ASPEK HUKUM PERJANJIAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI SECARA ONLINE (E-COMMERCE)”

 MAKALAH

“ASPEK HUKUM PERJANJIAN DALAM TRANSAKSI JUAL BELI SECARA ONLINE (E-COMMERCE)”

 

Disusun dan diajukan untuk memenuhi salah 

satu tugas matakuliah Hukum Perdata 


Disusun Oleh : 

Kelompok 3

Nama : Juliana NIM 23690107019

Nama : Astuti NIM 23690107034

Nama : Kamsinar NIM 23690107009

Nama : Aswar NIM 23690107020

    

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE

TAHUN 2025


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Internet, merupakan jaringan komputer terbesar di dunia pada saat ini digunakan oleh berjuta juta orang yang tersebar disegala penjuru dunia. Internet membantu mereka sehingga dapat berkomunikasi, berinteraksi, belajar bahkan melakukan perdagangan dengan orang dari segala penjuru dunia dengan mudah, murah dan cepat. Internet dalam dunia bisnis mau tidak mau telah merambah hingga terjadi transformasi ruang perdagangan di dunia nyata, tetapi juga di dunia maya (cyber) juga turut dirambah. Teknologi internet mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perekonomian dunia. Internet membawa perekonomian dunia memasuki babak baru yang lebih populer dengan istilah digital economics atau perekonomian digital. Makin banyak kegiatan perekonomian dilakukan melalui media internet. Semakin banyak mengandalkan E-COMMERCE sebagai media transaksi. Definisi luas dari E-COMMERCE adalah transaksi elektronik yang dilakukan melalui jaringan komputer. E-COMMERCE adalah suatu proses berbisnis dengan menggunakan teknologi elektronik antara perusahaan, konsumen, dan masyarakat berupa transaksi elektronik, dan pertukaran/penjualan barang, service, dan informasi secara elektronik. Jadi proses transaksi E-COMMERCE meliputi pemasaran barang, pembayaran transaksi hingga pengiriman barang dikomunikasikan melalui internet. E-COMMERCE tentu memiliki berbagai perbedaan yang membedakannya dengan perjanjian konvensional dan bisa juga membawa akibat hukum yang berbeda

Rumusan Masalah

Apa Definisi Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Jual Beli Secara Online (E-COMMERCE)?

Bagaimana Syarat Keabsahan Perjanjian Pada Transaksi Jual Beli Yang Dilakukan secara Online (E-COMMERCE)?

Bagaimana Kesesuaian Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Online?

Tujuan

Mampu mengetahui definisi Definisi Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Jual Beli Secara Online (E-COMMERCE).

Mampu mengetahui Keabsahan Perjanjian Pada Transaksi Jual Beli Yang Dilakukan secara Online (E-COMMERCE).

Mampu mengetahui Kesesuaian Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Online.


BAB II

PEMBAHASAN

Definisi Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Jual Beli Secara Online (E-COMMERCE)

Definisi jual beli menurut KUHPerdata Pasal 1457 merupakan suatu perjanjian yang mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain membayar dengan harga yang disepakati. Sama hal nya dengan pendapat Subekti bahwa jual beli merupakan suatu ikatan bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas jumlah sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. 

Istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik itu adalah sesuai dengan istilah Belanda koopen verkoop yang juga mengandung pengertian bahwa pihak yang satu verkoopt (menjual) sedang yang lainnya koopt (membeli). Selain itu juga terdapat dua asas dalam perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat. Oleh sebab itu, proses transaksi jual beli secara konvensional tidak berbeda jauh dengan proses transaksi jual beli melalui media jual beli daring atau E-Commerce.

Dalam asas kebebasan berkontrak pula sebagaimana telah tersimpul dari Pasal 1338 jo 1320 KUH Perdata jo Pasal 18 UUITE, dalam prakteknya di lapangan terdapat bermacam-macam perjanjian baru, salah satunya adalah perjanjian jual beli yang dilakukan dengan menggunakan jasa internet. UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menyebutkan bahwa bukti dan perjanjian elektronik mengikat adalah perjanjian dianggap terbentuk ketika ada kesepakatan atau konfirmasi tentang suatu objekutama dari kedua pihak yang terlibat. Dalam hal ini, kesepakatan berarti adanya kesamaan visi dan keinginan antara kedua belah pihak. Kesepakatan ini menciptakan suatu titik temu antara keinginan kedua belah pihak, baik itu untuk melanjutkan atau membatalkan pembuatan kontrak. Ini berlaku juga untuk kontrak yang dibuat melalui sarana elektronik. 

Keabsahan Perjanjian Pada Transaksi Jual Beli Yang Dilakukan secara Online (E-COMMERCE)

Menurut Pasal 18 ayat (1) UU ITE, kontrak elektronik dapat dianggap sebagai perjanjian karena asas hukum perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Asas kebebasan berkontrak adalah asas yang memungkinkan orang untuk secara bebas membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun, dengan substansi yang sesuai dengan keinginan para pihak (Hernoko, 2010). Selain mengenai bentuk dan substansi dari kontrak, asas kebebasan berkontrak juga mengandung pandangan bahwa setiap orang bebas untuk membuat perjanjian atau tidak membuat perjanjian, bebas memilih pihak yang akan turut serta dalam perjanjian, bebas menentukan objek dari perjanjian, dan bebas menentukan syarat-syarat dalam perjanjian (Zamroni, 2019). Kebebasankebebasan tersebut yang memungkinkan kontrak elektronik dapat diakui menjadi sebuah perjanjian yang sah secara hukum.

Suatu perjanjian memang diberikan pilihan yang luas dengan adanya asas kebebasan berkontrak, tetapi tentunya tetap diperlukan batasan ataupun syarat-syarat yang harus terpenuhiagar suatu perjanjian dinyatakan sah menurut hukum. Batasan atau syarat-syarat sah dari perjanjian diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata, yang mana dituliskan bahwa perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

            a. Adanya Kesepakatan antar pihak.

            b. Adanya Kecakapan dari para pihak.

            c. Perjanjian membahas suatu pokok persoalan tertentu.

            d. Perjanjian hanya mengandung klausa yang halal.

Keempat syarat tersebut dapat dikategorikan menjadi dua jenis syarat yaitu syarat subjektifdan syarat Objektif. Syarat yang termasuk syarat subjektif adalah syarat mengenai kesepakatan dan kecakapan para pihak, dimana bilamana syarat subjektif tidak terpenuhi, maka secara yuridis perjanjian dapat dibatalkan. Sedangkan syarat yang termasuk syarat objektif adalah syarat mengenai objektivitas dan klausa yang halal dimana apabila syarat objektif tidak dipenuhi, maka secara yuridis perjanjian batal demi hukum. Frase batal demi hukum sendiri berarti bahwa dari semula perjanjian tersebut tidak ada, serta perikatan antar pihak pun juga tidak ada. Perjanjian yang batal demi hukum membuat pihak yang satu tidak dapat menuntut pihak yang lain di pengadilan karena perjanjian yang dijadikan dasar tuntutan tidaklah ada, dan hakim sebagai pemimpin pengadilan wajib untuk menyatakan bahwa tidak pernah ada perjanjian atau perikatan dikarenakan batal demi hukum (Subekti, 2002).

Syarat sahnya perjanjian yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata merupakan syarat sah yang berlaku bagi semua perjanjian secara umum. Maka dari itu, untuk menjawab permasalahan mengenai keabsahan dari perjanjian jual beli online penerapan dari pasal 1320 KUHPerdata dalam konteks transaksi jual beli online dapat dijabarkan sebagai berikut:

            a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya

Perjanjian didasarkan pada persetujuan kehendak para pihak, dimana persetujuan kehendak adalah kesepakatan para pihak atas pokok perjanjian dan syarat-syarat yang ditentukan dalam perjanjian. Persetujuan kehendak tersebut memiliki sifat bebas yang berarti kesepakatan tersebut harus didasarkan pada kemauan sukarela para pihak tanpa adanya paksaan, kehilafan, dan penipuan (Muhammad, 1992).

            b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Perihal syarat kecakapan Pasal 330 KUHPerdata menjelaskan bahwa seseorang dinyatakan cakap melakukan perbuatan hukum ketika telah berumur 21 tahun atau sudah menikah, sehingga dapat dikatakan dewasa. Walaupun berdasar asas kebebasan berkontrak seseorang dapat membuat perjanjian dengan siapapun, Pasal 1320 KUHPerdata membatasi kebebasan tersebut dengan syarat kecakapan. Syarat kecakapan itu sendiri ada karena seseorang yang sudah dewasa dianggap sudah dapat melakukan perbuatan dengan sadar dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

            c. Suatu pokok persoalan tertentu

Syarat sahnya perjanjian ketiga mengatur bahwa suatu perjanjian haruslah mengandung pokok perjanjian yang mengatur suatu hal tertentu, dimana pokok perjanjian yang tersebut harus berbentuk suatu prestasi. Syarat ini juga mengatur bahwa setiap perjanjian yang dibuat harus jelas mengenai apa yang diperjanjikan, apa yang menjadi jenis perjanjian, dan apa yang menjadi prestasi harus dapat dihitung dan ditetapkan. Tujuan dari syarat mengenai suatu pokok persoalan tertentu adalah untuk dapat dipahami hal apa sajakah yang menjadi hak dan kewajiban kedua belah pihak sehingga apabila terjadi peselesihan antar pihak, permasalahan dapat dijawab secara jelas. Tujuan tersebut pun ada karena apabila prestasi yang terkandung dalam suatu perjanjuan bersifat kabur atau tidak tertentu, pemenuhan dari perjanjian tidak dapat diukur ataupun tidak dapat dilaksanakan

            d. Suatu sebab yang tidak terlarang

Syarat sahnya perjanjian yang keempat mengatur isi dari suatu perjanjian haruslah halal menurut hukum yaitu dengan tidak mengandung unsur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Muhammad, 1992). Dalam hal transaksi jual beli online, pemenuhan atas unsur sebab yang tidak terlarang tentunya sulit untuk diawasi dan dijamin. Kesulitan dalam pemenuhan syarat mengenai klausa yang halal sama halnya dengan syarat kecakapan pada jual beli online disebabkan oleh pengelola media sosial yang memberikan kebebasan dan fitur-fitur pada penggunanya untuk dapat melakukan banyak hal termasuk juga bertransaksi atau melakukan jual beli pada platform yang diberikan. Kemudahan dan keberagaman fungsi tersebutlah yang akan memberikan kesulitan tersendiri bagi pemerintah untuk menjangkau dan melakukan pengawasan terhadap transaksi-transaksi yang terjadi melalui internet. Maka dari itu, sebenarnya terdapat persamaan antara jual beli online dengan transaksi jual beli yang dilakukan secara konvensional, dimana para pihak dapat bertransaksi secara bebas, dimana saja dan kapan saja tanpa adanya pengawasan.

Kesesuaian Perlindungan Konsumen Dalam Perjanjian Jual Beli Secara Online

Perlindungan hukum bagi konsumen dalam konteks e-commerce sangat terkait dengan standar kesepakatan atau klausul yang ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha, yang biasanya tidak bisa dinegosiasikan oleh konsumen. Dalam praktiknya, hampir semua transaksi dalam e-commerce menggunakan perjanjian standar yang disusun oleh platform atau penjual tanpa melibatkan konsumen dalam proses pembuatannya. Situasi ini bisa menyebabkan adanya ketentuan yang merugikan konsumen, seperti pemindahan tanggung jawab sepenuhnya kepada pihak ketiga (pengiriman), pembatasan hak pengembalian barang, atau pembebasan pelaku usaha dari kewajiban untuk memberikan kompensasi. Untuk mengatasi masalah ini, Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan jelas menyatakan bahwa klausul yang merugikan konsumen adalah tidak sah. Oleh karena itu, ketentuan mengenai perjanjian dalam transaksi daring harus diselaraskan dengan dasar-dasar perlindungan konsumen, yang menekankan signifikansi keadilan, keterbukaan, dan keseimbangan dalam interaksi kontraktual.

Selanjutnya, hukum perjanjian dalam aspek perlindungan konsumen tidak hanya mencakup tahap pembentukan kesepakatan, tetapi juga berkaitan dengan pelaksanaan dan konsekuensi hukumnya jika terjadi pelanggaran. Dalam situasi ini, peraturan terkait wanprestasi, seperti ketidakmampuan salah satu pihak untuk melaksanakan isi perjanjian, menjadi dasar bagi konsumen untuk menuntut haknya. Sebagai ilustrasi, apabila penjual tidak mengantarkan barang yang sesuai dengan spesifikasi atau waktu yang telah disetujui, pembeli berhak untuk meminta pembatalan perjanjian atau kompensasi sesuai dengan ketentuan pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam konteks perlindungan terhadap konsumen, pengajuan klaim ini dapat dilakukan tidak hanya melalui jalur peradilan, akan tetapi juga melalui mediasi, lembaga penyelesaian sengketa konsumen (BPSK), atau sistem penyelesaian internal yang ada oleh platform e-commerce. Dengan demikian, hukum perjanjian dalam jual beli e-commerce seharusnya tidak dilihat sebagai hubungan kontraktual yang kaku, melainkan sebagai kerangka hukum yang harus mematuhi prinsip-prinsip moralitas, keadilan, dan perlindungan untuk pihak yang lemah.

Penerapan hak dan kewajiban konsumen serta pelaku bisnis di stage E-commerce seperti shoope terlihat melalui berbagai kebijakan dan peran yang diimplementasikan. Shopee berupaya memberikan kenyamanan, keselamatan, dan keamanan kepada konsumen dengan memastikan semua produk yang dijual telah memenuhi standar kualitas dan keamanan. Konsumen memiliki kebebasan dalam memilih produk dari berbagai penjual, yang menawarkan variasi dalam harga, kondisi, dan jaminan yang berbeda cukup signifikan. Dalam proses jual beli, pelanggan memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang mereka pilih. Konsumen d shoope diharapkan untuk membaca deskripsi produk guna menghindari kesalahan dan persoalan yang mungkin timbul.Mereka juga diharapkan bertindak dengan itikad baik dalam transaksi, memberikan informasi yang akurat, dan menyelesaikan pembayaran sesuai dengan kesepakatan harga.

Perjanjian jual beli di dunia e-commerce adalah jenis kontrak yang diakui menurut hukum Indonesia, selama memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pada dasarnya, hukum perjanjian dalam KUH Perdata, seperti yang tercantum dalam Pasal 1320, mencakup empat syarat yang harus dipenuhi untuk keabsahan perjanjian: persetujuan semua pihak, kemampuan untuk membuat komitmen, objek yang tertentu, dan alasan yang sah. Prinsip-prinsip ini tetap berlaku untuk transaksi jual beli secara daring, meskipun bentuk dan medium perjanjiannya telah berubah dari yang tradisional menjadi yang digital. Dalam praktiknya, persetujuan dalam e-commerce terjadi melalui cara elektronik, contohnya saat pembeli menekan tombol "setuju" mengenai persyaratan atau saat melakukan proses "checkout" di platform marketplace. Meskipun tidak menggunakan tanda tangan fisik, hukum positif Indonesia mengakui eksistensi tanda tangan digital dan dokumen elektronik sebagai bukti yang sah, sesuai dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Dari sudut pandang perlindungan konsumen, transaksi jual beli dalam e-commerce harus tetap mempertimbangkan hak-hak konsumen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini memberikan hak kepada konsumen untuk mengakses informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi serta garansi barang dan/atau jasa, serta hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan saat menggunakan barang dan/atau jasa tersebut. Kesesuaian prinsip ini dengan KUH Perdata dapat dilihat pada prinsip keadilan, itikad baik, dan kebebasan berkontrak. Misalnya, dalam kontrak jual beli online, pelaku usaha (penjual) diwajibkan untuk menunjukkan itikad baik dengan menyampaikan informasi produk secara tepat dan bertanggung jawab atas kerugian yang dapat timbul akibat produk yang cacat ataupun keterlambatan dalam pengiriman. Hal ini sesuai dengan prinsip tanggung jawab dalam KUH Perdata, di mana pihak yang melanggar perjanjian dapat dimintai pertanggungjawaban di hadapan hukum.

Selanjutnya, prinsip kebebasan berkontrak yang tercantum dalam Pasal 1338 KUH Perdata afirmasi bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku seperti undang-undang bagi pihak-pihak yang terlibat, tetap berlaku meski dalam konteks e-commerce. Namun, kebebasan ini bukanlah sifat yang mutlak. Dalam praktik jual beli online, perjanjian yang bersifat sepihak (contohnya syarat dan ketentuan yang ditentukan sepenuhnya oleh marketplace atau penjual) harus tetap mematuhi batasan-batasan yang ditetapkan oleh hukum, moral, dan norma yang dijelaskan dalam prinsip dasar hukum perdata serta ketentuan dalam UU Perlindungan Konsumen. Dengan demikian, dalam konteks e-commerce, keselarasan antara prinsip-prinsip perjanjian dalam KUH Perdata dan perlindungan konsumen sangat penting untuk memastikan keseimbangan hak dan kewajiban antara konsumen dan pelaku usaha. Ini menciptakan landasan hukum yang kuat agar transaksi online dapat berlangsung secara adil, aman, dan terpercaya. Penting untuk diingat bahwa meskipun e-commerce adalah inovasi dalam perdagangan, aspek hukumnya tetap berakar pada ketentuan hukum perdata yang telah ada lama. Prinsip itikad baik (goede trouw) dalam KUH Perdata, yang mengharuskan para pihak untuk bersikap jujur dan tidak saling merugikan, sangat relevan untuk perlindungan konsumen.

Dalam transaksi digital, nilai kejujuran diuji melalui transparansi informasi, integritas dalam pemasaran produk, dan tanggung jawab dalam memenuhi janji di dalam transaksi. Misalnya, seorang penjual yang memberikan deskripsi produk yang menyesatkan atau tidak akurat bisa dianggap telah melanggar prinsip kejujuran dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen serta prinsip wanprestasi dalam hukum sipil. Konsumen, sebagai pihak yang berada pada posisi tawar yang lemah, sering kali hanya dapat bergantung pada kepercayaan terhadap informasi yang disajikan oleh pelaku bisnis. Oleh sebab itu, penting adanya regulasi dan pengawasan yang memastikan transparansi, akses informasi, serta kemudahan dalam mengajukan keluhan agar kesetaraan dalam hubungan hukum ini terjaga.

Selain itu, dalam aspek tanggung jawab hukum, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa pihak yang gagal memenuhi perjanjian atau lalai dapat diminta untuk memberikan ganti rugi. Ini sejalan dengan prinsip perlindungan konsumen, di mana pelaku usaha yang menyebabkan kerugian akibat produk cacat, pengiriman gagal, atau layanan yang tidak sesuai diwajibkan untuk memberikan kompensasi atau pengganti Kesesuaian antara Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen menunjukkan bahwa transaksi digital tetap berada dalam bingkai hukum yang ada dan merupakan perkembangan yang sejalan dengan prinsip-prinsip umum hukum sipil. Oleh karena itu, penting bagi seluruh pihak, baik konsumen maupun pelaku usaha, untuk menyadari bahwa transaksi e-commerce bukanlah ruang hukum tanpa regulasi, melainkan berada di bawah pengawasan norma hukum yang terpadu dan kuat.

Selanjutnya, penerapan prinsip keadilan dalam transaksi e-commerce adalah elemen penting yang menegaskan bahwa perjanjian tidak seharusnya hanya menguntungkan satu pihak. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan dasar bahwa perjanjian harus disepakati secara sukarela dan tidak boleh mengandung ketentuan yang memberatkan satu pihak secara tidak adil. Ini sejalan dengan konsep klausul standar dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan bahwa ketentuan yang ditetapkan sepihak oleh pelaku usaha dan merugikan konsumen dapat dianggap tidak sah secara hukum. Oleh karena itu, meskipun dalam e-commerce perjanjian dilakukan secara digital dan otomatis, hukum masih menyediakan perlindungan terhadap potensi eksploitasi oleh pelaku usaha yang memiliki posisi dominan. Kesesuaian antara prinsip perlindungan konsumen dan hukum perjanjian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia telah memberikan landasan yang cukup kuat dan beradaptasi untuk melindungi hak-hak konsumen di era digital ini.

Selain itu, bukti dalam transaksi daring juga mencerminkan keselarasan antara perlindungan konsumen dan asas-asas hukum perdata. Dalam ranah hukum perdata, alat bukti seperti dokumen, kesaksian, pengakuan, dan sumpah memiliki peranan yang signifikan dalam membuktikan adanya kesepakatan serta pelanggaran kontrak. Ketika berurusan dengan transaksi elektronik, bukti-bukti digital seperti catatan transaksi, email konfirmasi, bukti pembayaran, dan tanda tangan digital diakui sebagai bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang ITE. Pengakuan terhadap bukti elektronik tersebut semakin memperkuat kedudukan konsumen untuk menuntut hak mereka jika terjadi perselisihan. Sebagai contoh, jika seorang pembeli tidak menerima barang yang dibeli secara online, dokumen transaksi dan komunikasi digital bisa digunakan di pengadilan untuk menunjukkan kelalaian dari pihak penjual. Ini menjadi bentuk modernisasi dalam prinsip pembuktian hukum perdata yang tetap menjaga substansi keadilan dan keabsahan prosedural hukum, sambil beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Selain itu, perlindungan konsumen dalam kontrak jual beli daring sangat terkait dengan prinsip keseimbangan dalam perjanjian. Hukum perdata di Indonesia tidak secara langsung mengakui doktrin ketidakseimbangan, tetapi melalui tafsir itikad baik dan asas keadilan, hukum memberikan kesempatan untuk memperbaiki kontrak yang menjadikan salah satu pihak, terutama konsumen, dalam posisi yang lebih berat. Dalam konteks e-commerce, penyedia layanan sering kali menggunakan kontrak standar yang tidak memungkinkan konsumen untuk bernegosiasi. Dalam keadaan seperti ini, perlindungan hukum melalui asas keadilan dan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen sangat penting untuk memastikan bahwa perjanjian tidak mengandung ketentuan yang semena-mena. Misalnya, klausul yang menyatakan bahwa pelaku usaha tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau keterlambatan pengiriman termasuk dalam kategori yang dilarang. Ketentuan semacam itu, meskipun cukup umum di banyak platform e-commerce, dapat dinyatakan batal jika terbukti merugikan konsumen secara sepihak.

Tak kalah penting, dari sudut pandang perlindungan hukum berkelanjutan, adanya kolaborasi antara asas hukum perdata dan ketentuan perlindungan konsumen dalam transaksi daring juga memerlukan keterlibatan aktif pemerintah dalam hal regulasi dan pengawasan. Pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa ekosistem e-commerce tidak hanya berfungsi secara efisien dan berkembang, tetapi juga adil dan akuntabel. Dalam konteks ini, peningkatan regulasi terkait keamanan data pribadi, penyelesaian sengketa secara daring, dan transparansi dari pelaku usaha sangat dibutuhkan agar asas-asas dalam KUH Perdata dapat benar-benar diterapkan dalam praktik jual beli modern. Tanpa intervensi dari pemerintah, ada risiko tinggi bahwa konsumen akan terus berada dalam posisi yang dirugikan oleh dominasi platform digital besar yang menetapkan semua syarat transaksi secara sepihak. Oleh karena itu, adanya sinergi antara hukum perdata klasik dan hukum perlindungan konsumen modern sangat penting untuk menjamin terciptanya keadilan kontraktual di era digital.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perikatan menurut Pasal 1233 KUHPerdata, ditimbulkan dari suatu perjanjian ataupun karena suatu undang-undang. Jual beli online merupakan hubungan hukum yang berupa perikatan yang ditimbulkan oleh perjanjian atau kesepakatan yang mana pihak pembeli menggunakan akun media sosialnya untuk dapat membuat kesepakatan secara online dengan pemilik akun penjual mengenai pembelian suatu barang atau hak yang dapat dimiliki. Wujud prestasi dari perikatan tersebut adalah untuk memberikan sesuatu. Prestasi tersebut dapat digambarkan sebagai kewajiban pembeli untuk menyerahkan sejumlah uang dengan nominal yang disepakati sebagai harga yang dijual oleh penjual, dan kewajiban dari penjual untuk memberikan barang yang disepakati dengan pembayaran yang dilakukan oleh pembeli. Hubungan hukum dalam perjanjian jual-beli akan terjadi ketika pembeli mengajukan penerimaan atas suatu penawaran yang dilakukan oleh penjual dengan melakukan kewajibannya yaitu pembayaran

Penerapan keabsahan perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata kepada konteks jual beli online, dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukannya sifat dasar dari kontrak elektronik pada jual beli online yang melanggar syarat sahnya perjanjian. Pemenuhan keempat syarat sahnya perjanjian dalam transaksi jual beli yang dilakukan secara online tetap dapat dilakukan sesuai undang-undang,

Saran

 Berdasarkan materi yang yang telah dibahas diats diharapkan bagi pembaca maupun pendengar agar bisa memahami lebih mendalam terkait Aspek Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Jual Beli Secara Online (E-COMMERCE).

DAFTAR PUSTAKA

Laksamana Varelino Zeustan Hartono, Paramita prananingtyas. (2023).”Hukum Perjanjian.” Aspek hukum perjanjian dalam transaksi jual beli secara online,16, (3)

Zuni Rusviana (2018.” Dinamika Hukum.” perjanjian jual beli melalui internet (e-commerce) ditinjaau dari aspek hukum perdata, 21, (2).

Lisa Caroline Dkk (2024). “Hukum Perjanjian.” Analisis hukum perjanjian jual beli melalui e-commerce berdasarkan kitab undang undang hukum perdata (kuhpe

rdata), 15, (4).


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama