MAKALAH SEJARAH PERKEMBANGAN FILSAFAT HUKUM DARI YUNANI KUNO HINGGA ABAD MODEREN
(Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafst Hukum
Dosen pengampuh : Andi Miftahul Amri, S.H, M.H )
Oleh : KELOMPOK 2
1. ANDI TRY ANISA : 2269010719
2. MISNATANG : 2269010724
3. ZAKIYAH : 2269010728
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERIODE 2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYAsehingga Kami dapat menyusun makalah ini tepat pada waktunya. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari seluruh komponen yang telah membantu dalam penyelesaian makalah yang berjudul “Makalah Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum Dari Yunani Kuno Hingga Abad Moderen”.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, khususnya para mahasiswa untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin dalam pembuatan makalah kali ini masih banyak ditemukan kekurangan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Watampone, 14 oktober 2024
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat lahir di Yunani pada abad keenam Sebelum Masehi (SM). Dalam bahasa Yunani, filsafat adisebut Philosophia yang berasal dari dua akar kata yakni “Philos” atau “Philia” dan “sophos” atau “sophia”. “philos” mempunyai arti cinta, persahabatan, sedangkan “sophos” berarti hikmah, kebijaksaaan, pengetahuan, dan intelegensia. Dengan demikian maka philosophia ini dapat diartikan sebagai cinta akan kebijaksanaan. Pengartian filsafat secara umum hampir sama tetapi yang membedakan hanyalah dari para filsuf yang memaparkan teori filsafat tersebut. Kemudian munculnya jaman filsafat modern dengan perkembangan yang semakin berubah pula seiring perkembangan zaman. Sehingga dari asal mula timbulnya filsafat yang dapat masuk kedalam setiap ilmu pengetahuan maka tidak menutup pula filsafat masuk kedalam bidang ilmu hukum sehingga dalam perkembangannya ilmu filsafat menjadi diterapkan kedalam ilmu filsafat hukum.
Ilmu hukum sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan, tentu akan selalu berkembang sesuai dengan pemikiran-pemikiran para ahli hukum serta berdasarkan keadaan-keadaan atau situasi dan kondisi di mana hukum itu berada dan diterapkan. Maka, untuk mengetahui perkembangan ilmu hukum diperlukan refleksi dan relevansi pemikiran-pemikiran dari aliran-aliran hukum itu melalui filsafat hukum. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakekat hukum. Dengan kata lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Sedangkan menurut Otje Salman, yang dimaksud dengan filsafat hukum adalah induk dari semua disiplin yuridik, karena filsafat hukum membahas dan menganalisis masalah-masalah yang paling fundamental yang timbul dalam hukum, karena sangat fundamentalnya, filsafat hukum bagi manusia tidak terpecahkan, karena masalahnya melampaui kemampuan berfikir manusia. Filsafat hukum akan selalu berkembang dan tidak akan pernah berakhir, karena akan mencoba memberikan jawaban pada pertanyaan pertanyaan abadi.
Perlunya kita mengetahui isi dari perkembangan filsafat hukum karena akan relevan untuk membangun kondisi hukum yang sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu memformulasikan cita-cit keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan kenyataan-kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan dengan tekanan hasrat manusia melalui paradigma hukum pada suatu masa dan tempat tertentu. Oleh karena itu setiap perkembangan dari filsafat hukum harus dibentuk dan direalisasikan di dalam perkembangan hukum di Indonesia yang akan dapat nantinya mewujudkan tercapainya cita-cita keadilan yang murni. Setiap dari perkembangan filsafat hukum akan dipengaruhi oleh-oleh pemikiran para ahli yang menjabarkan segala sesuatu unsur di dalam kehidupan yang akan bersentuhan secara langsung dengan hukum yang tercipta baik itu dari manusia dan alam sertah tuhan itu sendiri. Oleh karena itu pada makalah ini diangkat judul “Perkembangan Filsafat Hukum di Indonesi” yang akan menjabarkan serta menjelaskan secara explisit mengenai perkembangan filsafat hukum di Indonesia.
1. Apa yang dimaksud filsafat hukum yunani kuno ?
2. Bagaimana perkembangan filsafat hukum romawi ?
3. Apakah ada kelahiran prositivisme hukum?
4. Bagaimana reaksi terhadap protivisme hukum ?
1. Untuk Mengetahui filsafat hukum yunani kuno !
2. Untuk Mengetahui perkembanga filsafat hukum romawi !
3. Untuk mengetahui apa saja kelahiran prositivisme hukum!
4. Untuk mengetahui reaksi terhadap protivivisme hukum !
BAB II
PEMBAHASAN
1. FILSAFAT HUKUM YUNANI KUNO
Filsafat hukum Yunani Kuno berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran filsafat di Yunani. Filsuf-filsuf Yunani Kuno memiliki pengaruh besar terhadap berbagai aspek pemikiran Barat, termasuk pemahaman mengenai hukum dan keadilan. Pemikiran tersebut sangat penting karena menjadi landasan bagi pengembangan konsep hukum modern. Di bawah ini adalah penjelasan mengenai filsafat hukum Yunani Kuno yang mencakup beberapa tokoh kunci beserta gagasan-gagasannya.
a. Socrates (469–399 SM)
Socrates dikenal melalui dialog-dialog yang ditulis oleh Plato, sebab ia sendiri tidak menulis karya apa pun. Salah satu gagasan utama Socrates mengenai hukum adalah konsep keadilan. Dalam dialog "Apologi" dan "Crito", Socrates menegaskan pentingnya untuk menghormati hukum, meskipun terdapat ketidakadilan dalam kasus tertentu bagi individu. Sebagai contoh, dalam "Crito", meskipun ia merasa bahwa hukuman mati yang diterima tidak adil, Socrates memilih untuk menghadapi hukuman tersebut ketimbang melarikan diri. Hal ini mencerminkan pandangan bahwa individu harus patuh pada hukum negara demi kepentingan bersama, meskipun itu berarti mengorbankan hak individu.
b. Plato (427–347 SM)
Plato, murid Socrates, melanjutkan pemikiran Socrates dengan cara yang lebih mendalam. Dalam karyanya "Republik" (Politeia), Plato berupaya mendefinisikan keadilan. Ia berpendapat bahwa keadilan dalam negara yang ideal tercapai ketika setiap individu melaksanakan fungsi sesuai dengan keahlian masing-masing. Plato meyakini bahwa hukum harus mencerminkan kebenaran dan keadilan universal, yang hanya dapat dipahami oleh para filsuf. Oleh karena itu, dalam pandangan negara ideal Plato, para filsuf seharusnya ditunjuk sebagai raja atau penguasa, karena mereka memiliki kemampuan untuk memahami dunia ide yang abadi, yang melampaui hukum-hukum positif di dunia material.
