ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PADA TRANSAKSI MELALUI PLATFORM E-COMMERCE

 Dosen pengampu: Andi Miftahul Amri, S.H., M.H.

MAKALAH

ANALISIS PERBUATAN WANPRESTASI PADA TRANSAKSI 

MELALUI PLATFORM E-COMMERCE

Disusun Oleh:

Kelompok 8

Nama: NIM:

Syadelia Saufika 23690107024

Nurul Anisah 23690107006

A. Kalista 23690107002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA & KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE 

TAHUN AKADEMIK 2025/2026


DAFTAR ISI


SAMPUL i

DAFTAR ISI .ii

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Rumusan Masalah 2

Tujuan 2

 BAB II PEMBAHASAN

Pengertian Wanprestasi 3

Konsep Transaksi E-commerce dan Perbuatan Wanprestasi 

dalam Transaksi E-commerce 4

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dan Penjual dalam 

Kasus Transaksi E-commerce 6

Penyelesaian Sengketa Akibat Wanprestasi dalam Kasus Transaksi 

E-commerce 7

 BAB III PENUTUP

Kesimpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA .13

       

BAB I

PENDAHULUAN


Latar Belakang

Peningkatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai penunjang perkembangan zaman mengalami perkembangan pesat. Di era globalisasi ini, masyarakat cenderung menyukai hal-hal yang bersifat instan. Manusia tak henti-hentinya melakukan riset dan pengembangan demi menciptakan inovasi baru untuk mempermudah jalannya kehidupan. Inovasi- inovasi yang muncul berdampak di berbagai bidang, seperti teknologi informasi, biomedis, ekonomi dan sebagainya.

Dampak yang signifikan dari sector ekonomi sendiri dapat dilihat dengan adanya proses transaksi jual beli tanpa harus tatap muka. Perdagangan dapat dilakukan dengan mudah dan cepat melalui media internet atau biasa dikenal dengan istilah E-commerce (Electronic Commerce).

Di Indonesia, penggunaan platform e-commerce telah mengalami peningkatan, terkhususnya selama pandemi COVID-19. Masa-masa pandemi telah memicu pola perilaku belanja masyarakat. Proses transaksi jual beli yang awalnya dilakukan secara langsung di lokasi beralih ke sistem daring atau transaksi secara digital. Akses yang lebih mudah terjangkau, promosi menarik dan iklan masif, hingga tren-tren yang menjadi pengaruh social turut serta mendorong kegiatan berbelanja daring ini.

Dibalik dari kemudahan dalam berbelanja melalui platform e-commerce, terdapat pula beberapa tantangan-tantangan yang dihadapi baik dari pihak penjual maupun pembeli. Permasalahan yang dihadapi umumnya terkait dengan produk yang tidak sesuai dengan pesanan, baik dari deskripsi produk yang tidak sesuai dengan aslinya, barang yang cacat, estimasi tiba dan berbagai hal lain yang tidak sesuai dengan kesepakatan awal.

Olehnya itu, perlu ada peninjauan untuk memahami lebih lanjut mengenai fenomena ini. Pembasahan mengenai mekanisme penyelesaiannya perlu dikaji baik melalui jalur non-litigasi maupun litigasi.

Rumusan Masalah

Apa yang dimaksud dengan wanprestasi dan kaitannya dengan transaksi e-commerce?

Bagaimana konsep transaksi e-commerce dan jenis-jenis perbuatan wanprestasi dalam transaksi e-commerce?

Bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dan penjual dalam kasus transaksi e-commerce?

Bagaimana langkah-langkah penyelesaian sengketa akibat wanprestasi dalam kasus transaksi e-commerce?

Tujuan

Untuk mengetahui pengertian wanprestasi dan kaitannya dengan transaksi e-commerce

Untuk mengkaji konsep transaksi e-commerce dan jenis-jenis perbuatan wanprestasi dalam transaksi e-commerce

Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi konsumen dan penjual dalam kasus transaksi e-commerce.

Untuk mengetahui langkah-langkah penyelesaian sengketa akibat wanprestasi dalam kasus transaksi e-commerce.

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Wanprestasi

Wanprestasi dalam bahasa Belanda berasal dari kata wanprestatie yang mengandung arti, cacat prestasi atau kewajiban yang tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian atau kesepakatan awal.

Menurut Subekti, wanprestasi ialah disaat pihak debitur tidak menunaikan apa yang dijanjikannya, maka Ia dapat dinyatakan telah melakukan wanprestasi, baik Ia alpa, lalai maupun ingkar janji. 

Dilihat dari Pasal 1234 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata , prestasi yang dimaksud menyangkut tiga hal, yakni memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu. Sedangkan, menurut Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, apabila debitur berada dalam suatu kondisi yang dapat dinyatakan lalai dengan suatu perintah atau dengan akta yang sejenis itu ataupun berdasarkan dengan kekuatan dari perikatan itu sendiri, maka kondisi tersebut dinyatakan sebagai wanprestasi.

Dengan demikian, wanprestasi ialah suatu kondisi dimana pihak debitur tidak bisa memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian atau perikatan yang telah disepakati sebelumnya, baik dalam keadaan lalai maupun sengaja, sehingga pihak kreditur mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi.

Adapun unsur-unsur agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai wanprestasi yaitu: 

Ada perjanjian/kesepakatan

Suatu kondisi dapat dikatakan sebagai wanprestasi apabila ada perjanjian yang sah disepakati antara para pihak baik lisan maupun tulisan.

Ada yang ingkar janji

Apabila perjanjian yang disepakati dilanggar oleh salah satu pihak yang bersangkutan, dalam hal ini gagal dalam pemenuhan kewajibannya, maka dapat dikatakan sebagai wanprestasi.

Ada unsur kelalaian dan perjanjian tetap tidak dipenuhi

Pihak yang ingkar janji telah dinyatakan lalai (wanprestasi) namun tetap tidak melaksanakan kewajibannya sesuai perjanjian.

Konsep Transaksi E-commerce dan Perbuatan Wanprestasi Dalam Transaksi E-commerce

Pengertian Transaksi E-commerce

E-Commerce merupakan bentuk pembelian, penjualan dan pemasaran barang serta jasa menggunakan sistem elektronik. Baik berupa radio, televisi, HP maupun jaringan komputer atau internet.

Teknologi e-commerce membuka peluang bagi produsen untuk memilih bentuk usaha dan skala usaha yang ingin dikembangkan. Penggunaan transaksi e-commerce dapat mempermudah produsen untuk merubah daftar harga atau melakukan kustomisasi barang/jasa yang ditawarkan. Produsen juga bisa menargetkan pasar-pasar tertentu.

Dengan adanya sistem ini, proses transaksi jual beli menjadi lebih efisien. Perdagangan yang biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk diintegrasikan, menjadi lebih cepat melalui sistem e-commerce.

Platform e-commerce yang paling banyak digunakan sekarang ini antara lain, Shopee, Tokopedia, Lazada, TikTok Shop dan sebagainya. 

Jenis-Jenis Wanprestasi dalam Transaksi E-commerce

a. Barang yang dikirim tidak sesuai dengan perjanjian yang telah ditentukan sebelumnya.

Sebelum membuat sebuah kesepakatan terkhususnya secara online, sebaiknya harus lebih teliti terlebih dahulu mengenai ketentuan suatu produk. Komunikasi yang baik menjadi hal krusial yang harus diperhatikan untuk mencegah kerugian baik secara materiil maupun non-materiil. Kasus yang paling umum terjadi, ketika deskripsi produk yang dicantumkan penjual tidak sesuai dengan keadaan aslinya.

b. Estimasi pengiriman barang terlambat atau pihak penjual melakukan pembatalan secara sepihak.

Ada dua faktor yang bisa menyebabkan barang dikirim terlambat atau bahkan sampai dibatalkan oleh penjual:

Ada unsur kesengajaan dari pihak penjual. Unsur kesengajaan ini bukan tanpa alasan. Keterlambatan pada saat pengiriman bisa jadi dikarenakan stok barang yang dipesan habis. Bisa juga terjadi karena ada kesalahan pada proses pembuatan sehingga pengiriman barang harus ditunda atau sampai dibatalkan.

Ada unsur kondisi yang bersifat memaksa. Yang dimaksud kondisi bersifat memaksa disini yaitu pihak penjual mengalami suatu peristiwa tidak terduga secara tiba-tiba yang menghalanginya untuk memenuhi prestasi. Seperti ada bencana alam atau seseorang terdekatnya yang meninggal dunia.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Wanprestasi dalam Transaksi E-commerce

a. Minimnya pemahaman mengenai ketentuan perjanjian

Ketentuan kontraktual mengenai transaksi jual beli dengan konsumsi yang berlaku terkadang kurang dipahami oleh beberapa pelaku usaha kecil terkhususnya penjual individu di marketplace. Sehingga, mereka menjadi lalai hingga melanggar kontrak perjanjian secara tidak sengaja.

Misalnya, penjual tidak menyadari mengenai batas waktu pengiriman yang telah ditentukan, sehingga pesanan otomatis dibatalkan oleh sistem dan penjual akan dianggap wanprestasi oleh konsumen.

b. Lemahnya sistem platform e-commerce

Platform yang memiliki sistem pengawasan dan pemrograman yang tidak efektif berakibat mengganggu kinerja dari platform tersebut.

Misalnya, kesalahan dalam pengimputan stok produk, sistem pembayaran terganggu, atau pengiriman yang gagal secara otomatis dapat dikatakan bahwa proses transaksi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

c. Adanya faktor eksternal diluar dari kendali penjual

Pengiriman barang tidak sesuai dengan estimasi karena disebabkan oleh pihak ekspedisi atau adanya bencana alam yang tidak terprediksi dan diluar tanggungan manusia.

Dalam kasus yang seperti ini menurut kontrak perdata, pihak penjual berhak bertanggung jawab selama barang yang dikirim belum diterima konsumen, meskipun pelanggaran ini bukan kesalahan murni dari penjual.

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen dan Penjual dalam Kasus Transaksi E-Commerce 

Untuk menjamin keadilan dalm proses transaksi e-commerce, pihak konsumen maupun penjual memiliki hak- hak hukum yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang ada. 

Perlindungan Hukum terhadap Konsumen

Konsumen sebagai pihak yang dirugikan dalam kasus wanprestasi memperoleh perlindungan hukum berdasarkan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK):

hak terhadap kenyamanan, keamanan, serta keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

hak dalam memilih barang dan/atau jasa dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi beserta jaminan sebagaimana dijanjikan;

hak terhadap informasi yang benar, jelas, serta jujur mengenai keadaan dan jaminan barang dan/atau jasa;

hak atas pendapat dan keluhan mengenai barang dan/atau jasa yang digunakan;

hak atas advokasi, perlindungan, serta upaya dalam penyelesaian sengketa perlindungan konsumen sebagaimana mestinya;

hak atas pembinaan dan pendidikan bagi konsumen;

hak untuk dilayani secara benar dan jujur tanpa diskriminatif;

hak atas kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau kesepakatan sebelumnya.

hak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Perlindungan Hukum terhadap Penjual

Dalam proses transaksi jual beli bukan hanya konsumen yang memiliki hak untuk dilindungi. Penjual juga berhak mendapatkan perlindungan hukum atas kemungkinan kerugian yang ditimbulkan akibat kelalaian konsumen.

Menurut pasal 1338 KUHPerdata yang mengatur tentang prinsip kebebasan dalam berkontrak dan pelaksanaan perjanjian diikuti dengan iktikad baik. Pada pasal ini menjelaskan bahwa setiap perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang terhadap mereka yang membuat perjanjian tersebut, dan harus dilandaskan dengan iktikad yang baik. 

Penyelesaian Sengketa Akibat Wanprestasi dalam Transaksi E-Commerce 

Dalam proses transaksi e-commerce, khususnya melalui aplikasi marketplace berupa Shopee, Tokopedia, dan TikTok Shop, menimbulkan hubungan hukum antara pihak penjual dan konsumen yang bersifat perdata. Hubungan ini hasi dari kesepakatan jual beli sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1457 KUHPerdata yang berisi bahwa, “Jual beli adalah suatu perjanjian dimana pihak yang satu berkewajiban untuk menyerahkan suatu barang dan pihak lainnya berkewajiban membayar harga sesuai dengan yang dijanjikan. Sehingga, jika salah satu pihak bersangkutan gagal dalam menunaikan kewajibannya, maka dianggap telah melakukan wanprestasi”.

Penyelesaian sengketa akibat perbuatan wanprestasi dalam transaksi e-commerce dapat dilakukan melalui beberapa cara:

Non-litigasi 

Non-litigasi merupakan penyelesaian sengketa tanpa intervensi dari pengadilan. Jalan ini menjadi alternative lain untuk mengakhiri konflik antar kedua belah pihak yang tidak memilih untuk melanjutkan proses hukum yang kemudian dikenal dengan istilah Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Alternative Dispute Resolution disingkat (ADR). Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 perihal Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa “Alternatif Penyelesaian Sengketa ialah lembaga penyelesaian sengketa yang mana prosedurnya disepakati oleh para pihak, meliputi penyelesaian di luar dari pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, ataupun penilaian ahli.”

Mekanisme pengakhiran sengketa dengan damai dapat dilakukan dengan cara: 

Negosiasi, yaitu metode penyelesaian perselisihan dengan melibatkan komunikasi langsung antara para pihak bersengketa dan mengesampingkan pihak lain.

Mediasi, yaitu alternatif lain penyelesaian sengketa dengan cara melibatkan pihak luar/ pihak ketiga yang bersifat netral dan tidak memihak apabila proses negosiasi tidak berjalan baik. Pada proses mediasi, mediator bertindak hanya sebatas sebagai fasilitator bagi para pihak bersengketa untuk bernegosiasi.

Konsiliasi, merupakan tahap akhir penyelesaian sengketa non-litigasi secara damai, dimana para pihak bersengketa memutuskan kapan harus mengambil tindakan. Pada tahap ini, konsiliator mempunyai dua peran, yaitu sebagai fasilitator dan juga memiliki kewajiban membuat anjuran tertulis kepada para pihak saat proses negosiasi.

Untuk kasus penyelesaian wanprestasi dalam ranah internet dan digital, alternatif lain yang bisa ditempuh adalah melalui “Online Dispute Resolution” (ODR). ODR adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang dilakukan secara daring (online) dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, tanpa harus langsung mempertemukan para pihak secara fisik. Dengan kata lain, ODR merupakan versi pengembangan dari Alternative Dispute Resolution (ADR). ODR cocok untuk menyelesaiakan perselisihan yang ringan dalam e-commerce karena lebih efisien. Proses ODR tidak memakan banyak waktu, biaya maupun tenaga.

Di Indonesia saat ini masih belum memiliki undang-undang yang membahas dan mengatur tentang Online Dispute Resolution (ODR) secara spesifik dan khusus. Oleh karena itu, untuk mendukung keberlangsungan negosiasi melaui ODR saat ini pelaksanaannya masih berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kasus tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Nomor 19 Tahun 2016, (setelah perubahan ITE) yang membahas mengenai “Penyelesaian sengketa untuk transaksi elektronik dapat dilaksanakan oleh para pihak ataupun melalui lembaga penyelesaian sengketa.”

Contoh penyelesaian kasus melalui ODR pada platform Shopee:

Pembeli membuat pesanan di Shopee sesuai dengan S&K yang berlaku.

Saat pesanan datang, pembeli menemukan ada cacat pada barang.

Pembeli akhirnya mengajukan komplain lewat fitur “Ajukan Pengembalian”, disertai dengan bukti yang jelas.

Shopee sebagai mediator digital, menjadi fasilitator hingga penjual setuju mengganti barang.

Sengketa terselesaikan dalam proses daring tanpa proses pengadilan. 

Sebagai konsumen yang mengalami kerugian akibat dari wanprestasi penjual, beberapa tindakan hukum yang bisa diambil sebagai bentuk permintaan pertanggung jawaban dari penjual antara lain:

Minta ganti rugi 

Minta kompensasi 

Minta pembatalan perjanjian 

 Minta penjual untuk melakukan penyerahan barang 

Minta penurunan harga 

Minta barang pengganti 

Melaporkan penjual ke polisi

Litigasi 

Apabila sengketa yang terjadi tidak dapat diselesaikan baik secara Alternative Dispute Resolution (ADR) maupun Online Dispute Resolution (ODR) maka jalan terakhir yang dapat ditempuh adalah melalui lembaga pengadilan.

Proses penyelesaian sengketa melaui pengadilan dikenal dengan istilah litigasi. Menurut Pasal 45 UU No. 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen, yang disebut dengan UUPK diatur tentang penyelesaian perselisihan konsumen dengan melibatkan peradilan. Konsumen yang mengajukan gugatan dapat menghubungi pemilik usaha melalui lembaga pengadilan guna menjalin hubungan baik antara konsumen dengan pihak pemilik usaha. Berdasarkan Pasal 38 ITE, yang menjelaskan bahwa suatu pihak dapat berubah pikiran jika pihak lain merasa dirugikan selama transaksi elektronik berlangsung, otoritas tertentu dapat melakukannya.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 Berdasarkan pembahasan yang telah dijelaskan dalam makalah ini, dapat dipahami bahwa wanprestasi dalam proses transaksi e-commerce merupakan bentuk pelanggaran terhadap pemenuhan kewajiban kontraktual yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, baik secara eksplisit ataupun implisit dalam sistem digital. Apabila salah satu pihak, baik penjual maupun pembeli, tidak dapat memenuhi isi perjanjian dalam transaksi e-commerce seperti pengiriman barang yang tidak sesuai pesanan ataupun mengalami keterlambatan pada pengiriman tanpa alasan yang sah, maka pihak tersebut ianggap telah melakukan wanprestasi.

 Perlindungan terhadap konsumen untuk proses transaksi e-commerce didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 mengenai Perlindungan Konsumen serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang memberikan dasar hukum bagi aktivitas transaksi digital. Dalam praktik penyelesaian sengketa akibat wanprestasi pada transaksi e-commerce tidak selalu harus melibatkan pengadilan. Mekanisme alternative lain dapat ditempuh seperti negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan khususnya penyelesaian sengketa daring (Online Dispute Resolution/ODR) telah menjadi pendekatan yang lebih efisien dan relevan di era digital sekarang ini.

Saran

Sebagai bentuk antisipasi, penting bagi konsumen untuk menyimpan bukti transaksi dalam format digital seperti invoice, tangkapan layar, ataupun korespondensi sebagai dasar untuk pengajuan klaim wanprestasi jika terjadi sengketa. Di sisi lain, platform e-commerce diharapkan dapat terus meningkatkan kualitas sistem penyelesaian sengketa secara digital untuk memberikan perlindungan hukum yang adil dan merata bagi semua pengguna platform. Pemerintah juga berperan penting dalam mendorong pengembangan regulasi yang lebih khusus dan teknis mengenai pelaksanaan ODR sebagai bagian dari sistem hukum perdata digital yang adaptif terhadap perkembangan zaman. 

DAFTAR PUSTAKA

Alifiona, R., & Suwondo, D. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN AKIBAT WANPRESTASI DALAM E-COMMERCE. Jurnal Ilmiah Sultan Agung. Universitas Islam Sultan Agung. Semarang.

Bernadetha, A.S., (2022, April 25). Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Belanja Online. Diakses dari: https://www.hukumonline.com/klinik/a/perlindungan-hukum-terhadap-konsumen-lt50bf69280b1ee/ 

Khotimah, C.A., Chairunnisa, J.C. (2023). PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI-ONLINE (E-COMMERCE. Business Law Review, 1, 76-58. Diakses dari: https://siplawfirm.id/perlindungan-konsumen-atas-transaksi-di-e-commerce/?lang=id

Mestri, A.P., (2024). Penyelesaian Sengketa Wanprestasi Jual Beli Online Pada Pembayaran Metode Cash On Delivery (COD) Di Marketplace Shopee. Jurnal Riset Ilmu Hukum, Sosial dan Politik. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Jawa Tengah, 1(2), 161-170.

Muhammad, M.M. (2020). TRANSAKSI E-COMMERSE DALAM EKONOMI SYARIAH. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. El-Iqtishady, 2(1).

Suzan, N.D., dkk. (2024). Menelaah Lebih Dalam Perbedaan Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi. Universitas Tarumanagara, 8(1), 860-866.

Rahman, A., (2022). WANPRESTASI DALAM TRANSAKSI JUAL BELI ONLINE MELALUI FITUR CASH ON DILEVERY PADA APLIKASI MARKETPLACE. Jurnal Penelitian Hukum. Surakarta. Jawa Tengah, 31(2).

Ridwan, R.N., & Permana. Y.S., (2022). THE JURIS. WANPRESTASI DAN AKIBATNYA DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN. Jurnal Ilmu Hukum. Universitas Singaperbangsa Karawang. Karawang, 6(2), 441-445

Tim Hukumonline. (2024, Maret 29). Pengertian Wanprestasi, Akibat dan Penyelesaiannya. Hukum Online.com. Diakses dari: https://www.hukumonline.com/berita/a/unsur-dan-cara-menyelesaikan-wanprestasi-lt62174878376c7/ 

Yetno, A. (2

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama