Tanpa judul

 

MAKALAH

DAMPAK KEKOSONGAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT

Disusun Untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Hukum

Dosen Pengampu: Andi Miftahul Amri,S.H,M.H

 

 

Disusun oleh : Kelompok 12

 

1.     Risca Damayanti           (2269010708)

2.     Ahmad Khaedir             (2269010701)

 

 

 PROGRAM STUDI PPKN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

2024/2025


 

KATA PENGANTAR

 

Puji syukur atas kehadiran Allah SWT, karena atas berkah rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya. Adapun judul dari makalah kami adalah “DAMPAK KEKOSONGAN HUKUM DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT”.

Pada kesempatan ini kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada dosen pengampuh mata kuliah Filsafat Hukum yang telah memberikan tugas kepada kami. Kami juga berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.

Makalah  ini jauh dari kata sempurna dan ini merupakan langkah yang baik untuk mengembangkan proses studi kami,maka kritik dan saran sangat kami harapkan dalam makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat khusunya bagi penulis dan orang lain.

 

Watampone, 18 Oktober  2024

 

Penulis


 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR.. 2

DAFTAR ISI. 3

BAB I. 5

PENDAHULUAN.. 5

1.1      Latar Belakang. 5

1.2      Rumusan Masalah. 5

1.3      Tujuan Pembahasan. 5

BAB II. 6

PEMBAHASAN.. 6

2.1      DAMPAK KEKOSONGAN HUKUM... 6

2.2      UPAYA PENCEGAHAN KEKOSONGAN HUKUM... 6

2.3      EFEKTIVITAS HUKUM DAN UPAYA PENYELARASSAN KEKOSONGAN HUKUM    7

2.4      FUNGSI EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT. 8

BAB III. 12

PENUTUP. 12

1.1      Kesimpulan. 12

1.2      Saran. 12

DAFTAR PUSTAKA.. 13

 


BAB I

PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Kekosongan hukum dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan kosong atau ketiadaan peraturan perundang-undangan hukum yang mengatur tata tertib tertentu dalam masyarakat, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekosongan adalah perihal keadaan, sifat, dan sebagainya kosong atau hampa.

Penyebab terjadinya kekosongan hukum yaitu, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan baik dari legislatif maupun eksekutif pada kenyataan memerlukan waktu yang lama, sehingga pada saat peraturan perundang-undangan itu dinyatakan berlaku maka hal-hal atau keadaan yang hendak diatur oleh peraturan tersebut telah berubah. Selain itu, kekosongan hukum dapat terjadi karena hal-hal atau keadaan yang terjadi belum dapat diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan, atau sekalipun telah diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan namun tidak jelas atau bahkan tidak lengkap.

1.2              Rumusan Masalah

1.                  Apa dampak dari kekosongan hukum?

2.                  Bagaimana upaya pencegahan kekosongan hukum?

3.                  Bagaimana efektivitas hukum dan upaya penyelarasan kekosongan hukum?

4.                  Bagaimana fungsi efektivitas hukum dalam masyarakat?

1.3              Tujuan Pembahasan

1.      Dapat mengetahui dampak dari kekosongan hukum.

2.      Dapat mengetahui upaya pencegahan kekosongan hukum.

3.      Dapat mengetahui efektivitas hukum dan upaya penyelarasan kekosongan hukum.

4.      Dapat mengetahui bagaimana fungsi efektivitas hukum dalam masyarakat.


BAB II

PEMBAHASAN

2         .1   DAMPAK KEKOSONGAN HUKUM

Adanya kekosongan hukum dapat menyebabkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) atau ketidakpastian peraturan perundang-undangan di masyarakat yang akan menyebabkan kekacauan hukum (rechtsverwarring). Dalam arti bahwa selama tidak diatur berarti boleh, selama ada tata-cara yang jelas dan diatur berarti bukan berarti tidak boleh. Hal inilah yang menyebabkan kebingunan (kekacauan) dalam masyarakat mengenai aturan apa yang harus dipakai dan diterapkan. Dalam masyarakat menjadi tidak ada kepastian aturan yang diterapkan untuk mengatur hal-hal keadaan yang terjadi.

Adapun solusi apabila terjadi kekosongan hukum sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa perkembangan masyarakat selalu lebih cepat dari perkembangan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan sebenarnya dibuat sebagai panduan bersikap bagi masyarakat yang dapat menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh. Hukum yang stabil dapat menjadi ukuran yang pasti di masyarakat, namun hukum yang jalan di tempat pada kenyataannya akan menjadi hukum yang usang dan tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat. Untuk itu,sangat diperlukan perkembangan masyarakat.

2.     2  UPAYA PENCEGAHAN KEKOSONGAN HUKUM

Upaya pencegahan kekosongan hukum meliputi pembuatan undang-undang yang  mempunyai dua aspek, yaitu pertama pembuat undang-undang hanya menetapkan peraturan-peraturan umum, pertimbangan-pertimbangan tentang hal hal konkret diserahkan kepada hakim dan kedua adalah pembuat undang-undang selalu ketinggalan dengan kejadian kejadian sosial yang timbul kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah undang-undang itu.

Jika hakim menambah peraturan perundan-undangan, berarti bahwa hakim mengisi kekosongan (leemten) dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku. Pengisian ruang kosong dalam undang-undang oleh hakim baru dapat di terima dalam bagian kedua abad ke-19. Scholten berpendapat bahwa hukum itu merupakan suatu sistem terbuka (open system). Pendapat ini timbul berdasarkan pertimbangan tentang pesatnya kemajuan dan pertumbuhan masyarakat. Oleh karenanya dalam hukum yang ketinggalan itu terdapat banyak kekosongan didalam sistem hukum yang terpaksa harus diisi oleh hakim, asalkan pengisian atau penambahan itu tidak membawa perubahan prinsipiel pada sistem hukum yang berlaku.

Konstruksi hukum tidak boleh dilaksanakan secara sewenang-wenang harus didasarkan atas pengertian hukum yang ada di dalam undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi hukum tidak boleh di luar sistem material positif (Scholten). Dalam konstruksi hukum ini terdapat tiga bentuk, yaitu:

1.                  Analogi penafsiran dari pada suatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “menyambung aliran listrik” dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”. Analogi hukum pada prinsipnya berlaku untuk masalah-masalah perdata (privat), terutama sekali dalam hukum prikatan (verbinterissenrecht), sedangkan dalam hukum publik tidak boleh digunakan analogi.

2.                  Penghalusan hukum memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehinga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum ialah dengan cara mempersempit berlakunya suatu Pasal yang merupakan kebalikan dari analogi hukum. Sifat dari pada penghalusan hukum yaitu tidak mencari kesalahan dari pada pihak, dan apabila satu pihak disalahkan maka akan timbul ketengangan.

3.                  Argumentum a contrario penafsiran undang-undang yang di dasarkan atau pengingkaran artinya berlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Pasal dalam undang-undang.

2    .3  EFEKTIVITAS HUKUM DAN UPAYA PENYELARASSAN KEKOSONGAN HUKUM

Tujuan efektivitas hukum akan lebih banyak menggunakan optik atau kacamata sosiologis dari pada optik normatif, namun bukan berarti optik normatif terlupakan sebab terlebih dahulu harus mengetahui perihal kaidah hukum itu sendiri dan tujuan hukum tersebut, barulah dapat dipahami apakah hukum itu efektif atau tidak. [1]

Salah satu aspek pembicaraan efektifitas hukum sering kali dikaitkan dengan pengaruh hukum terhadap masyarakat ini dari pengaruh hukum terhadap masyarakat, yaitu pola perilaku warga masyarakat yang sesuai dengan hukum yang berlaku atau telah diputuskan. Jika tujuan hukum tercapai, yaitu bila warga masyarakat berperilaku sesuai dengan yang diharapkan atau dikenhendaki oleh hukum, hal ini dinamakan hukum efektif

Selanjutnya menurut Adam Podgorecky (Ahmad Ali, 1998.198) menyatakan, bahwa agar suatu undang-undang diharapkan berlaku efektif yaitu :

1.      Penggambaran situasi yang baik yang sedang dihadapi.

2.      Melakukan analisis terhadap penilaian-penilaian tersebut ke dalam tata susunan yang hierarkis sifatnya. Dengan cara ini maka akan diperoleh suatu pegangan atau pedoman, apakah penggunaan suatu sarana menghasilkan sesuatu yang positif, artinya penggunaan sesuatu sarana penyembuhannya tidak lebih buruk daripada penyakitnya.

