kebijakan desentralisasi adalah diselenggarakannya pemilihan umum daerah untuk memilih pemimpin daerah. Penyelenggaraan pemilu nasional dan regional atau daerah merupakan salah satu indikator keberhasilan demokrasi di negara transisi seperti Indonesia. Henk Schulte Nordholt mengatakan, keberhasilan Indonesia menyelenggarakan pemilu nasional (sejak  1999) dan pemilu lokal (sejak  2005)  karena diselenggarakannya pemilu khusus di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional yang berujung pada demokrasi elektoral. (Henk Schulte Nordholt & Ireen Hoogenboom, 2006).

Penerapan pemilihan kepala daerah secara langsung mencerminkan pergeseran dari  model  elitis ke model populis dalam pemilihan kepemimpinan. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang  erat kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah telah menjadi ciri khas perkembangan demokrasi di Indonesia dan partisipasi aktif masyarakat sangat diharapkan. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan dapat memperkuat demokrasi dan menjadi peluang untuk memperkuat politik lokal. Sayangnya, kita masih jauh  dari tujuan tersebut. Pemilihan kepala daerah secara langsung belum merupakan sarana  demokrasi partisipatif yang utuh. Elit politik  menggunakan isu-isu agama, etnis, kekeluargaan, dan kelompok sebagai instrumen hegemoni dan beralih ke demokrasi patronase.. (Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken,2009).

Gejolak yang terjadi setelah pemilukada tahun 2005 memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan pilkada serentak dalam beberapa tahap atau gelombang. Dua poin berikut ini penting mengapa pilkada serentak menjadi solusi terbaik atas berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pilkada. (1) Alasan pemilukada efektif ditinjau dari tercapainya pemilukada yang lebih bermutu dan bermartabat, baik ditinjau dari  proses maupun hasil pemilukada. (2) mengapa pemilu lokal berlangsung efisien, khususnya dalam hal efisiensi anggaran yang harus digunakan negara untuk mendanai proses pemilu lokal;. (Indra Pahlevi, 2014).

Pilkada serentak merupakan hal yang penting dan strategis, merupakan momen bersejarah bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin daerah secara besar-besaran, terorganisir dan terstruktur. Pilkada serentak ini sebenarnya merupakan model pemilu serentak  pertama di dunia. Indonesia harus tercatat dalam sejarah dunia karena menyelenggarakan pemilukada serentak gelombang pertama yang meliputi sembilan provinsi, 224 daerah pemilihan, dan 36 kota. Artinya, sekitar 53 persen dari  537  provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia akan menyelenggarakan pemilukada serentak gelombang pertama. Gelombang pertama pilkada serentak menyasar wilayah yang calon wali kota dan wakil wali kota daerahnya akan menyelesaikan masa jabatannya (AMJ) pada tahun 2015 dan awal tahun 2016. Kemudian, pada tahun 2017, gelombang kedua pemilukada serentak akan dilaksanakan di seluruh daerah yang tercakup dalam AMJ pada akhir tahun 2016 dan AMJ pada tahun 2017. Sementara itu, pemilukada serentak gelombang ketiga rencananya akan dilaksanakan pada tahun 2018, dengan sasaran wilayah yang dicakup oleh AMJ  pada tahun 2018 dan 2019. Selain itu, Pilkada Serentak gelombang keempat akan dilaksanakan pada tahun  2020, gelombang kelima pada tahun 2022, dan gelombang kelima pada tahun 2022. Gelombang 6 tahun 2018 Dilanjutkan tahun 2023.( pidato kpu, 2015).

Pemilihan kepala daerah secara langsung juga mengandung kontradiksi dengan tujuan awal desentralisasi. Dalam pemilukada, partai politik memegang peranan yang sangat penting dalam mengajukan calon pemimpin daerah, namun kini tidak menutup kemungkinan bagi calon independen untuk mengajukan calon sebagai calon. Ironisnya, desentralisasi  di bidang politik justru bertentangan dengan peran partai politik. Partai politik cenderung terpusat karena semakin besarnya kekuasaan dan campur tangan elit politik  tingkat pusat dalam mengajukan calon pemimpin daerah. Celah dalam pemilukada harus segera diatasi untuk meminimalkan distorsi demokrasi. Jika tidak  diperbaiki, sistem ini akan terus diterapkan dan terus memberikan peluang bagi elite politik untuk terus mengontrol politik lokal. (M. Zubakhrum B. Tjenreng, 2020 ).Berdasrakan pada uraian ditas maka penulis mengkaji perssoalan pilkada serentak dan perospek demokarsi lokal di indonesia.

