KONSEP HUKUM
MENURUT PEMIKIRAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ALAM
DOSEN PENGAMPUH
ANDI MIFTAHUL AMRI,S.H., M.H
DI SUSUN OLEH
KELOMPOK 11
NAMA
MIFTAHUL JANNA (2269010734)
MUH.IRWANSYAH (2269010707)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE TAHUN
AKADEMIK 2024/2025
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan
karunia-Nya, makalah yang berjudul “KONSEP HUKUM MENURUT PEMIKIRAN HUKUM
POSITIF DAN HUKUM ALAM” ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum serta untuk menambah
wawasan kami mengenai topik yang akan dibahas.
Sebelumnya
penulis mengucapkan terimah kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan makalah ini, Penulis menyadari berbagai kelemahan dan keterbatasan
yang ada, Sehingga terbuka mungkin terjadi kesalahan dalam makalah ini. Penulis
sangat memerlukan kritik dan saran membangun untuk pengembangan serta
penyempurnaan makalah. Demiki anlah yang dapat penulis sampaikan, penulis
berharap semogah makalah ini bermanfaat bagi siapa yang membacanya,
Watampone,
14 Oktober 2024
Penulis
DAFTAR ISI
A. Pengertian dan Dasa Teoritis Hukum Positif dan Hukum alam
B. Karakteristik Hukum Positif dan Hukum Alam.
C. Perbedaan Konseptual Antara Hukum Positif dan Hukum Alam
BAB 1
PENDAHULUAN
Hukum memegang peranan penting dalam
menjaga keteraturan dan keadilan dalam masyarakat. Namun, pandangan tentang apa
yang dimaksud dengan "hukum" berbeda dalam berbagai aliran pemikiran.
Dua aliran besar yang sering menjadi bahan perdebatan dalam filsafat hukum
adalah hukum positif dan hukum alam.
Pemikiran hukum positif
menyatakan bahwa hukum merupakan produk buatan manusia yang berbentuk aturan
tertulis dan ditegakkan oleh otoritas yang sah. Hukum tidak harus mencerminkan
nilai-nilai moral tertentu, melainkan lebih menekankan pada aspek legalitas dan
kepatuhan terhadap prosedur formal yang diatur oleh negara. John Austin,
salah satu tokoh utama aliran ini, mendefinisikan hukum sebagai "perintah
dari penguasa yang berdaulat" yang harus dipatuhi tanpa mempersoalkan
keadilan moralnya¹. Dengan demikian, hukum positif berfokus pada apa yang
disebut sebagai "the law as it is" (hukum sebagaimana
adanya), bukan "the law as it ought to be" (hukum
sebagaimana seharusnya).
Sebaliknya, aliran hukum alam
menyatakan bahwa hukum berasal dari prinsip moral universal yang dapat dikenali
oleh akal budi manusia. Konsep ini berakar pada ajaran Aristoteles
dan berkembang lebih lanjut dalam pemikiran Thomas Aquinas,
yang menyatakan bahwa hukum yang benar harus sesuai dengan hukum alam, yaitu
hukum yang selaras dengan kodrat manusia dan prinsip-prinsip etika universal³.
Hukum alam menekankan bahwa hukum positif yang dibuat oleh manusia harus tunduk
pada nilai-nilai moral yang lebih tinggi dan bahwa keadilan tidak hanya
tergantung pada peraturan legal, tetapi juga pada kebenaran moral.
Perdebatan antara hukum positif dan hukum alam ini sangat penting karena melibatkan pertanyaan mendasar: apakah hukum semata-mata merupakan aturan yang harus ditaati karena ditetapkan oleh negara, ataukah hukum harus juga mempertimbangkan keadilan moral yang mendasarinya. Dalam konteks modern, kedua aliran ini sering kali berdialog dalam berbagai isu hukum, seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, dan penerapan hukum internasional.
1.
Apa Pengertian dan Dasar
Teoretis Hukum Positif dan Hukum Alam?
2.
Bagaimana Karakteristik Hukum
positif dan Hukum alam?
3.
Bagaimana Perbedaan Konseptual
Antara Hukum Positif dan Hukum Alam?
1.
Untuk mengetahui pengertian dan
Dasar Teoretis Hukum Positif dan Hukum Alam.
2.
Mengetahui karakteristik hukum
positif dan hukum alam.
3.
Mengetahui perbedaan Perbedaan
Konseptual Antara Hukum Positif dan Hukum Alam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan Dasa
Teoritis Hukum Positif dan Hukum alam
a.
Definisi Hukum Positif
Hukum positif merupakan sekumpulan aturan yang dibuat
dan ditegakkan oleh otoritas yang sah, seperti negara atau lembaga legislatif.
Hukum ini bersifat formal, tertulis, dan mengikat secara legal bagi setiap
individu dalam masyarakat. Hukum positif sering kali dikaitkan dengan kepatuhan
terhadap undang-undang yang telah ditetapkan secara resmi dan dijalankan
melalui institusi negara. Ketaatan terhadap hukum positif tidak bergantung pada
apakah hukum tersebut dianggap adil atau bermoral, tetapi pada legalitas dan
validitasnya berdasarkan otoritas yang menetapkan hukum tersebut.
Tokoh utama dalam pemikiran hukum positif adalah John
Austin, yang mendefinisikan hukum sebagai perintah dari "penguasa
berdaulat" yang memiliki otoritas tertinggi dan harus dipatuhi oleh
masyarakat. Dalam pandangannya, hukum dipatuhi karena adanya sanksi yang
mengancam mereka yang melanggar, bukan karena nilai moral yang melekat pada
hukum tersebut. Teori ini menekankan bahwa hukum tidak harus selaras dengan
moralitas atau keadilan, melainkan harus berdasarkan aturan yang formal dan
prosedural.
Pemikir lainnya, H.L.A. Hart, menambahkan bahwa hukum
positif terdiri dari aturan primer, yang mengatur perilaku masyarakat, dan
aturan sekunder, yang mengatur bagaimana hukum dibuat, diubah, dan diterapkan.
Dalam pendekatan hukum positif, kriteria keabsahan hukum ditentukan oleh
prosedur pembentukan hukum itu sendiri, bukan berdasarkan apakah hukum tersebut
baik atau adil secara moral.
b.
Definisi Hukum Alam
Hukum alam (natural law) adalah hukum yang bersumber dari
prinsip-prinsip moral universal yang bersifat alamiah dan tidak berubah. Hukum
alam tidak dibuat oleh manusia, melainkan merupakan bagian dari tatanan alam
semesta yang dapat dikenali melalui akal budi manusia. Prinsip-prinsip dalam
hukum alam mencerminkan nilai-nilai etis dan keadilan yang berlaku secara
universal dan melampaui batas-batas hukum yang ditetapkan oleh negara atau
lembaga formal.
Pemikiran tentang hukum alam telah ada sejak zaman
Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia secara alami dapat mengenali apa
yang benar dan salah melalui penggunaan akal. Aristoteles menekankan bahwa
tujuan hukum alam adalah mencapai kebajikan dan keadilan yang selaras dengan
kodrat manusia. Kemudian, filsuf Thomas Aquinas mengembangkan gagasan ini
dengan menyatakan bahwa hukum alam adalah bagian dari hukum ilahi yang
diterapkan dalam kehidupan manusia melalui akal. Menurut Aquinas, hukum alam
memberikan pedoman bagi manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip keadilan
yang hakiki.
Dalam pandangan hukum alam, suatu aturan hanya sah
apabila sejalan dengan prinsip-prinsip moral universal. Jika suatu hukum
positif bertentangan dengan keadilan moral, maka hukum tersebut dianggap tidak
sah. Sebagai contoh, undang-undang yang melanggar hak asasi manusia dianggap
tidak adil menurut hukum alam, meskipun mungkin dianggap sah secara legal di
bawah hukum positif.
a.
Aspek Filosofis Hukum
Positif dan Hukum Alam.
Aspek filosofis dari perbedaan antara hukum positif dan
hukum alam terletak pada pandangan mereka tentang sumber hukum dan peran akal
budi serta moralitas dalam pembentukan hukum.
1.
Hukum Positif: Filosofi hukum
positif berakar pada positivisme hukum, yang menegaskan bahwa hukum adalah
konstruksi sosial yang dibuat oleh manusia. Hukum positif tidak menganggap
moralitas atau keadilan sebagai kriteria utama dalam penetapan hukum. Dalam
pandangan ini, yang terpenting adalah legalitas dan otoritas formal yang
mendasari hukum tersebut. Jeremy Bentham, salah satu pemikir hukum positif
terkemuka, berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai alat untuk mencapai
tujuan praktis, seperti keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat.
2.
Hukum Alam: Berbeda dengan
hukum positif, hukum alam berlandaskan pada filsafat moral dan etika yang
universal. Filsafat hukum alam menekankan bahwa hukum harus selaras dengan
prinsip-prinsip moral yang dapat dikenali oleh akal budi manusia. Dalam
pandangan ini, hukum tidak hanya dilihat sebagai aturan yang dibuat oleh
manusia, tetapi juga sebagai bagian dari tatanan kosmis yang lebih besar.
Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum alam adalah bagian dari hukum ilahi, dan
bahwa keadilan adalah elemen.
B.
Karakteristik Hukum
Positif dan Hukum Alam.
a. Karakteristk Hukum Positif
1. Tertulis
dan Formal Hukum positif merupakan aturan tertulis yang dibuat oleh otoritas
yang sah, seperti lembaga legislatif, pengadilan, atau eksekutif negara. Hukum
positif selalu dituangkan dalam bentuk undang-undang, peraturan, atau keputusan
resmi lainnya yang memiliki kekuatan hukum. Proses pembuatannya dilakukan
melalui prosedur formal yang ditetapkan oleh sistem pemerintahan yang berlaku.
2. Legalitas
Salah satu karakteristik utama hukum positif adalah legalitas. Artinya,
keabsahan hukum ditentukan oleh apakah hukum tersebut diundangkan melalui
proses hukum yang benar dan oleh lembaga yang memiliki kewenangan. Legalitas
menjadi prinsip utama dalam hukum positif, dan kepatuhan terhadap hukum
dipaksakan berdasarkan otoritas negara, tanpa memandang apakah hukum tersebut
adil atau bermoral. John Austin menekankan bahwa hukum positif adalah perintah
dari otoritas berdaulat yang harus diikuti oleh masyarakat, dengan sanksi
sebagai paksaan untuk memastikan kepatuhan¹.
3. Kepastian
Hukum Hukum positif menekankan pada kepastian hukum. Karena hukum ini
dituangkan dalam bentuk tertulis, masyarakat dapat mengetahui dengan jelas hak
dan kewajiban mereka. Kepastian hukum juga memastikan bahwa aturan hukum tidak
berubah-ubah secara tiba-tiba, sehingga memberikan perlindungan kepada
masyarakat dari ketidakpastian dan ketidakadilan. Dalam pandangan hukum positif,
salah satu kelebihan besar adalah prediktabilitas hukum, di mana masyarakat
dapat memprediksi konsekuensi dari tindakan mereka berdasarkan hukum yang
berlaku.
4. Terlepas
dari Moralitas Hukum positif tidak terikat pada pertimbangan moralitas. Ini
berarti bahwa hukum dianggap sah secara hukum meskipun mungkin tidak sesuai
dengan standar moral tertentu. Hukum positif fokus pada aspek prosedural dan
legal daripada aspek keadilan moral. Menurut teori ini, sah atau tidaknya hukum
tergantung pada apakah hukum tersebut dibuat dengan benar oleh otoritas yang
berwenang, bukan apakah hukum tersebut adil menurut prinsip-prinsip moral.
Sebagai contoh, hukum yang melegalkan perbudakan mungkin sah secara hukum pada
masanya, meskipun dianggap tidak bermoral dalam perspektif etika modern.
b. Karakteristik Hukum Alam.
1. Universalisme
Salah satu karakteristik utama hukum alam adalah sifatnya yang universal. Hukum
alam berlaku untuk semua manusia, di manapun dan kapanpun, karena
prinsip-prinsip yang mendasari hukum alam didasarkan pada kodrat manusia dan
akal budi yang dimiliki oleh semua orang. Prinsip-prinsip hukum alam diyakini
melampaui batas-batas negara atau sistem hukum yang ditetapkan oleh manusia.
Thomas Aquinas berpendapat bahwa hukum alam adalah bagian dari hukum ilahi yang
berlaku secara universal untuk semua umat manusia.
2. Keterkaitan
dengan Moralitas Berbeda dengan hukum positif, hukum alam sangat erat terkait
dengan moralitas. Hukum alam berfungsi sebagai refleksi dari prinsip-prinsip
moral yang dianggap bersifat alami dan tidak berubah. Suatu hukum hanya
dianggap sah jika sesuai dengan prinsip-prinsip moral alamiah tersebut. Jika
hukum positif bertentangan dengan hukum alam, maka hukum tersebut dianggap
tidak adil dan tidak sah secara moral. Hukum alam menekankan bahwa hukum
positif harus selaras dengan keadilan, kebaikan, dan kebenaran moral yang
inheren dalam kodrat manusia. Misalnya, hukum yang mengatur perlakuan yang
tidak adil terhadap suatu kelompok masyarakat dianggap melanggar hukum alam,
meskipun mungkin sah secara hukum positif.
3. Keabadian
Hukum Alam Hukum alam dianggap abadi dan tidak berubah oleh waktu atau situasi
politik. Prinsip-prinsip hukum alam bersifat tetap, karena bersumber dari
kodrat manusia dan tatanan alam semesta. Hukum ini diyakini berlaku secara
konsisten sepanjang waktu, karena berdasarkan prinsip moral yang sama untuk
semua orang di semua tempat. Aristoteles menyatakan bahwa hukum alam adalah
bagian dari tatanan moral alamiah yang tidak dapat diubah oleh hukum buatan
manusia.
4. Peran
Akal Budi Hukum alam ditemukan melalui akal budi manusia, bukan melalui
undang-undang atau perintah dari otoritas berwenang. Setiap individu diyakini
memiliki kemampuan untuk menggunakan akal budi mereka untuk mengenali apa yang
benar dan salah, serta memahami prinsip-prinsip moral yang mendasari hukum
alam. Dalam pandangan hukum alam, akal budi manusia merupakan alat untuk
memahami keadilan yang melekat dalam alam semesta.
C. Perbedaan
Konseptual Antara Hukum Positif dan Hukum Alam
a. Perbedaan
Sumber Hukum
1. Hukum
Positif: Bersumber dari Otoritas Manusia Hukum positif mendapatkan kekuatan dan
keabsahannya dari otoritas yang sah, yakni pemerintah atau lembaga legislatif
yang berwenang. Sumber hukum ini adalah manusia atau institusi yang memiliki
kewenangan formal untuk membuat undang-undang dan peraturan yang mengikat
secara hukum. Karena hukum positif bersumber dari otoritas manusia, ia dapat
bervariasi dari satu negara ke negara lain dan dari satu waktu ke waktu lain,
sesuai dengan konteks sosial, politik, dan budaya yang ada. Pembuat
undang-undang memiliki wewenang penuh untuk menentukan apa yang dianggap
sebagai hukum yang sah dan bagaimana hukum tersebut diberlakukan.
2. Hukum Alam: Bersumber dari Prinsip Moral atau Alamiah Di sisi lain, hukum alam bersumber dari moralitas atau prinsip-prinsip alamiah yang dianggap universal dan abadi. Hukum alam diyakini sebagai bagian dari tatanan alam semesta yang dapat dikenali oleh akal manusia melalui pemikiran rasional. Prinsip-prinsip hukum alam tidak dibuat oleh manusia, melainkan ditemukan melalui proses berpikir yang etis dan moral. Filsuf seperti Thomas Aquinas berpendapat bahwa hukum alam adalah bagian dari hukum ilahi yang mengatur perilaku manusia dan memberikan panduan tentang keadilan yang objektif.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
hukum positif dan hukum alam adalah dua pendekatan
utama dalam filsafat hukum. Hukum positif menekankan legalitas dan aturan yang
dibuat oleh otoritas, sedangkan hukum alam mendasarkan hukum pada prinsip moral
universal dan keadilan. Hukum positif memberikan kepastian hukum, namun bisa
terlepas dari moralitas, sementara hukum alam menuntut keselarasan dengan
keadilan, tetapi sulit diterapkan secara praktis. Kedua pendekatan ini saling
melengkapi dalam pembentukan sistem hukum modern yang mengutamakan keadilan dan
keteraturan.
B. Saran
Demikianlah makalah yang kami
buat ini, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Kami mohon
maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam penulisan kata dan kalimat yang
kurang jelas, dimengerti, dan lugas.Karena kami hanyalah manusia biasa yang tak
luput dari kesalahan Dan kami juga sangat mengharapkan saran dan kritik dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
John Austin, The Province of
Jurisprudence Determined (1832), dalam Yulianto, Teori Hukum Positif: Sebuah
Pengantar (Jakarta: Pustaka Hukum, 2010), hlm. 49.
Thomas Aquinas, Summa
Theologica, dalam William P. Baumgarth dan Richard J. Regan, On Law, Morality,
and Politics (Indianapolis: Hackett Publishing, 2003), hlm. 80.
H.L.A. Hart, The Concept of Law (Oxford:
Clarendon Press, 1961), hlm. 83.
Aristotle, Nicomachean Ethics, diterjemahkan
oleh Terence Irwin (Indianapolis: Hackett Publishing, 1985), hlm. 106.