Di samping itu, dalam karyanya "Hukum" (Nomoi), Plato membahas sistem hukum yang lebih pragmatis. Ia mengakui perlunya hukum yang mencerminkan keseimbangan antara idealisme dan kebutuhan praktis masyarakat. Plato menekankan pentingnya hukum yang ditetapkan secara rasional dan dihormati oleh warga negara.
c. Aristoteles (384–322 SM)
Aristoteles, murid Plato, memiliki pendekatan yang lebih empiris dan pragmatis dalam membahas hukum. Dalam karyanya "Politika" (Politics) dan "Etika Nikomacheia" (Nicomachean Ethics), Aristoteles mengemukakan gagasan tentang hukum alam (natural law). Menurut Aristoteles, hukum yang baik adalah hukum yang selaras dengan keadilan alami, yaitu prinsip-prinsip yang mendasari alam semesta dan perilaku manusia.
Aristoteles juga memperkenalkan konsep mengenai keadilan distributif (pembagian kekayaan dan kekuasaan secara adil) dan keadilan korektif (perbaikan ketidakadilan melalui hukum). Ia berpendapat bahwa keadilan bukan hanya tentang kesetaraan, tetapi juga tentang memberikan apa yang layak kepada setiap individu sesuai dengan kontribusi dan status mereka dalam masyarakat.
Dalam pandangan Aristoteles, negara yang baik adalah negara yang hukum-hukumnya melindungi kebajikan dan kesejahteraan moral warganya. Hukum seharusnya berfungsi sebagai sarana untuk membentuk kebajikan dan menciptakan masyarakat yang adil.
d. Sophisme dan Kritik terhadap Hukum
Selain para filsuf terkenal seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles, terdapat juga para sofist yang berpengaruh dalam diskusi mengenai hukum. Para sofist, seperti Protagoras dan Thrasymachus, sering mempertanyakan dasar moral dari hukum. Mereka mengajarkan bahwa hukum bukanlah manifestasi dari keadilan universal, melainkan hasil dari kesepakatan sosial dan konvensi manusia. Sebagai contoh, Thrasymachus dalam dialog "Republik" menyatakan bahwa "keadilan adalah kepentingan dari yang lebih kuat", yang menunjukkan bahwa hukum sering kali menjadi alat bagi penguasa untuk menegakkan kehendaknya.
Pandangan sofisme ini memicu perdebatan signifikan dalam filsafat hukum Yunani Kuno, di mana para filsuf seperti Plato dan Aristoteles menolak relativisme moral dan hukum yang diajukan oleh sofist, serta berupaya mendasarkan hukum pada prinsip-prinsip moral yang lebih tinggi.
e. Kaitan Hukum dan Demokrasi di Athena
Yunani Kuno, khususnya Athena, dikenal dengan sistem demokrasinya yang unik. Sistem hukum di Athena sangat dipengaruhi oleh partisipasi warga negara. Hukum ditetapkan dan dilaksanakan oleh warga negara melalui majelis, dengan pengadilan yang juga merupakan perwakilan warga yang dipilih melalui undian. Namun, dalam sistem ini, terdapat berbagai masalah terkait ketidakstabilan dan subjektivitas dalam pengambilan keputusan, yang kemudian menjadi bahan kritik dari para filsuf seperti Plato. Plato berpendapat bahwa demokrasi sering kali melahirkan hukum yang tidak didasarkan pada kebenaran atau keadilan, melainkan pada pendapat mayoritas yang dapat dengan mudah
2. FILSAFAT HUKUM ROMAWI
Filsafat hukum Romawi mengalami perkembangan bersamaan dengan kemajuan Kekaisaran Romawi dan memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan sistem hukum yang mengatur masyarakat Barat hingga saat ini. Hukum Romawi telah menjadi dasar bagi banyak sistem hukum modern, terutama civil law di Eropa dan di beberapa bagian dunia lainnya. Berikut ini adalah penjelasan menyeluruh mengenai filsafat hukum Romawi serta gagasan dan prinsip-prinsip kunci yang terkandung di dalamnya
· Latar Belakang Hukum Romawi
Hukum Romawi merupakan sebuah sistem hukum yang tumbuh dan berkembang di Roma Kuno dan mencakup berbagai periode sejarah, dimulai dari Hukum Romawi Kuno (753–31 SM) hingga Hukum Kekaisaran (31 SM–565 M), khususnya di bawah kepemimpinan Kaisar Justinianus.
Hukum Romawi tidak hanya dihasilkan oleh para filsuf, tetapi juga oleh para juris (ahli hukum) yang merumuskan prinsip-prinsip hukum berdasarkan praktik sosial dan politik yang berlaku di masyarakat Romawi. Salah satu elemen kunci dari hukum Romawi adalah kompilasi hukum dalam bentuk tertulis yang dikenal sebagai Corpus Juris Civilis, yang disusun oleh Justinianus pada abad ke-6. Kompilasi ini menjadi dasar bagi sistem hukum yang ada di Eropa pada masa yang akan datang.
· Prinsip-Prinsip Utama Hukum Romawi
Di dalam hukum Romawi, terdapat tiga konsep hukum utama yang saling berhubungan:
§ Ius Naturale (hukum alam) merupakan hukum yang diyakini berlaku secara universal bagi semua makhluk, termasuk manusia. Hukum ini berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan yang secara alami berlaku, tanpa memandang masyarakat atau bangsa tertentu.
§ Ius Gentium (hukum bangsa-bangsa) adalah hukum yang diterapkan untuk semua bangsa dalam konteks urusan internasional atau hubungan lintas negara. Hukum ini dikenal sebagai prinsip umum yang diterima oleh berbagai masyarakat dan bangsa.
§ Ius Civile (hukum sipil) adalah hukum khusus yang berlaku untuk warga negara Romawi. Hukum ini mencakup hak dan kewajiban para warga Romawi di dalam negara mereka.
§ Jus dan Aequitas (Keadilan dan Kewajaran)
Hukum Romawi memberikan penekanan yang besar pada keadilan (jus) dan kewajaran (aequitas). Prinsip keadilan mewajibkan penerapan hukum secara adil, dengan mempertimbangkan hak-hak individu dan kepentingan masyarakat. Di sisi lain, aequitas adalah prinsip moral yang memperbolehkan penyesuaian dalam penerapan hukum, agar lebih adil untuk situasi-situasi tertentu. Prinsip aequitas sering kali digunakan untuk mengoreksi ketidakfleksibelan hukum formal dan mencapai hasil yang lebih adil serta manusiawi.
§ Lex (Undang-Undang) dan Mos Maiorum (Adat Leluhur)
Selain undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif Romawi, hukum Romawi juga sangat dipengaruhi oleh adat istiadat atau mos maiorum, yang berarti "adat leluhur". Adat ini mencakup nilai-nilai tradisional dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi serta memiliki kekuatan hukum. Dengan demikian, hukum Romawi menggabungkan norma tertulis (lex) serta norma tidak tertulis (adat).
· Para Filsuf dan Ahli Hukum Romawi
a. Cicero (106–43 SM)
Cicero dikenal sebagai salah satu filsuf dan orator terbesar dalam sejarah Romawi. Pemikirannya tentang hukum sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani, khususnya Stoisisme. Dalam karya-karyanya seperti De Legibus (Tentang Hukum) dan De Re Publica (Tentang Republik), Cicero berargumen bahwa hukum alam merupakan hukum yang berlandaskan pada akal budi dan berlaku secara universal. Menurut Cicero, hukum yang benar harus didasarkan pada keadilan dan kebaikan yang bersifat alami, sementara hukum yang tidak adil tidak layak dianggap sebagai hukum (lex iniusta non est lex).
Cicero meyakini bahwa hukum manusia harus sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan alami yang tidak tergantung pada kekuasaan politik atau undang-undang yang dibuat oleh manusia. Dia menekankan bahwa negara ideal adalah negara yang diatur oleh hukum yang bercirikan keadilan alami dan melindungi hak-hak individu.
b. Ulpianus (170–223 M)
Ulpianus merupakan salah satu ahli hukum Romawi yang paling berpengaruh pada masa Kekaisaran Romawi. Dia terkenal karena kontribusinya dalam pengembangan prinsip aequitas (kewajaran) dalam hukum. Menurut Ulpianus, hukum seyogianya mencerminkan prinsip keadilan yang bersifat universal. Ia juga mengemukakan prinsip-prinsip tentang hak asasi manusia dalam hukum Romawi, terutama terkait dengan perlindungan bagi kelompok yang rentan dan hak-hak budak.
Salah satu kutipan terkenalnya adalah definisinya mengenai hukum: "Jurisprudence is the knowledge of things divine and human, the science of the just and the unjust."
c. Gaius (sekitar 130–180 M)
Gaius dikenal sebagai ahli hukum Romawi yang terkenal berkat karyanya yang berjudul Institutes of Gaius, yang menjadi sumber penting dalam mempelajari hukum Romawi klasik. Karya ini menjadi dasar bagi banyak teks hukum yang disusun oleh Justinianus. Gaius membagi hukum Romawi menjadi tiga bagian utama:
§ Personae (hukum yang mengatur individu dan status mereka),
§ Res (hukum yang mengatur benda dan hak milik),
§ Actiones (hukum yang mengatur proses pengadilan).
Struktur ini akhirnya menjadi model bagi sistem hukum di masa yang akan datang, termasuk dalam Corpus Juris Civilis.
d. Pengaruh Stoisisme terhadap Hukum Romawi
Pemikiran Stoik telah memberikan dampak signifikan terhadap perkembangan filsafat hukum Romawi, terutama mengenai konsep hukum alam. Para filsuf Stoik, seperti Seneca dan Marcus Aurelius, berkeyakinan bahwa hukum alam merupakan bagian dari tatanan kosmos yang rasional dan bahwa manusia, sebagai makhluk yang berpikir, harus hidup sesuai dengan hukum alam tersebut. Dalam konteks hukum, hal ini berarti bahwa undang-undang yang ditetapkan oleh manusia harus mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi, yang melampaui peraturan-peraturan lokal atau kebijakan pemerintah.
e. Hukum Romawi dan Sistem Hukum Modern
Salah satu warisan terbesar dari hukum Romawi adalah pengaruhnya terhadap hukum sipil modern, khususnya di Eropa. Sistem hukum yang berasal dari Romawi menekankan pentingnya kodifikasi undang-undang, peran ahli hukum dalam mengembangkan doktrin hukum, serta penggunaan prinsip-prinsip umum untuk memandu penerapan undang-undang dalam kasus-kasus tertentu.
3. KELAHIRAN POSITIVISME HUKUM
Positivisme hukum merupakan salah satu aliran filsafat hukum yang menekankan pada keberadaan hukum sebagai produk dari otoritas yang berdaulat, terlepas dari moralitas atau nilai-nilai etik. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap konsep hukum alam yang mendasarkan keberlakuan hukum pada prinsip-prinsip moral universal. Berikut adalah sejarah kelahiran dan perkembangan positivisme hukum:
A. Asal Usul dan Perkembangan Awal
Positivisme hukum lahir pada abad ke-19, dengan tokoh utamanya John Austin, seorang filsuf dan ahli hukum asal Inggris. Austin mengembangkan teori hukum positif berdasarkan gagasan bahwa hukum adalah perintah dari otoritas yang berdaulat, dan ketaatan pada hukum adalah sebuah keharusan. Austin dipengaruhi oleh filsafat empiris Inggris yang berkembang pesat pada masa itu, khususnya dari Jeremy Bentham, yang menekankan utilitarianisme.
Austin dalam karyanya "The Province of Jurisprudence Determined" (1832) mendefinisikan hukum sebagai "perintah dari penguasa yang berdaulat yang didukung oleh ancaman sanksi." Ia menyatakan bahwa hukum tidak bergantung pada keadilan atau moralitas, melainkan pada penguasa yang memiliki kekuatan untuk memaksakannya. Positivisme hukum Austin menekankan bahwa:
Hukum harus dipahami sebagai "perintah" yang berasal dari entitas berdaulat.Hukum adalah sistem aturan yang harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan nilai moral atau etikanya.Kewajiban hukum berasal dari sanksi yang ditetapkan untuk pelanggaran hukum.
1. Perkembangan Pemikiran Positivisme Hukum
Selain Austin, tokoh lain yang berkontribusi pada perkembangan positivisme hukum adalah Hans Kelsen, seorang filsuf dan ahli hukum dari Austria. Ia mengembangkan teori yang dikenal sebagai "Teori Hukum Murni" (Pure Theory of Law) yang menekankan pemisahan antara hukum dan moralitas.
Kelsen menganggap hukum sebagai sistem normatif yang hierarkis, di mana setiap aturan hukum mendapatkan validitasnya dari aturan yang lebih tinggi, yang puncaknya adalah "Grundnorm" (norma dasar). Bagi Kelsen, penting untuk memisahkan hukum dari politik, moralitas, dan nilai-nilai sosial agar hukum dapat dipelajari secara ilmiah dan objektif.
Beberapa poin penting dari pemikiran Kelsen adalah:
Hukum merupakan sistem norma yang logis dan terstruktur.
Hukum tidak boleh dikaitkan dengan moralitas; pemisahan ini dikenal sebagai “tesis pemisahan”."Grundnorm" menjadi landasan utama yang memberikan legitimasi terhadap sistem hukum secara keseluruhan.
2. Ciri-ciri Utama Positivisme Hukum
Positivisme hukum memiliki beberapa ciri utama, yaitu:
Legalitas Formal: Positivisme hukum memandang bahwa hukum adalah aturan yang diformalkan dan dibuat oleh lembaga yang sah (parlemen atau penguasa berdaulat).
Netralitas Moral: Hukum tidak perlu selaras dengan nilai moral atau keadilan; hukum berlaku secara efektif berdasarkan kekuatan dan otoritas, bukan moralitas.
Pemaksaan: Ketaatan terhadap hukum ditentukan oleh keberadaan sanksi bagi mereka yang melanggar hukum.
3. Kritik terhadap Positivisme Hukum
Positivisme hukum sering dikritik karena terlalu formalistik dan tidak mempertimbangkan nilai-nilai keadilan atau hak asasi manusia. Salah satu kritik utama berasal dari Hukum Alam yang menyatakan bahwa hukum harus mencerminkan keadilan dan moralitas yang bersifat universal. Kritikus berpendapat bahwa positivisme hukum dapat melegitimasi tindakan yang tidak bermoral, seperti hukum yang diskriminatif atau penindasan oleh negara, jika hanya dilihat dari perspektif ketaatan terhadap hukum positif saja.
Selain itu, para ahli hukum seperti H.L.A. Hart juga mengkritik pendekatan Austin dengan mengembangkan teori "Positivisme Hukum yang Lebih Lunak". Hart mengakui pentingnya otoritas hukum, tetapi ia juga menekankan bahwa hukum harus dilihat sebagai aturan yang mengatur perilaku sosial dan bahwa masyarakat juga harus memberikan tempat bagi moralitas dalam sistem hukum.
Jadi Positivisme hukum lahir dari upaya untuk melihat hukum sebagai fenomena sosial yang terpisah dari moralitas dan etik. Positivisme hukum menekankan peran otoritas dan aturan formal dalam menentukan hukum, tetapi juga menghadapi kritik karena dianggap mengabaikan prinsip keadilan. Pemikiran dari John Austin dan Hans Kelsen menjadi landasan penting dalam positivisme hukum, meskipun pemikiran ini terus mengalami perkembangan dan modifikasi dalam berbagai bentuk.
Jeremy Bentham (1748–1832) adalah seorang filsuf, ekonom, dan ahli hukum asal Inggris yang dikenal sebagai tokoh utama dalam pengembangan teori utilitarianisme serta salah satu kritikus utama dari teori hukum alam. Pemikiran Bentham memiliki pengaruh besar dalam filsafat hukum dan moralitas, terutama dalam mengarahkan perhatian pada konsekuensi tindakan sebagai landasan evaluasi moral dan legal.
a. Utilitarianisme Menurut Bentham
Utilitarianisme adalah teori etika yang berpendapat bahwa tindakan yang benar adalah tindakan yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi sejumlah orang terbanyak. Prinsip ini dikenal sebagai "the greatest happiness principle" (prinsip kebahagiaan terbesar). Bentham mendefinisikan kebahagiaan sebagai kenikmatan (pleasure) dan ketiadaan rasa sakit (pain), sehingga tujuan utama hukum dan pemerintahan adalah memaksimalkan kenikmatan dan meminimalkan penderitaan bagi masyarakat.
Prinsip-Prinsip Utama Utilitarianisme Bentham:
Hedonisme Etis: Moralitas ditentukan oleh sejauh mana suatu tindakan menghasilkan kenikmatan atau mengurangi penderitaan.
Konsekuensialisme: Nilai moral suatu tindakan diukur berdasarkan konsekuensinya. Jadi, baik atau buruknya suatu tindakan hanya bergantung pada dampaknya terhadap kesejahteraan manusia.
Jumlah Kebahagiaan Terbesar: Tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak. Ini berarti kebijakan atau aturan harus diuji berdasarkan dampaknya terhadap kesejahteraan umum.
Kalkulus Hedonistik: Bentham mengembangkan metode untuk mengukur kebahagiaan dan penderitaan, yang dikenal sebagai kalkulus hedonistik. Kalkulus ini mempertimbangkan berbagai faktor, seperti intensitas, durasi, kepastian, dan jumlah orang yang terpengaruh, dalam menghitung tingkat kebahagiaan yang dihasilkan oleh suatu tindakan.
b. Utilitarianisme dalam Hukum
Dalam bidang hukum, utilitarianisme Bentham memberikan kerangka kerja untuk menganalisis dan mereformasi hukum berdasarkan manfaat praktis yang diberikannya kepada masyarakat. Bentham berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi kepentingan masyarakat secara umum dan memastikan bahwa keputusan hukum memberikan kesejahteraan terbesar. Hukum yang adil, bagi Bentham, adalah hukum yang menghasilkan manfaat sosial sebesar mungkin.
c. Kritik Bentham terhadap Hukum Alam
Bentham adalah salah satu kritikus utama teori hukum alam, yang mendasarkan keabsahan hukum pada prinsip-prinsip moral universal yang tidak berubah. Ia menolak ide bahwa ada hukum alam yang melekat dan bersifat universal yang dapat menjadi landasan bagi hukum positif. Kritik Bentham terhadap hukum alam dapat diringkas sebagai berikut:
§ Subjektivitas Moralitas Hukum Alam
Bentham mengkritik hukum alam karena ia menganggap bahwa konsep "hukum alam" terlalu subjektif dan tidak dapat diukur secara ilmiah. Hukum alam mengklaim bahwa ada standar moral universal yang berlaku untuk semua orang di semua tempat, tetapi Bentham berpendapat bahwa moralitas sangat bervariasi berdasarkan waktu, tempat, dan budaya. Oleh karena itu, tidak ada landasan moral yang mutlak untuk hukum, melainkan hukum harus ditentukan berdasarkan manfaat praktisnya.
§ Fiksi dan Ilusi
Bentham menyebut hukum alam sebagai “nonsense upon stilts” (omong kosong yang ditinggikan), menunjukkan bahwa gagasan hukum alam adalah fiksi yang digunakan untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. Menurut Bentham, hukum alam hanya memperkuat keyakinan yang tidak memiliki dasar empiris atau rasional, dan seringkali digunakan untuk memajukan kepentingan politik atau agama tertentu. Hukum, bagi Bentham, harus dipahami sebagai alat pragmatis untuk menciptakan kebahagiaan sosial, bukan berdasarkan ide-ide metafisik atau teologis.
d. Kritik terhadap Hak Asasi Alamiah
Salah satu aspek hukum alam yang dikritik Bentham adalah gagasan tentang hak-hak alamiah (natural rights), yang dianggapnya sebagai konsep yang kabur dan tidak realistis. Bentham berpendapat bahwa hak-hak tidak berasal dari alam atau Tuhan, melainkan dari hukum yang dibuat oleh manusia. Menurutnya, hak-hak alamiah hanya akan ada jika diakui dan dilindungi oleh hukum positif, bukan karena mereka secara inheren "alami".
Bentham lebih memilih pendekatan legal yang berbasis pada hak legal yang nyata dan dapat ditegakkan. Ia menekankan pentingnya institusi hukum yang berfungsi baik untuk menciptakan hak-hak dan kewajiban yang bisa ditindaklanjuti secara konkret, daripada mendasarkan hak pada entitas abstrak yang tidak memiliki dasar praktis dalam dunia nyata.
e. Reformasi Hukum
Jeremy Bentham juga merupakan seorang reformis hukum yang percaya bahwa sistem hukum yang ada pada zamannya terlalu tidak efisien dan tidak adil. Ia menyarankan agar hukum diukur berdasarkan utilitasnya—yakni sejauh mana hukum tersebut mempromosikan kesejahteraan umum. Reformasi hukum yang diusulkan Bentham meliputi: Penyederhanaan sistem hukum:
Penghapusan hukuman yang tidak proporsional atau kejam.Perlindungan lebih baik terhadap hak-hak individu yang telah diakui oleh negara melalui hukum positif.
Jeremy Bentham memperkenalkan teori utilitarianisme sebagai landasan etika dan hukum yang berfokus pada konsekuensi dari suatu tindakan atau kebijakan dalam menghasilkan kebahagiaan. Ia memberikan kritik tajam terhadap hukum alam, terutama terkait dengan klaim adanya hukum moral universal dan hak-hak alamiah yang tidak dapat diukur. Bentham melihat hukum sebagai alat praktis yang harus digunakan untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial, bukan sebagai entitas yang didasarkan pada nilai-nilai moral yang tetap dan tidak berubah.
John Austin mengembangkan teori hukum yang dikenal sebagai command theory atau teori perintah, di mana ia mendefinisikan hukum sebagai perintah dari penguasa (sovereign) yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang tunduk padanya. Menurut Austin:
· Hukum sebagai perintah: Hukum merupakan perintah dari penguasa, dan penguasa ini haruslah entitas yang tidak tunduk pada otoritas lebih tinggi. Perintah ini berisi ancaman sanksi jika tidak dipatuhi.
· Kepatuhan: Hukum hanya bisa berlaku jika ada kepatuhan dari masyarakat yang diperintah. Austin menekankan bahwa hukum bergantung pada kebiasaan atau pola kepatuhan dari masyarakat kepada penguasa. Jika masyarakat tidak patuh, maka hukum kehilangan daya paksa.
· Sanksi: Menurut Austin, hukum selalu terkait dengan ancaman sanksi bagi yang melanggar. Tanpa ancaman sanksi, hukum tidak memiliki kekuatan untuk memaksa.
Pandangan Austin ini sering dikritik karena terlalu menekankan aspek kekuasaan dan sanksi, mengabaikan aspek moral atau keadilan dalam hukum. Namun, konsepnya tentang hukum sebagai perintah masih memiliki pengaruh besar dalam diskusi teori hukum positif.
B. Perkembangan Positivisme Di Eropa
Positivisme hukum di Eropa adalah salah satu aliran pemikiran yang berkembang sejak abad ke-19, yang memfokuskan hukum pada aturan-aturan yang ditetapkan secara nyata oleh otoritas yang berdaulat. Aliran ini menekankan bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas dan didasarkan pada fakta-fakta yang dapat diukur dan diverifikasi. Berikut adalah perkembangan penting positivisme hukum di Eropa:
a. Pengaruh Auguste Comte (1798–1857)
Auguste Comte, seorang filsuf asal Prancis, adalah tokoh sentral dalam positivisme secara umum. Ia mengembangkan pemikiran tentang bagaimana pengetahuan harus didasarkan pada observasi empiris dan pengalaman nyata. Meskipun fokus Comte lebih pada positivisme ilmiah dan sosial, idenya sangat mempengaruhi positivisme hukum. Comte berpendapat bahwa masyarakat dapat dipahami melalui ilmu pengetahuan, dan hukum menjadi instrumen untuk mengatur kehidupan sosial berdasarkan fakta-fakta empiris.
b. John Austin dan Teori Perintah
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, John Austin adalah tokoh kunci dalam positivisme hukum di Eropa, khususnya di Inggris. Austin mengadopsi pendekatan yang dipengaruhi oleh pemikiran empiris, menyatakan bahwa hukum adalah perintah dari penguasa yang harus dipatuhi oleh rakyatnya. Austin memisahkan hukum dari nilai-nilai moral dan menekankan bahwa hukum adalah sekumpulan aturan yang dikenakan oleh otoritas yang sah.
c. Hans Kelsen dan Teori Hukum Murni (Pure Theory of Law)
Hans Kelsen, seorang ahli hukum Austria pada abad ke-20, membawa positivisme hukum ke arah yang lebih sistematis dan teoritis melalui karyanya Pure Theory of Law (Teori Hukum Murni). Kelsen menyatakan bahwa hukum harus dipelajari secara independen dari politik, sosiologi, dan moralitas. Ia berpendapat bahwa hukum adalah norma yang terstruktur secara hierarkis, dengan "Grundnorm" (norma dasar) sebagai landasan yang mendasari seluruh sistem hukum. Bagi Kelsen, hukum tidak terkait dengan kebaikan atau keadilan, tetapi semata-mata merupakan sistem norma yang dipatuhi.
d. Perkembangan Positivisme di Jerman: Rudolf von Ihering
Rudolf von Ihering adalah seorang sarjana hukum Jerman yang terkenal pada abad ke-19. Dia menekankan bahwa hukum berkembang melalui perjuangan sosial, dan bahwa hukum memiliki fungsi sosial untuk menjaga ketertiban. Meskipun karyanya sedikit berbeda dari positivisme hukum Austin dan Kelsen, dia tetap menekankan pentingnya hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial.
e. Perbedaan dengan Tradisi Hukum Alam
Perkembangan positivisme hukum di Eropa seringkali bertentangan dengan tradisi hukum alam (natural law) yang sebelumnya mendominasi pemikiran hukum di Eropa, khususnya pada masa Abad Pertengahan dan Renaisans. Hukum alam menekankan bahwa hukum harus mencerminkan prinsip-prinsip moral universal yang melekat dalam alam semesta, sedangkan positivisme hukum berfokus pada aturan yang ditetapkan oleh manusia dan diterapkan secara konkret oleh negara.
f. Positivisme di Inggris: Herbert Hart
H.L.A. Hart, seorang ahli hukum asal Inggris pada abad ke-20, merevisi dan memperluas positivisme hukum dengan menyertakan pendekatan yang lebih fleksibel dalam teorinya. Dalam bukunya The Concept of Law (1961), Hart membedakan antara "aturan primer" (aturan yang mengatur perilaku) dan "aturan sekunder" (aturan yang mengatur bagaimana aturan primer dibuat, diubah, dan ditegakkan). Hart juga menolak pandangan Austin yang terlalu menekankan sanksi, dan lebih menekankan bahwa hukum melibatkan aspek pengakuan sosial dan kesepakatan masyarakat.
g. Kritik terhadap Positivisme
Meskipun positivisme hukum mendominasi pemikiran hukum di Eropa untuk waktu yang lama, aliran ini juga mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Salah satu kritik utama datang dari para pemikir hukum alam yang berpendapat bahwa hukum harus didasarkan pada moralitas dan keadilan, bukan hanya pada perintah dan ketaatan. Selain itu, dalam konteks totalitarianisme di abad ke-20, positivisme dikritik karena cenderung memberikan justifikasi kepada rezim-rezim yang menindas, karena sistem hukum bisa saja tidak adil secara moral, namun tetap diakui sah secara hukum.
h. Positivisme Hukum di Era Modern
Di Eropa modern, positivisme hukum masih menjadi salah satu pendekatan dominan dalam kajian hukum, terutama di negara-negara dengan tradisi hukum kontinental seperti Prancis, Jerman, dan Italia. Namun, pendekatan ini kini lebih sering dikombinasikan dengan perspektif lain, seperti teori hukum kritis, sosiologi hukum, dan teori keadilan.
Positivisme hukum di Eropa terus berkembang, dengan beragam bentuk dan pengaruh yang tercermin dalam sistem hukum negara-negara modern. Pandangan yang memisahkan hukum dari moralitas tetap relevan dalam konteks pengaturan hukum yang formal dan objektif, namun semakin banyak sarjana yang menyoroti pentingnya mempertimbangkan aspek moral dan sosial dalam pembentukan dan penegakan hukum.
4. REAKSI TERHADAP POSITIVISME HUKUM
Reaksi terhadap positivisme hukum muncul dari berbagai aliran pemikiran yang merasa bahwa pendekatan ini terlalu sempit karena memisahkan hukum dari moralitas dan keadilan. Kritik dan reaksi ini datang dari filsuf hukum yang menekankan pentingnya dimensi moral dan sosial dalam hukum. Berikut adalah beberapa reaksi penting terhadap positivisme hukum:
a. Teori Hukum Alam (Natural Law)
Salah satu reaksi utama terhadap positivisme hukum datang dari aliran hukum alam. Teori hukum alam, yang dipelopori oleh tokoh seperti Thomas Aquinas dan dihidupkan kembali oleh John Finnis, berargumen bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari moralitas. Bagi mereka, hukum yang tidak adil bukanlah hukum yang sebenarnya (lex iniusta non est lex). Aliran ini menegaskan bahwa hukum harus sesuai dengan prinsip-prinsip moral universal yang berlaku di luar aturan buatan manusia.
Misalnya, menurut hukum alam, undang-undang yang mendukung perbudakan atau penindasan minoritas, meskipun sah secara hukum positif, tidak dapat dianggap sebagai hukum yang valid secara moral. Mereka menilai bahwa positivisme hukum terlalu teknis dan mekanistis, sehingga gagal mengenali peran penting nilai-nilai moral dalam menjaga keadilan dan kesejahteraan sosial.
b. H.L.A. Hart dan Kritik terhadap John Austin
H.L.A. Hart, salah satu tokoh positivis modern, mengkritik pandangan John Austin yang menganggap hukum sebagai perintah penguasa yang didukung oleh ancaman sanksi. Hart berpendapat bahwa hukum tidak bisa hanya dipandang sebagai serangkaian perintah yang harus dipatuhi, melainkan sebagai sistem aturan yang diakui dan dihormati oleh masyarakat.
Hart memperkenalkan gagasan bahwa hukum terdiri dari aturan primer (yang mengatur perilaku) dan aturan sekunder (yang mengatur cara aturan primer dibuat, diubah, dan ditegakkan). Hart juga menyatakan bahwa hukum beroperasi tidak hanya melalui ancaman sanksi, tetapi juga melalui penerimaan sosial terhadap aturan-aturan hukum oleh anggota masyarakat. Dengan demikian, ia memperhalus positivisme dengan menambahkan elemen pengakuan sosial dalam hukum.
c. Teori Interpretatif: Ronald Dworkin
Ronald Dworkin adalah salah satu kritikus terkemuka terhadap positivisme hukum, terutama terhadap gagasan H.L.A. Hart. Dalam bukunya Taking Rights Seriously (1977), Dworkin berargumen bahwa hukum tidak hanya terdiri dari aturan-aturan formal yang diakui oleh otoritas, tetapi juga dari prinsip-prinsip moral yang menjadi dasar dari aturan-aturan tersebut. Dworkin menegaskan bahwa hakim, dalam memutuskan kasus, tidak hanya menerapkan aturan-aturan yang ada, tetapi juga harus mengacu pada prinsip-prinsip keadilan, hak-hak individual, dan fairness.Dworkin menolak pandangan positivisme yang memisahkan hukum dari moralitas dan berpendapat bahwa hukum selalu melibatkan penafsiran moral. Misalnya, dalam kasus yang tidak jelas atau “hard cases,” hakim harus membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan hak, bukan hanya berdasarkan aturan hukum positif.
d. Teori Hukum Sosiologis
Sosiologi hukum, yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Émile Durkheim dan Max Weber, menolak pandangan positivisme yang terlalu kaku dan normatif. Mereka menekankan bahwa hukum harus dilihat sebagai fenomena sosial yang berkembang bersama dengan masyarakat. Menurut sosiologi hukum, hukum bukan sekadar perintah yang dipatuhi secara mekanis, tetapi hasil dari interaksi sosial yang kompleks.
Para ahli sosiologi hukum melihat bahwa hukum merupakan refleksi dari nilai-nilai sosial dan ekonomi yang mendasari masyarakat. Mereka berfokus pada bagaimana hukum diimplementasikan dan berfungsi dalam masyarakat nyata, serta bagaimana kekuatan sosial, seperti kelas sosial dan kekuasaan politik, mempengaruhi pembentukan dan penegakan hukum.
e. Teori Hukum Kritis (Critical Legal Studies - CLS)
Gerakan Critical Legal Studies (CLS) adalah reaksi radikal terhadap positivisme hukum, yang berkembang pada tahun 1970-an. CLS berpendapat bahwa hukum tidak netral dan objektif, melainkan alat untuk mempertahankan kekuasaan dan penindasan. Para pendukung CLS berargumen bahwa hukum seringkali memperkuat ketidakadilan sosial dan ekonomi dengan menyamarkan kekuasaan sebagai sesuatu yang sah.
Bagi CLS, hukum tidak bisa dilihat sebagai serangkaian aturan yang rasional dan netral, karena hukum selalu dipengaruhi oleh politik dan ekonomi. Mereka mengecam positivisme karena mengabaikan dimensi ideologis dan kekuasaan yang melekat dalam hukum.
f. Feminist Legal Theory
Teori hukum feminis mengkritik positivisme hukum karena mengabaikan perspektif gender dan bagaimana hukum seringkali menindas perempuan. Para pemikir feminis berpendapat bahwa hukum, sebagaimana dikembangkan dalam masyarakat patriarki, cenderung bias terhadap kepentingan laki-laki. Mereka menolak pandangan positivis yang melihat hukum sebagai netral, dan menekankan bahwa hukum sering memperkuat ketidakadilan gender.
Catharine MacKinnon adalah salah satu sarjana feminis yang terkenal karena analisisnya terhadap bagaimana hukum memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan, terutama dalam kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan seksual dan diskriminasi gender.
g. Realisme Hukum (Legal Realism)
Realisme hukum, terutama di Amerika Serikat, berpendapat bahwa hukum tidak dapat dipahami hanya sebagai kumpulan aturan yang ditetapkan, seperti yang ditekankan oleh positivisme. Realisme hukum, yang dipelopori oleh tokoh seperti Oliver Wendell Holmes Jr. dan Karl Llewellyn, menekankan bahwa keputusan hukum lebih sering didasarkan pada faktor-faktor praktis dan perilaku hakim daripada pada aturan yang jelas. Para pendukung realisme hukum menyoroti bahwa hakim sering kali menggunakan kebijaksanaan mereka dalam menafsirkan hukum, dan keputusan mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi, pengalaman sosial, dan tekanan politik, bukan hanya oleh aturan hukum yang tertulis.
h. Teori Keadilan John Rawls
John Rawls, seorang filsuf politik, melalui bukunya A Theory of Justice (1971), mengembangkan teori keadilan sebagai keadilan distributif. Rawls tidak sepenuhnya mengkritik positivisme hukum, tetapi lebih menyoroti bagaimana prinsip-prinsip keadilan harus diterapkan dalam sistem hukum untuk menghasilkan tatanan yang adil. Ia berpendapat bahwa hukum tidak bisa hanya berfokus pada kepatuhan terhadap aturan, tetapi juga harus mempromosikan keadilan sosial dan ekonomi dalam distribusi kekayaan dan peluang.
Reaksi terhadap positivisme hukum berasal dari beragam aliran pemikiran yang berusaha memperluas pemahaman tentang hukum, dengan menekankan pentingnya nilai-nilai moral, sosial, dan politik. Kritik-kritik ini menunjukkan bahwa hukum tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks moralitas, keadilan, dan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Meskipun positivisme tetap relevan dalam beberapa aspek penegakan hukum formal, pendekatan-pendekatan baru menawarkan perspektif yang lebih holistik dalam memahami hukum dan fungsinya dalam kehidupan sosial.
H.L.A. Hart adalah salah satu tokoh terpenting dalam pemikiran hukum abad ke-20 dan merupakan pengkritik penting terhadap teori hukum positif, terutama teori hukum positif John Austin. Berikut adalah beberapa poin kunci tentang kritik Hart dan konsep hukum sebagai sistem:
Kritik terhadap Teori Hukum Positif Definisi Hukum: Hart berpendapat bahwa hukum tidak dapat dipahami hanya sebagai perintah dari pemegang kekuasaan (seperti dalam pandangan Austin). Menurut Hart, hukum memiliki lebih banyak dimensi yang mencakup norma-norma sosial dan interaksi antara hukum dan masyarakat.
Hukum sebagai Sistem Norma: Hart memperkenalkan konsep bahwa hukum terdiri dari sistem norma yang saling terkait. Ia membedakan antara norma primer (yang mengatur perilaku dan menciptakan kewajiban) dan norma sekunder (yang mengatur cara norma primer diakui, diubah, atau dihapus).
Aturan Pengakuan: Salah satu kontribusi terpenting Hart adalah konsep aturan pengakuan. Aturan ini memberikan kriteria untuk mengidentifikasi apa yang merupakan hukum dalam suatu sistem hukum. Ini memungkinkan adanya kesepakatan dalam masyarakat tentang norma-norma mana yang berlaku dan dapat diterima.
Sanksi dan Kepatuhan: Hart menolak pandangan Austin yang menekankan sanksi sebagai elemen kunci dari hukum. Menurut Hart, meskipun sanksi bisa menjadi bagian dari hukum, kepatuhan terhadap hukum tidak semata-mata didorong oleh ancaman hukuman. Ia berargumen bahwa banyak individu mematuhi hukum karena pengakuan akan otoritas dan nilai-nilai yang terdapat dalam norma tersebut.
Aspek Sosial Hukum: Hart menekankan pentingnya konteks sosial dalam memahami hukum. Ia berargumen bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang menciptakannya, dan pemahaman tentang hukum harus mempertimbangkan praktik dan kebiasaan sosial.
Konsep Hukum sebagai Sistem Struktur Sistem Hukum: Hart menggambarkan sistem hukum sebagai struktur yang terdiri dari norma-norma yang saling berinteraksi. Struktur ini terdiri dari aturan-aturan yang saling mendukung dan memberikan dasar bagi pemahaman hukum.
Keterkaitan Antara Aturan: Dalam sistem hukum, aturan primer dan sekunder tidak berdiri sendiri. Aturan sekunder berfungsi untuk mengatur dan memberikan legitimasi pada aturan primer. Dengan demikian, sistem hukum beroperasi secara keseluruhan, bukan hanya sebagai kumpulan aturan yang terpisah.
Fungsi dan Tujuan Hukum: Hart berpendapat bahwa hukum memiliki fungsi sosial, seperti mengatur perilaku, menyelesaikan konflik, dan memberikan keadilan. Hukum juga berfungsi untuk menciptakan stabilitas dan ketertiban dalam masyarakat.
Analisis Kritis: Hart melakukan analisis kritis terhadap teori hukum sebelumnya dan memperkenalkan pendekatan analitik yang lebih kompleks. Ia mendorong pemikir untuk mempertimbangkan berbagai aspek hukum, termasuk moralitas, etika, dan nilai-nilai sosial.
H.L.A. Hart telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman hukum dengan memperkenalkan konsep-konsep baru yang menekankan pentingnya norma sosial dan struktur sistem hukum. Kritikan terhadap pandangan Austin telah membuka jalan bagi pemikiran hukum yang lebih kaya dan kompleks, menjadikan Hart sebagai salah satu tokoh sentral dalam teori hukum modern
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Yunani Kuno: Pemikiran awal, terutama dari Socrates, Plato, dan Aristoteles, fokus pada hubungan antara hukum dan moralitas, serta pencarian kebenaran. Plato mengembangkan konsep keadilan ideal, sementara Aristoteles menekankan hukum sebagai bagian dari etika dan kehidupan masyarakat.
2. Zaman Romawi: Hukum Romawi menekankan sistematika dan kodifikasi hukum. Para pemikir seperti Cicero mengaitkan hukum dengan hukum alam, memperkenalkan ide bahwa hukum harus mencerminkan moralitas universal.
3. Abad Modern: Filsafat hukum semakin beragam, dengan munculnya positivisme hukum (seperti H.L.A. Hart) yang memisahkan hukum dari moralitas, serta pendekatan kritis yang mempertanyakan struktur kekuasaan dalam hukum. Selain itu, munculnya teori feminis dan hukum interseksional menunjukkan kompleksitas dalam memahami hukum dalam konteks sosial.
Secara keseluruhan, perkembangan filsafat hukum mencerminkan perubahan nilai-nilai sosial, politik, dan moral dalam masyarakat, dari pencarian kebenaran yang ideal hingga analisis kritis terhadap struktur hukum dan keadilan.
Saran
Berdasarkan hasil pencarian ini dapat dikemukan saran sebagai berikut:
a. Saran untuk diri sendiri
Meskipun kami mengiginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini, akan tetapi pada kenyataanya masih banyak kekurangan yang perlu kami perbaiki, hal ini dikarnakan masih minimnya pengetahuan kami, oleh karna itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca materi yang kami buat sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi kedepannya.
b. Saran untuk calon pendidik
Calon pendidik diharapkan lebih mmampu lagi mendalami materi Sejarah Perkembangan Filsafat Hukum Dari Yunani Kuno Hingga Abad Moderen
DAFTAR PUSTAKA
Cicero. (2008). On the Commonwealth and On the Laws. Edited by James E. G. Zetzel. Cambridge University Press.
Johnston, D. (1999). Roman Law in Context. Cambridge University Press.
Honoré, T. (2002). Ulpian: Pioneer of Human Rights. Oxford University Press.
Stein, P. (1999). Roman Law in European History. Cambridge University Press.
Jolowicz, H. F., & Nicholas, B. (1972). Historical Introduction to the Study of Roman Law. Cambridge University Press.
Hart, H. L. A. The Concept of Law. Oxford University Press, 1961.
Raz, Joseph. The Authority of Law: Essays on Law and Morality. Oxford University Press, 1979.
Bentham, Jeremy. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Oxford University Press, 1789.
Dworkin, Ronald. Taking Rights Seriously. Harvard University Press, 1977.
Coleman, Jules. The Practice of Principle: In Defence of a Pragmatist Approach to Legal Theory. Oxford University Press, 2001.