B.     Metode penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur atau penelitian hukum normatif yang mencakup aspek hukum, politik, dan sosial dalam kaitannya dengan proses Pilkada serentak. Penelitian ini juga melibatkan pengumpulan data tentang partisipasi masyarakat, peran media, dan keterlibatan pemilih dalam proses Pilkada Serentak.

C.    Hasil dan Pembahasan

1.      Tantangan Pilkada Serentak Tahun 2024

Salah satu landasan fundamental negara demokratis adalah adanya hak pilih universal. Faktanya, pemilu menjadi dasar legitimasi rakyat dan merupakan sumber asli kekuasaan dalam sistem demokrasi. Indonesia sendiri dikenal sebagai negara  paling demokratis dalam hal pemilu. Hanya dalam waktu lima tahun, masyarakat Indonesia telah melaksanakan berbagai program pemilu baik di tingkat pusat maupun di tingkat desa. Faktanya, Indonesia dikatakan memiliki sistem pemilu yang paling rumit di dunia, karena sebagian besar pemilu diselenggarakan melalui pemungutan suara langsung. (one man one vote).( Khalil Zadeh Fuad Afgan,2016)

Pemilu di Indonesia terkenal rumit, namun sistem dan desainnya sering mengalami perubahan. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 menyatakan inkonstitusional terhadap pemilu legislatif di Indonesia yang sebelumnya dilakukan secara terpisah (Pireg dan Pireg) dan selanjutnya menyatakan model pemilu serentak yang  dimulai pada tahun 2019 inkonstitusional. itu (Bayu Duy Angono, 2017). Dalam pembahasannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan ada tiga alasan diselenggarakannya pemilu serentak, yakni sistem pemilu dan sistem pemerintahan presidensial, maksud asli UUD 1945, serta efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu. MK juga berpendapat bahwa penyelenggaraan pemilu presiden dan parlemen secara bersamaan akan mengubah sistem politik  dan menciptakan insentif bagi masyarakat, partai politik, dan pejabat pemerintah. Hal ini dimulai dengan penghematan biaya dan waktu, memfasilitasi evaluasi fungsi eksekutif dan legislatif, meminimalkan potensi konflik, dan menciptakan lembaga eksekutif dan legislatif yang kuat.. (Achmad Edi Subiyanto,2020).

Akibat berbagai persoalan yang muncul dalam pelaksanaan Pemilu Serentak Pemilu 2019, banyak partai politik yang meminta adanya perbaikan dan evaluasi yang signifikan terhadap penyelenggaraan Pemilu Serentak Pemilu 2024. Namun mengingat akan dilaksanakannya pemilu serentak pada tahun yang sama, maka tantangan penyelenggaraan  pemilu serentak pada pemilu 2024 nampaknya  semakin kompleks. 2024. Dari awal hingga akhir  tahun , konflik politik besar dipastikan akan terjadi sepanjang tahun 2024. Mengingat agenda ini akan dilaksanakan  serentak  di  seluruh wilayah Indonesia, maka penyelenggaraan pemilukada serentak akan menambah kompleksitas penyelenggaraan pemilu 2024.

Melihat ke belakang, rencana menyelenggarakan pemilukada terpadu secara serentak merupakan tujuan yang telah digagas selama beberapa tahun. Hal ini tidak terlepas dari  UU Nomor 10 tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 yang menetapkan peraturan pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Di seluruh  Indonesia. Oleh karena itu, pada tahun 2015, 2017, 2018, dan 2020 telah dilaksanakan pilkada gelombang, dan pada tahun 2024 akan dilaksanakan pilkada serentak di seluruh daerah. Namun, kemungkinan terselenggaranya pemilukada serentak pada tahun 2024 harus dibayar dengan penghapusan pemilukada pada tahun 2022 dan 2023, yang mengakibatkan terpilihnya kepala daerah baru di daerah tersebut pada tahun 2024, banyak daerah yang akan diisi dengan pemimpin daerah yang petahana.( Darmawan Darmawan dan M. Fajrul Falah,2022).

Terdapat beberapa dinamika dan tantangan yang berpotensi ada dalam pelaksanaan Pemilu dan Pirkada 2024. (Akhmad Rizal,2022).

1.  Banyaknya pilihan dan rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak dapat menimbulkan kebingungan pemilu di kalangan masyarakat.

2. pemilu lokal dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu nasional, perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada pemilu tersebut. Perhatian masyarakat terutama akan tertuju pada pemilu presiden dan pemilu nasional.