3.      Verifikasi terhadap hipotesis yang diajukan menjamin tercapainya tujuantujuan yang dikehendaki atau tidak.

4.      Pengukuran terhadap efek-efek peraturan yang diperlukan.

5.      Identifikasi terhadap faktor-faktor yang akan menetralisir efek-efek yang buruk dari peraturan-peraturan yang diperlukan.

6.      Pelembagaan peraturan-peraturan di dalam masyarakat, sehingga tujuan pembaharuan hukum berhasil dicapai.

Suatu aturan dianggap efektif berlakunya jika sebagian besar masyarakat menaati aturan tersebut dengan kata lain aturan hukum tersebut efektif, maka kualitas efektifiktas hukum tersebut berbeda. Semakin banyak warga masyarakat menaati suatu aturan hukum karena faktor internalization,[2] maka kualitas efektivitas hukum semakin tinggi, sedangkan ketaatan masyarakat terhadap suatu aturan hukum karena faktor identification dan compliance, maka kualitas efektifitasnya masih rendah.

2.     4   FUNGSI EFEKTIVITAS HUKUM DALAM MASYARAKAT

Masyarakat memerlukan suatu aturan untuk menciptakan suatu suasana yang harmonis didalam kehidupan masyarakat. Ituran itu berupa hukum, hukum yang ada dapat merupakan hukum tertulis atau tak tertulis. Hukum yang ada dalam masyarakat ini hendaknya memiliki suatu dasar hukum yang menjiwai dari keadaan seluruh masyarakat, memiliki fungsi yang ideal dengan memiliki unsur keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Apabila membicarakan masalah efektif atau berfungsi tidaknya suatu hukum dalam arti undang-undang atau produk hukum lainnya, maka pada umumnya pikiran di arahkan pada kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak dalam masyarakat. Dalam teori-teori hukum biasanya dibedakan antara tiga hal berlakunya hukum sebagai kaidah. Mengenai pemberlakuan kaidah hukum menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1987:23) bahwa:[3]

1.      Kaidah hukum berlaku secara yuridis apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau lebih berbentuk menurut cara yang telah di tetapkan atau apabila menunjukan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya

2.      Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak di terima oleh warga masyarakat atau kiadah tadi berlaku karena di terima dan diakui oleh masyarakat.

3.      Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita- cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.

Maka untuk berfungsi atau efektifnya suatu hukum haruslah memenuhi ketiga unsur tersebut. Sejalan dengan hal itu agar suatu peraturan atau kaidah hukum benar-benar berfungsi harus memenuhi beberapa faktor (menurut Soerjono Soekanto), yaitu: hukumnya sendiri, penegak hukum, sarana maupun fasilitas, masyarakat dan kebudayaan.

a.       Faktor Hukum

Hukum berfungsi untuk keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dalam praktik penyelenggaraan hukum dilapangan ada kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Kepastian hukum sifatnya konkrit berwujud nyata, sedangkan keadilan bersifat abstrak sehingga ketika seseorang hakim memutuskan suatu perkara sarana dan penerapan undang-undang saja maka ada kalanya nilai keadilan itu tidak tercapai. Maka ketika melihat suatu permasalahan mengenai hukum setidaknya keadilan menjadi perioritas utama. Karena hukum tidaklah semata-mata dilihat dari sudut hukum tertulis saja. Masih banyak aturan yang hidup dalam masyarakat yang mampu mengatur kehiduapan masyarakat. Jika hukum tujuannya hanya sekedar keadilan maka kesulitan karena keadilan itu bersifat subjektif, sangat tergantung pada nilai-nilai intrinsik subjektif dari masing-masing orang.

b.      Faktor Penegak hukum

Dalam berfungsinya hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak hukum memainkan peranan penting. Kalau peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik, ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan hukum yaitu mentalitas kepribadian penegak hukum dengan mengutip pendapat J.E. Sahetapy yang mengatakan: “Dalam rangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum, bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebijakan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam kerangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat, harus dapat diaktualisasikan”.

Dalam konteks ini yang menyangkut keribadian dan mentalitas penegak hukum, bahwa selama ini ada kecendrungan yang kuat di kalangan masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai petugas atau penegak hukum, artinya hukum diidentikkan dengan tingkah laku nyata petugas atau penegak hukum, Sayangnya dalam melakukan wewenang sering timbul persoalan, karena sikap atau perlakuan yang di pandang melampui wewenang atau perbuatan lainnya yang dianggap melunturkan citra dan wibawa penegak hukum, hal ini disebabkan oleh kualitas yang rendah dari aparat penegak hukum tersebut.

c.       Faktor Saran dan Fasilitas

Sarana yang ada di Indonesia sekarang ini memang diakui masih cukup tertinggal jika dibandingkan dengan negara-negara maju yang memiliki sarana lengkap dan teknologi canggih didalam membantu penegakan hukum. Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah pernah mengemukakan, bahwa bagaimana polisi dapat bekerja dengan baik apabila tidak dilengkapi dengan kendaraan dan alat-alat komunikasi yang proposional. Oleh karena itu, sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting didalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan aktual.

d.      Faktor Masyarakat

Masyarakat dalam hal ini menjadi satu faktor yang cukup memengaruhi juga di dalam efektivitasnya hukum. Apabila masyarakat tidak sadar hukum dan/atau tidak patuh hukum, maka tidak ada keefektifan. Kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang di kehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering di kaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efetivitas hukum. Kesadaran hukum merupkan kesadaran atau nilai-nilai yang terdapat dalam manusia tentang hukum yang ada tentang hukum yang diharapkan.

e.       Faktor Kebudayaan

Kebudayaan menurut Soerjano Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya kalau mereka berhungan dengan orang lain. Dengan demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dilarang.

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, karena menjadi hal pokok dalam penegakan hukum, serta sebagai tolak ukur dari efektifitas penegakan hukum.

BAB III

PENUTUP

1.1                Kesimpulan

Kekosongan atau kehampaan ilmu hukum dapat terjadi karena berbagai penyebab disamping tradisi penemuan hukum kita yang mendasarkan kepada tardisi jurisprudence dimana tidak termasuk dalam alur legal science sehingga perkembangannya sangat lambat juga disebabkan oleh karena pesatnya kemajuan dan pertumbuhan dinamika masyarakat yang tidak dapat diimbangi oleh pengisian atau penambahan hukum dengan tardisi jurisprudence yang saat ini terjadi.

Efektivitas hukum tidak akan terjadi apabila di dalam dinamika masyarakat tidak sadar hukum atau tidak patuh hukum, karena kesadaran hukum merupakan konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dan ketentraman yang di kehendaki atau sepantasnya. Kesadaran hukum sering di kaitkan dengan pentaatan hukum, pembentukan hukum, dan efetivitas hukum.

Upaya-upaya yang harus dilakukan oleh segenap stakeholder ilmu hukum yaitu harus mulai merubah paradigma penemuan hukum yang lebih berkolaborasi dan bersinergi dengan ilmu-ilmu lainnya diluar ilmu hukum untuk merangsang percepatan pemikiran penemuan hukum bagi seluruh masyarakat hukum dan khusunya bagi para pengstudi hukum dimanapaun berada yang pada akhirnya akan tidak terjadi lagi kekosongan atau kehampaan hukum yang sampai saat ini masih terus terjadi.

1.2                Saran

Demikianlah makalah yang kami buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Sekian penutup dari kami semoga dapat diterima di hati dan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Albani, Muhammad Syukri, Cs., “Hukum Dalam Pendekatan Filsafat”, Kencana, Jakarta, 2016

Soekanto, Soerjono, Mustafar, “Sosiologi Hukum dalam Masyarakat”, Rajawali, Jakarta 1982.

Ali, Ahmad, “Sosiologi Hukum”. Pradya Paramita, Jakarta 1998.

Internet

https://www.negarahukum.com

https://yuokysurinda.wordpress.com

https://tiarramon.wordpress.com



[1] Ray Pratama Siadari, “Fungsi Hukum dalam Masyarakat, http://www.google.com.

[2] 5 Ahmad Ali, “Sosiologi Hukum”, bahwa ketaatan yang bersifat Internalization yaitu jika seseorang taat terhadap suatu aturan karena benar-benar ia merasa aturan itu sesuai dengan nilai-nilai intrinsik yang dianuti, Jakarta, Pradya Pratama, 1998.

[3] Soerjano Soekanto dan Mustafa, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, (Jakarta:Rajawali, 1982).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama