MAKALAH
KONSEP KEWAJIBAN DALAM HUKUM PERIKATAN
Dosen Pengampuh:
Andi Miftahul Amri, SH.,MH.
Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Hukum Perdata
Disusun Oleh:
Kelompok 2
Muh. Alif 23690107031
Ervianti 23690107013
Andi Syahrani 23690107001
Sabda Ilahi 23690107011
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
2025
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hukum perikatan, yang merupakan salah satu bagian penting dari hukum perdata di Indonesia, diatur secara rinci dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Secara mendasar, perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak, yaitu debitur dan kreditur, dimana debitur diwajibkan untuk memenuhi suatu prestasi yang telah disepakati. Prestasi ini bisa berupa memberikan sesuatu, melakukan suatu tindakan, atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana diatur dalam Pasal 1234 KUHPerdata. Melalui perikatan, terbentuk hubungan hak dan kewajiban yang harus dijaga dengan itikad baik oleh kedua belah pihak. Perikatan menjadi landasan fundamental dalam berbagai jenis kontrak yang dijalankan dalam masyarakat, baik kontrak komersial maupun kontrak sipil.
Dalam doktrin hukum perdata, kewajiban yang lahir dari suatu perikatan dikelompokkan dalam beberapa kategori. Pertama, kewajiban utama (obligatio principale), yaitu kewajiban pokok yang harus dipenuhi oleh debitur sesuai dengan isi perikatan. Kewajiban ini bersifat substansial, karena merupakan inti dari suatu perjanjian. Kedua, terdapat kewajiban tambahan (obligatio accessoria), yaitu kewajiban-kewajiban yang muncul sebagai pelengkap atau penyerta dari kewajibanutama, biasanya ditetapkan melalui kesepakatan khusus antara pihak-pihak yang terlibat. Misalnya, dalam suatu kontrak jual beli, kewajiban utama debitur adalah menyerahkan barang yang dijual, sedangkan kewajiban tambahannya mungkin terkait dengan jaminan kualitas atau waktu pengiriman.
Selain kewajiban utama dan tambahan, hukum perikatan juga mengenal konsep kewajiban bersyarat dan kewajiban alternatif. Kewajiban bersyarat adalah kewajiban yang pelaksanaannya tergantung pada terpenuhinya suatu syarat tertentu, yang dapat bersifat suspensif (menunda pelaksanaan sampai syarat terpenuhi) atau resolutif (mengakhiri kewajiban ketika syarat terpenuhi). Sementara itu, kewajiban alternatif memberi pilihan bagi debitur untuk melaksanakan salah satu dari beberapa prestasi yang telah disepakati, sehingga memberikan fleksibilitas dalam pemenuhan kewajiban. Kewajiban tidak terbagi juga menjadi aspek penting dalam hukum perikatan, di mana kewajiban tersebut harus dipenuhi secara penuh oleh debitur kepada kreditur, tanpa adanya pembagian dalam pelaksanaannya. Misalnya, dalam kasus perikatan bersama-sama (solidaritas), setiap debitur berkewajiban secara utuh untuk melaksanakan keseluruhan prestasi kepada kreditur. Dalam praktik kontrak di Indonesia, teori-teori dasar tentang kewajiban dalam perikatan diterapkan untuk memastikan kejelasan dan kepastian hukum bagi para pihak yang terlibat. Kontrak menjadi instrumen hukum utama yang digunakan oleh para pihak untuk mengatur hubungan hukum mereka, dan hukum perikatan menyediakan kerangka yang memadai untuk menegakkan hak dan kewajiban dalam hubungan tersebut. Kontrak-kontrak bisnis sering kali memuat ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban utama dan tambahan, serta syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi. Misalnya, dalam kontrak konstruksi, kewajiban utama kontraktor adalah menyelesaikan proyek sesuai dengan spesifikasi, sementara kewajiban tambahannya mungkin mencakup garansi kualitas atau penyelesaian tepat waktu. Namun, dalam pelaksanaan kontrak, sering kali terjadi situasi di mana salah satu pihak gagal memenuhi kewajibannya sebagaimana yang telah disepakati. Fenomena ini dikenal sebagai wanprestasi, yaitu pelanggaran atau kelalaian dalam memenuhi kewajiban yang timbul dari suatu perikatan. KUHPerdata, khususnya Pasal 1243, mengatur bahwa apabila debitur lalai atau tidak dapat memenuhi kewajibannya, kreditur memiliki hak untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang
diderita. Bentuk-bentuk wanprestasi bisa bermacam-macam, mulai dari keterlambatan dalam pelaksanaan prestasi, pelaksanaan yang tidak sesuai dengan kesepakatan, hingga kegagalan total dalam memenuhi prestasi. Dampak wanprestasi dapat menimbulkan kerugian yang signifikan bagi pihak kreditur, baik
secara materiil maupun imateriil. Dalam beberapa kasus, kreditur dapat mengajukan tuntutan pembatalan kontrak, di samping menuntut ganti rugi. Pembatalan kontrak merupakan tindakan hukum yang mengakhiri hubungan perikatan antara para pihak akibat pelanggaran yang dilakukan ole debitur. Sanksi hukum lainnya yang dapat diterapkan terhadap pihak yang wanprestasi termasuk
denda atau bunga yang harus dibayarkan oleh debitur sebagai kompensasi atas keterlambatan atau pelanggaran lainnya. Dalam hal tertentu, apabila wanprestasi menyebabkan kerugian besar, kreditur juga dapat menuntut sanksi pidana atau tindakan hukum lainnya yang relevan. Untuk menyelesaikan sengketa akibat wanprestasi, mekanisme hukum yang dapat digunakan termasuk negosiasi, mediasi, arbitrase, atau litigasi. Putusan pengadilan memainkan peran penting dalam menyelesaikan sengketa perikatan di Indonesia, di mana hakim sering kali merujuk pada prinsip-prinsip umum hukum perikatan dan doktrin hukum yang berkembang. Misalnya, asas pacta sunt servanda, yang menekankan bahwa perjanjian harus dihormati dan ditaati oleh para pihak, sering kali menjadi landasan dalam memutus perkara perikatan. Makalah ini bertujuan untuk mengkaji lebih lanjut konsep-konsep kewajiban dalam hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata dan penerapannya dalam praktik kontrak di Indonesia. Penelitian ini juga akan membahas bentuk-bentuk wanprestasi yang sering terjadi serta mekanisme penyelesaiannya menurut hukum kontrak. Analisis dilakukan berdasarkan peraturan perundangundangan, literatur hukum, dan putusan pengadilan yang relevan, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan teori dan praktik hukum perikatan di Indonesia. Melalui pendekatan normatif, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pandangan yang komprehensif mengenai peran kewajiban dan penyelesaian sengketa dalam hubungan perikatan di Indonesia.
Rumusan Masalah
Bagaimana konsep kewajiban dalam hukum perikatan menurut kitab-kitab undang-undang hukum perdata?
Bagaimana teori-teori dasar tentang kewajiban dalam hukum perikatan apakah dapat di terapkan dalam kontrak praktik hukum kontrak di indonesia ?
Apa bentuk wanprestasi dalam hukum perikatan dan penyelesaian menurut hukum kontrak di indonesia?
Tujuan
Untuk mengetahui konsep kewajiban dalam hukum perikatan
Untuk mengetahui teori-teori dasar tentang kewajiban dalam hukum perikatan
Untuk mengetahui bentuk-bentuk wanprestasi dalam hukum perikatan serta penyelesaiannya menurut hukum kontrak diindonesia
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Kewajiban dalam Hukum Perikatan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).
Dalam hukum perikatan, konsep kewajiban merujuk pada suatu hubungan hukum yang mewajibkan satu pihak (debitor) untuk melakukan suatu prestasi, dan pihak lainnya (kreditor) berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi tersebut. Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menegaskan bahwa perikatan lahir dari persetujuan atau undang-undang. Artinya, kewajiban dalam perikatan bisa timbul dari kesepakatan antara kedua pihak atau ditetapkan oleh ketentuan hukum. Misalnya, dalam kontrak jual beli, debitor (penjual) wajib menyerahkan barang kepada kreditor (pembeli) sedangkan pembeli wajib membayar harga barang tersebut. Kewajiban dalam perikatan dibedakan menjadi tiga bentuk prestasi, yaitu: memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu. Sebagai contoh, kewajiban memberikan sesuatu dapat terlihat dalam perjanjian jual beli, di mana penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dijual. Sedangkan, kewajiban berbuat sesuatu misalnya dalam kontrak kerja, di mana pekerja berkewajiban melaksanakan tugasnya. Kewajiban tidak berbuat sesuatu dapat terlihat dalam perjanjian non-kompetisi, di mana pihak debitor berkewajiban untuk tidak menjalankan usaha yang bersaing dengan kreditor dalam jangka waktu tertentu. Apabila debitor gagal memenuhi kewajiban yang telah disepakati, hal tersebut dapat dikategorikan sebagai wanprestasi, yaitu kegagalan untuk melaksanakan kewajiban secara tepat waktu, tidak melaksanakan kewajiban sama sekali, atau melaksanakan kewajiban namun tidak sesuai dengan yang diperjanjikan. Dalam situasi ini, Pasal 1243 KUHPerdata memberikan hak kepada kreditor untuk menuntut pemenuhan prestasi atau ganti rugi jika prestasi tidak dilakukan dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban debitor dalam perikatan memiliki konsekuensi hukum yang dapat ditegakkan.
Selain itu, Pasal 1338 KUHPerdata menegaskan bahwa semua perjanjian yang sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Ini menandakan bahwa kewajiban dalam perikatan tidak hanya mencakup pelaksanaan kewajiban secara harfiah, tetapi juga mengandung kewajiban moral untuk melaksanakannya dengan kejujuran dan tanggung jawab. Pelanggaran kewajiban ini dapat memicu tuntutan hukum dari pihak kreditor, termasuk penegakan pelaksanaan kewajiban atau kompensasi atas kerugian yang diderita akibat wanprestasi.
Konsep kewajiban dalam perikatan juga bersifat timbal balik, yang artinya satu pihak memiliki hak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban pihak lainnya, sementara pihak tersebut juga memiliki kewajiban untuk memenuhi hak pihak lawannya. Hubungan timbal balik ini mencerminkan keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak dalam sebuah perikatan, yang menjadi salah satu prinsip dasar dalam hukum perikatan. Contohnya, dalam perjanjian sewa-menyewa, penyewa berkewajiban membayar uang sewa, sementara pemilik barang berkewajiban menyerahkan barang yang disewakan dalam kondisi yang layak untuk digunakan. Oleh karena itu, konsep kewajiban dalam hukum perikatan menurut KUHPerdata mencerminkan tanggung jawab hukum yang mengikat antara pihak debitor dan kreditor, yang harus dilaksanakan secara sah dan sesuai dengan prinsip itikad baik untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum di antara kedua belah piha
Teori-teori Dasar Tentang Kewajiban Dalam Hukum Perikatan Dapat Diterapkan Dalam Praktik Hukum Kontrak Di Indonesia.
Teori dasar tentang kewajiban dalam hukum perikatan memiliki peran penting dalam membentuk struktur dan prinsip-prinsip yang mengatur pelaksanaan kontrak di Indonesia. Hukum perikatan, sebagai bagian dari hukum perdata, mengatur hubungan hukum antara para pihak yang didasarkan pada asas kesepakatan, yaitu prinsip bahwa kontrak dibuat atas dasar persetujuan para pihak. Kewajiban dalam perikatan timbul dari adanya hubungan hukum tersebut dan memuat hak serta kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang terikat dalam kontrak. Salah satu teori utama dalam hukum perikatan adalah teori tentang pacta sunt servanda, yang mengharuskan bahwa setiap perjanjian yang sah harus dipatuhi oleh para pihak. Prinsip ini menjadi dasar bahwa para pihak dalam kontrak tidak hanya terikat pada isi kesepakatan, tetapi juga pada kewajiban untuk melaksanakan kontrak dengan itikad baik. Selain itu, teori kewajiban dalam perikatan juga mengacu pada asas undue hardship atau prinsip kesulitan berlebihan. Teori ini menyatakan bahwa ketika terjadi perubahan keadaan yang drastis dan tidak terduga, pihak yang terikat pada kewajiban kontrak dapat meminta perubahan pada kontrak atau bahkan pembebasan dari kewajiban tersebut. Dalam praktik di Indonesia, asas ini dikenal sebagai asas rebus sic stantibus, yang kadang-kadang diterapkan dalam kasus-kasus kontrak tertentu, khususnya ketika terjadi perubahan ekonomi yang drastis atau keadaan darurat yang tidak terduga, seperti krisis ekonomi atau bencana alam. Namun, penerapan asas ini seringkali membutuhkan interpretasi oleh hakim dan tidak selalu diterapkan secara konsisten karena karakteristik hukum kontrak di Indonesia yang lebih bersifat tertulis dan formal. Teori kewajiban lainnya adalah teori kewajiban absolute liability, di mana seseorang bertanggung jawab penuh terhadap pelaksanaan kewajiban dalam kontrak tanpa mempertimbangkan adanya kesalahan. Dalam hukum perikatan, hal ini tampak pada ketentuan yang mengatur tentang wanprestasi. Ketika salah satu pihak gagal memenuhi kewajiban yang diatur dalam kontrak, pihak lain memiliki hak untuk menuntut pemenuhan kewajiban, ganti rugi, atau bahkan pembatalan kontrak. Konsep ini tercermin dalam Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPer) yang mengatur ganti rugi akibat wanprestasi atau kelalaian. Namun, untuk mengajukan tuntutan ini, pihak yang dirugikan harus membuktikan adanya pelanggaran kontrak yang menyebabkan kerugian, sehingga praktik ini memerlukan pemahaman yang tepat mengenai bukti dan pembuktian dalam hukum perdata. Dalam praktik hukum kontrak di Indonesia, teori kewajiban dalam perikatan juga harus diselaraskan dengan doktrin-doktrin yang berkembang. Misalnya, doktrin performance interest menekankan kepentingan pihak yang berhak menerima manfaat dari kontrak agar pelaksanaan kewajiban dapat memberikan keuntungan yang diharapkan. Hakim dalam menyelesaikan sengketa sering kali mempertimbangkan doktrin ini untuk memastikan bahwa kewajiban dalam kontrak tidak hanya dipenuhi secara formal tetapi juga memberikan dampak yang diharapkan oleh pihak yang dirugikan. Hal ini menunjukkan bahwa kewajiban dalam kontrak bukan hanya berorientasi pada kepatuhan tekstual terhadap kontrak, melainkan juga pada pemenuhan substansi kontrak sesuai ekspektasi para pihak. Dalam konteks pelaksanaan kontrak di Indonesia, teori-teori dasar tentang kewajiban ini diterapkan untuk menyeimbangkan antara hak dan kewajiban para pihak serta memastikan bahwa pelaksanaan kontrak berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan itikad baik. Meskipun begitu, dalam beberapa kasus, teori-teori ini membutuhkan adaptasi dan interpretasi lebih lanjut, terutama mengingat kompleksitas kasus dan keragaman kebutuhan dalam praktik hukum yang terus berkembang. Peran hakim dalam menafsirkan dan menerapkan teori-teori ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum serta melindungi hak-hak pihak yang terlibat dalam kontrak. Melalui penerapan teori kewajiban dalam perikatan secara efektif, sistem hukum Indonesia diharapkan mampu memberikan solusi hukum yang adil dan sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum perdata.
Bentuk Wanprestasi dalam Perikatan dan Penyelesaiannya Menurut Hukum Kontrak di Indonesia.
Dalam hukum kontrak di Indonesia, wanprestasi merupakan pelanggaran terhadap perjanjian atau kewajiban yang telah disepakati dalam suatu perikatan. Wanprestasi dapat terjadi jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, melaksanakan kewajiban tidak sebagaimana mestinya, terlambat melaksanakan kewajiban, atau melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan. Berikut adalah bentuk-bentuk wanprestasi yang sering terjadi:
Bentuk-Bentuk Wanprestasi
1. Tidak Melaksanakan Prestasi Sama Sekali
Dalam hal ini, debitur (pihak yang memiliki kewajiban untuk memenuhi suatu prestasi) tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam kontrak. Misalnya, dalam perjanjian jual beli, penjual tidak menyerahkan barang yang sudah dibayar oleh pembeli. Wanprestasi semacam ini termasuk yang paling serius karena adanya ketidakpatuhan total terhadap ketentuan perjanjian.
2. Melaksanakan Prestasi Terlambat (Mora Debitoris)
Mora debitoris terjadi ketika debitur memenuhi kewajibannya tetapi melakukannya di luar waktu yang telah disepakati. Dalam hal ini, keterlambatan pelaksanaan tersebut dapat menimbulkan kerugian bagi pihak kreditur (pihak yang memiliki hak untuk menerima prestasi). Misalnya, dalam proyek konstruksi, apabila kontraktor tidak dapat menyelesaikan pembangunan sesuai jadwal yang ditentukan, hal ini dapat dikategorikan sebagai mora debitoris.
3. Melaksanakan Prestasi Tidak Sesuai dengan yang Diperjanjikan
Bentuk wanprestasi ini terjadi ketika debitur memenuhi kewajibannya, namun prestasi yang dilaksanakan tidak sesuai dengan syarat atau spesifikasi yang telah disepakati. Misalnya, dalam kontrak pengadaan barang, jika kualitas barang yang diserahkan tidak sesuai dengan spesifikasi yang dijanjikan, maka hal ini termasuk wanprestasi.
4. Melakukan Tindakan yang Dilarang dalam Perjanjian
Selain kewajiban untuk melakukan sesuatu, suatu kontrak dapat juga mencantumkan larangan bagi pihak tertentu untuk melakukan tindakan tertentu. Jika debitur melanggar larangan tersebut, maka hal ini dianggap sebagai wanprestasi. Misalnya, dalam perjanjian sewa-menyewa, jika penyewa menggunakan properti sewaan untuk kegiatan yang dilarang (seperti kegiatan ilegal), maka hal tersebut merupakan wanprestasi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Makalah ini menunjukkan bahwa hukum perikatan dalam KUHPerdata merupakan landasan fundamental dalam hubungan hukum antara debitur dan kreditur. Kewajiban yang lahir dari perikatan, baik kewajiban utama maupun tambahan, memberikan kerangka yang jelas untuk pelaksanaan kontrak di masyarakat. Meskipun demikian, fenomena wanprestasi sering kali menjadi tantangan yang mempengaruhi hubungan tersebut, dengan dampak yang signifikan bagi pihak kreditur. Mekanisme penyelesaian sengketa, seperti negosiasi, mediasi, dan litigasi, menjadi penting untuk menjaga kepastian hukum dan keadilan. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman mengenai konsep kewajiban dan penyelesaian sengketa dalam hukum perikatan di Indonesia, serta memberikan kontribusi pada pengembangan praktik hukum yang lebih baik. Metode penelitian hukum normatif yang digunakan memungkinkan penggalian mendalam terhadap sumber hukum tertulis, seperti KUHPer, yang menjadi landasan dalam memahami hak dan kewajiban pihak-pihak dalam kontrak.
Selain itu, analisis terhadap yurisprudensi memperlihatkan bagaimana peradilan menerapkan prinsip itikad baik dan kepatuhan terhadap kesepakatan dalam praktik. Temuan ini menegaskan pentingnya penafsiran hakim dalam menyelesaikan sengketa kontrak dan memberikan gambaran tentang pendekatan yang diambil dalam menegakkan keadilan di bidang hukum kontrak. Penelitian ini berkontribusi pada pemahaman yang lebih baik mengenai dinamika hukum perdata,
DAFTAR PUSTAKA
Asy'ari, H. 2020. Hukum Perikatan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar). 45.
Dewi, S. dan Haryanto, T., "Wanprestasi dan Penyelesaiannya Menurut Hukum Perikatan Indonesia,"Jurnal Hukum Bisnis 18, no. 3 (2023): 91-93.
Jurnal Hukum Bisnis (2021). "Wanprestasi dalam Kontrak Bisnis: Analisis Penyelesaian Sengketa".
Muchsin. 2010. Prinsip Itikad Baik dalam Hukum Perikatan Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Munir Fuady. 2013. Teori-Teori Besar dalam Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti.
Salim, H. S. (2013). Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Salim, H. S. (2013). Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika.
Subekti, R. (2008). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Sunaryo. 2015. Hukum Perikatan dan Penerapannya dalam Hukum Perdata Indonesia. Bandung:
Refika Aditama.
Yahya Harahap. (2007). Hukum Perjanjian. Jakarta: Sinar Grafika.
https://ojs.daarulhuda.or.id/index.php/MHI/article/downlo
ad/1034/1070