Negara merupakan gejala kehidupan umat manusia di sepanjang sejarah umat manusia. Konsep negara berkembang mulai dari bentuknya yang paling sederhana sampai ke yang paling kompleks di zaman sekarang. Sebagai bentuk organisasi kehidupan bersama dalam masyarakat, negara selalu menjadi pusat perhatian dan obyek kajian bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan umat manusia. Banyak cabang ilmu penge- tahuan yang menjadikan negara sebagai objek kajiannya. Misalnya, ilmu politik, ilmu negara, ilmu hukum kenegaraan, ilmu Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, dan ilmu Administrasi Pemerintahan (Public Administration), semuanya menjadikan negara sebagai pusat perhatiannya. Namun demikian, apa sebenarnya yang diartikan orang sebagai negara tentulah tidak mudah untuk di-definisikan. Meskipun diakui merupakan istilah yang sulit didefinisikan, O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan Pa-tricia Leopold mengartikan negara atau state sebagai:
“An independent political society occupying a defined territory, the members of which are united together for the purpose of resisting external force and the preser-vation of internal order “No independent political society can be termed as state unless it professes to exercise both these functions; but no modern state of any importance contents itself with this narrow range of activity. As civilisationm becomes more complex, population increases and social conscience arises, the needs of the governed call for incresed attention; taxes have to be livied to meet these needs; justice must be administered, commerce regulated, educational facilities and many other social services provided”.
Selanjutnya dikemukakan juga oleh ketiga sarjana Inggris tersebut:
“A fully developed modern state is expected to deal with a vast mass of social problems, either by direct activity or by supervision, or regulation. In order to carry out these functions, the state must have agents or organs through which to operate. The appointment or establishment of these agents or organs, the general nature of their functions and powers, their relations inter and between them and the private citizen, form a large part of the constitution of a state”.
< style="text-align: justify;">Secara sederhana, oleh para sarjana sering diuraikan adanya 4 (empat) unsur pokok dalam setiap negara, 4 yaitu (i) a definite territory, (ii) population, (iii) a Government, dan (iv) Sovereignity. Namun demikian, untuk menguraikan pengertian negara dalam tataran yang lebih filosofis, dapat pula merujuk kepada pendapat Hans Kelsen dalam bukunya “General Theory of Law and State”. yang menguraikan pandangannya tentang negara atau state a juristic entity dan state as a politi cally organized society atau state as power. Elemen negara menurut Kelsen mencakup: (i) The Territory of the State, seperti mengenai pembentukan dan pembubaran negara, serta mengenai pengakuan atas negara dan pemerintahan; (ii) Time Element of the State, yaitu waktu pembentukan negara yang bersangkutan; (iii) The People of the State, yaitu rakyat negara yang bersangkutan; (iv) The Competence of the State as the Material Sphere of Validity of the National Legal Order, misalnya yang berkaitan dengan pengakuan internasional; (v) Conflict of Laws, pertentangan antar tata hukum; (vi)The so-called Fundamental Rights and Duties of the States, soal jaminan hak dan kebebasan asasi manusia; dan (vii) The Power of the State, aspek-aspek mengenai kekuasaan negara.Negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia (human creation) tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan berma-syarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan dan mencapai tujuan bersama. Apabila perkumpulan orang bermasyarakat itu diorganisasikan untuk mencapai tujuan sebagai satu unit pemerintahan tertentu, maka perkumpulan itu dapat dikatakan diorganisasikan secara politik, dan disebut body politic atau negara (state) sebagai a society politi Sally organized.
Negara sebagai body politic itu oleh ilmu negara dan ilmu politik sama-sama dijadikan sebagai objek utama Pengakuan atas suatu negara meliputi persoalan recognition of a community as a state, pengakuan de facto atau de jure, pengakuan dengan kekuatan yang bersifat retroaktif, pengakuan melalui penerimaan oleh organisasi PBB, pengakuan terhadap pemerintahan dan pengakuan terhadap insurgents seba-gai a belligerent power. kajiannya. Sementara, ilmu Hukum Tata Negara mengkaji aspek hukum yang membentuk dan yang di-bentuk oleh organisasi negara itu. Ilmu politik melihat negara sebagai a political society dengan memusatkan perhatian pada 2 (dua) bidang kajian, yaitu teori politik (political theory) dan organisasi politik (political organi-zation). Ilmu Politik sebagai bagian dari ilmu sosial lebih memusatkan perhatian pada negara sebagai realitas politik. Seperti dikatakan oleh M.G. Clarke:
“... politics can only be understood through the bahaviour of its participants and that this behaviour is determined by ‘social forces’: social, economic, racial factions, etc”.
Ilmu politik hanya dapat dimengerti melalui perilaku para partisipannya yang ditentukan oleh kekuatan kekuatan sosial, ekonomi, kelompok-kelompok rasial, dan sebagainya. Lebih lanjut, Clarke menyatakan bahwa legalisme itu bersifat redundant dalam studi ilmu politik, tetapi bahwa the rules of the constitution dan, lebih penting lagi, struktur-struktur institutional pemerintahan negara, bukanlah hal yang relevan untuk dipersoalkan dalam ilmu politik. Struktur kelembagaan negara itu, menurut Clarke, tidak mempunyai pengaruh yang berarti perilakulah yang menjadi subjek utama dalam ilmu politik. Orang boleh menerima begitu saja pendapat Clarke ini dalam kerangka studi ilmu politik, tetapi di lingkungan negara-negara yang sedang berkembang, banyak studi ilmu sosial lainnya yang justru menunjuk-kan gejala yang sebaliknya, yaitu bahwa peranan institusi kenegaraan itu justru sangat signifikan pengaruhnya terhadap perilaku politik warga masyarakat. Bagi disiplin ilmu politik, pendapat Clarke itu tidak aneh. Bahkan, Robert Dahl dalam bukunya “Pre-face to Democratic Theory” (1956) juga menyatakan bahwa bagi para ilmuwan sosial yang lebih penting adalah social not constitutional. Ilmu politik lebih mengutakan dinamika yang terjadi dalam masyarakat daripada norma-norma yang tertuang dalam konstitusi negara. Hal itu tentunya sangat berbeda dari ke-cenderungan yang terdapat dalam ilmu hukum, khususnya ilmu hukum tata negara (constitutional law). Dalam studi ilmu hukum tata negara (the study of the constitution atau constitutional law), yang lebih di-utamakan justru adalah norma hukum konstitusi yang biasanya tertuang dalam naskah undang-undang dasar. Di situlah letak perbedaan mendasar antara ilmu Hukum Tata Negara dari ilmu politik.