Dalam menghadapi pilkada serentak di seluruh wilaya di indonesia memiliki tantangan yang cukup besar karena berdasrakan dari pengamatan penulis melihat tahun 2024 adalah tahun politik dimana 14 februari 2024 dilaksanakanya pemilihan umum presiden dan wakil presiden serta DPR RI samapi DPRD kab/kota yang masih membekas ditelinga masyarakat, bahakan masih terjadi konflik ditengah tengah masyarakar imbas dari kampanye pemilu, dalam penggunan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya masih kurang.

2.      Prospek Demokrasi Lokal Di Indonesia Dalam Kontestasi Pilkada Serentak Tahun 2024

Demokrasi sebagai aspek penting berkaitan dengan pemerintahan dan hierarki kekuasaan yang terdapat dalam  sistem politik suatu negara. Artinya ada sistem politik nasional, dan dalam kerangka sistem nasional itu terdapat subsistem politik daerah. Penggolongan demokrasi lokal seperti ini tidak berarti adanya penentuan wilayah di mana demokrasi dipraktikkan atau adanya perbedaan antara suatu demokrasi dengan demokrasi induknya.demokrasi lokal menjadi bagian integral dari demokrasi  Indonesia dalam  rekrutmen elit politik di pemerintahan daerah. Demokrasi lokal merupakan bagian dari subsistem politik nasional dan tingkat pengaruhnya berada dalam lingkup pemerintahan daerah. Di Indonesia, demokrasi lokal merupakan subsistem  demokrasi yang memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk membangun hubungan pemerintahan daerah dengan masyarakat di sekitarnya. Sejak era reformasi, demokrasi digantikan oleh demokrasi partisipatif dan demokrasi langsung. Hal ini disebabkan karena banyak pejabat politik yang tidak sepenuhnya memenuhi tanggung jawab mereka sehingga legitimasi mereka lemah. Di sisi lain, hal ini akan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap penguasa dan mendorong pengangkatan birokrat politik ke arah demokrasi langsung. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika pengambilan hampir semua posisi politik berlangsung dalam bentuk demokratis, berdasarkan hubungan langsung antara negara dan masyarakat. Diawali dengan pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Selanjutnya akan diadakan pemilihan umum presiden dan wakil presiden Era demokrasi langsung ini menandai era baru reformasi politik di Indonesia, yang pertama  sejak Indonesia merdeka. Penerapan politik di tingkat nasional ini merupakan perkembangan demokratis, dan keberhasilannya diakui di seluruh dunia. (A.M. Yadisar, 214)

Demokrasi lokal dalam pemilu tingkat lokal merupakan suatu dinamika yang besar, dan implementasinya masih sangat diragukan. Pertanyaan ini relevan dengan demokrasi partisipatif yang akan datang. Alasan tidak dilakukannya hal tersebut adalah pemberian kedaulatan rakyat kepada elite daerah  masih diwarnai ketidakpastian, baik dari segi proses kerja penyelenggara dan peserta serta posisi pemilih. Terkait dengan kedaulatan lokal, demokrasi lokal dibangun sedemikian rupa untuk memberikan masyarakat lokal hak yang layak dalam melegitimasi elit-elit terkemuka mereka. Hingga saat ini, warga lokal hanya menyerahkan kedaulatan kepada dewan lokal melalui pemilihan parlemen. Sesuai dengan konsep trias politica Montesquieu, pembagian kekuasaan ketiga lembaga negara dalam konteks pemerintahan daerah terletak pada badan eksekutif dan legislatif daerah, namun dalam kerangka hukum didasarkan pada kewenangan pusat. Hal ini disebabkan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah berdasarkan prinsip desentralisasi. Kedaulatan rakyat dalam kerangka sistem pemerintahan dapat dibagi menjadi strata demokrasi nasional dan lokal berdasarkan prosedur rekrutmen politik. (A.M. Yadisar, 214)

Pertarungan untuk mendapatkan kekuasaan telah terjadi di masa lalu dimana para elit lokal berperang untuk menduduki suatu wilayah yang dikehendakinya. Penaklukan wilayah pun tidak serta merta hanya dilakukan melalui pertumpahan darah, adanya diplomasi antara kerajaan satu dengan yang lain untuk menjalin kerja sama demi menciptakan kesejateraan rakyat serta memperluas pengaruhnya sebagai pemimpin. Dalam konteks kekinian relasi yang terbangun menjadi salah satu modal yang dimanfaatkan oleh elit lokal untuk berkontestasi di panggung politik termasuk pilkada. Egoisme untuk menjadi pemimpin sejatinya justru merusak tatanan sistem kekerabatan yang terjalin, termasuk yang terjadi pada para Andi di sulawesi selatan , pada pertarungan politik lokal yang terjadi justru melahirkan ketidaksolidan di mata masyarakat. Kepemilikan capital para Andi serta pemanfaatan modal tersebut kemudian dikontsruksikan sebagai upaya dalam meraih kesuksesan di pilkada.Mulai dari capital kultural yang seringkali menjadi wacana pada saat kampanye dimana sebagai dasar untuk menjadi seorang pemimpin yang berkualitas, selain itu kepribadian yang bersahaja dan merakyat senantiasa ditunjukkan dalam menarik simpatisan masyarakat. Para Andi ini masing-masing mengklaim dirinya yang pantas untuk menduduki jabatan Bupati. (Muchlas M.Tahir,dkk,2017)

Adanya demokrasi dan liberalisasi politik dimanfaatkan oleh seluruh atau kelompok masyarakat yang terjun ke kancah politik untuk membuktikan kekuatannya. Pada masa Orde Baru di Indonesia, tidak banyak kelompok bangsawan  yang mampu mempertahankan kekuasaan dalam menguasai wilayah. Penelitian tentang kebangkitan kaum bangsawan dalam meraih kekuasaan di tingkat lokal semakin meningkat. Ini merupakan penelitian yang  menarik dan menantang. Kebangsawanan dari berbagai wilayah secara historis  menjadi simbol dan cerita yang ditanamkan secara turun temurun. Namun, tidak banyak keluarga bangsawan yang mampu bertahan dengan kekuasaan tradisional  dan identitas kedaerahan. Terlebih lagi, pada masa Orde Baru, para pemimpin adat Wilayah seolah “tertidur” di bawah bayang-bayang rezim otoriter  penguasa. Terlebih lagi, masyarakat saat ini  menuntut hadirnya tata kelola pemerintahan yang baik di semua tingkatan, termasuk  proses konstruksi politik seperti pemilu kepala daerah. Tata kelola yang mengedepankan adaptasi, kerja sama, dan sinergi dalam  kesetaraan antar tindakan. (Prianto, 2011)

Pasca jatuhnya rezim Orde Baru, para bangsawan kembali muncul untuk mengeksplorasi dan  menunjukkan jati diri mereka. (Gerry Van Klinken (2007,  Davidson dkk) menunjukkan kepulangan sultan terjadi di Kalimantan Barat dan Maluku Utara. Para bangsawan ini berusaha mengembalikan sistem kehidupan bernuansa istana di tiap daerah. Klinken menyatakan, gerakan bangsawan ini  membentuk kelompok pada tahun  untuk menunjukkan kehadirannya dalam politik. Kelompok  ini ingin melestarikan feodalisme  di era otonomi daerah yang bersifat republik.

Hal ini sejalan dengan pendapat Ali Dwipayana (2004) yang mengkaji fenomena kembalinya kekuasaan, bangsawan di dua kota: Surakarta (Solo) dan Denpasar (Bali). Dengan memaparkan silsilah kekuasaan aristokrat dan strategi kelangsungan hidup aristokrasi ini, pada masa krisis yang mereka alami, pasca tumbangnya rezim Soeharto, kaum bangsawan ini kembali hadir dan masuk kembali dalam kebudayaan. bidang ekonomi, politik, dan birokrasi.

Menurut penelitian sejarah  masa lalu, berbagai wilayah di Indonesia terdiri dari kerajaan, dan secara historis mereka mempertahankan sistem bangsawan sebagai sistem yang benar. Namun  rezim berubah dari waktu ke waktu, mempengaruhi kebiasaan kaum bangsawan, dan terutama pada masa Orde Lama dan Orde Baru, kaum bangsawan harus mengikuti pola dan sistem pemerintahan yang otoriter. Otoritarianisme penguasa Orde Baru tercermin  dari kekuasaan kroni-kroni Soeharto yang tersebar di seluruh pemerintahan dan ranah politik, dan sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di  daerah, jabatan bupati tentu saja diangkat oleh pemerintah pusat. Mengamankan kekuasaan Soeharto  melalui jaringan  tingkat lokal. Fenomena serupa terjadi di Kabupaten Sengkang, Sulawesi Selatan. Di sana, pada masa Orde Baru, terdapat  pola kerja sama  antara kaum bangsawan dan penguasa, para bangsawan  mampu eksis dan bertahan pada masa Orde Baru karena lebih dekat dengan kekuasaan. Dengan bergabung di Partai Golkar dan menjadi bagian dari tentara, bangsawan dengan mudah memperoleh posisi di  politik dan pemerintahan (Andi Faisal Bakti, 2007, Nordholt dan Klinken).

Keadaan ini secara tidak langsung menunjukkan adanya konflik elit antara bangsawan dan konflik dengan  non bangsawan.  Konflik elit yang terjadi dalam pemilukada merupakan  fenomena politik lokal yang tidak dapat dihindari dalam setiap  proses penyelenggaraan pemilukada. Konflik elit mempunyai dampak positif dan negatif terhadap  proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia (Nehrun, 2016). Harus kita sadari bahwa situasi politik ini membuat masyarakat menjadi dewasa untuk memilih yang terbaik  sesuai  cita-cita masyarakat. Selain itu, perlu dipahami bahwa desentralisasi dan  demokratisasi daerah mempunyai potensi besar untuk merangsang tumbuhnya organisasi dan jaringan masyarakat sipil  (Usman, 2011). Jadi, meskipun mengalami konflik yang didominasi oleh satu pihak, hal tersebut sebenarnya merupakan cara untuk menciptakan jaringan komunitas.

Kajian terkait hal demikian bahwa demokrasi lahir untuk memberikan hak yang sama bagi seluru warga negara untuk ikut dalam kontektasi politik sesuai dengan perintah konstitusi setiap warga negara berhak mendapatkan perlakukan yang sama baik dalam ranah hukum maupun ranah politik, sebab hari ini sistem demokrasilah yang digunakan bukan sistem kolonial yang memprotitaskan kaum bangswan.

D.    Kesimpulan

Dalam menghadapi pemihan kepalada derah serentak tahun 2024 memiliki tangtangan akibat dari pemilu 14 februari 2024 yang  masih membekas ditelinga masyarakat, bahakan masih terjadi konflik ditengah tengah masyarakar imbas dari kampanye pemilu, dalam penggunan partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya masih kurang, Banyaknya pilihan dan rumitnya penyelenggaraan pemilu serentak dapat menimbulkan kebingungan pemilu di kalangan masyarakat. pemilu lokal dilaksanakan beberapa bulan setelah pemilu nasional, perhatian masyarakat tidak lagi tertuju pada pemilu tersebut. Perhatian masyarakat terutama akan tertuju pada pemilu presiden dan pemilu nasional.

Prospek demokrasi lokal di indonesia dapat berjalan dengan baik ketika penerpan regulasi dengan baik sesuai dengan amat konstitusi bahwa stiap orang berhak mendapatkan kedudukan yang sama dalam mengikuti kontestasi politik lokal, sebab demokrasi lahri untuk memberikan sarana bagi warga negara baik kaum bawah maupun kaum bangsawan yang telah memenuhi syarat yang tertuang dalam aturan yang berlaku ntuk ikut serta dalam konstes tasi politik lokal.

E.     Daftar Pustaka

A.M. YADISAR, PEMILIHAN KEPALA DAERAH LANGSUNG PERWUJUDAN DARI KEHIDUPAN DEMOKRASI Fokus, Jilid 12, Nomor 2, Maret 2014

Bakti, Andi Faisal. 2007. Kekuasaan Keluarga di Wajo, Sulawesi Selata dalam Politik Lokal di Indonesia, Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (eds). Jakarta. KITLV Press.

Dennis C. Mueller, 1988, Constitutional Democracy, London: Oxford University Press

Dwipayana, AA GN Ari. 2004. Bangsawan dan Kuasa “Kembalinya Para NIngrat di Dua Kota”. Yogyakarta.IRE Press.

Henk Schulte Nordholt & Gerry van Klinken, 2009, Politik Lokal di Indonesia, Jakarta:Yayasan Obor

Henk Schulte Nordholt & Ireen Hoogenboom, Indonesian in Transition, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 1

http://www.kpu.go.id/, akses tanggal 07 maret 2024.

Indra Pahlevi, “Pilkada Serentak dalam RUU Pilkada”, Buletin INFO Singkat Kemendagri, Vol. VI. No.2/II/P3DI/ Januari/2014

K.C. Wheare, dalam Modern Constitutions, (London: Oxford University Press, 1976),

Klinken, Van Gerry. 2007. Kembalinya Para Sultan: Pentas Gerakan Komunitarian dalam Politik Lokal: Adat dalam Politik Indonesia, Jamie S Davidson, David Henley, dan Sandra Moniaga (ed). Jakarta. KITLV Press.

Muchlas M.Tahir, Fitriani Sari Handayani Razak, dan Zulfan Nahruddin / Public Policy /9/Vol. 5.No. 1. Tahun 2017

Nehrun, I. (2016). Konflik Elit Dalam Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota di Gorontalo Tahun 2013. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 6(1), 42-49.

Prianto, A. L. (2011). Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1).

Usman, J. (2011). Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah Dengan Semangat Euforia Demokrasi Lokal. Otoritas: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(1).

 

 

 

 

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama