MAKALAH
STRATEGI PENYELESAIAN SENGKETA, KOLABORASI ANTARA LITIGASI DAN NON-LITIGASI
Dosen Pengampuh:
Andi Miftahul Amri, SH.,MH.
Disusun Dan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Hukum Perdata
Disusun Oleh:
Kelompok X
Yusvia 23690107021
Susianti 23690107037
Ema Safitri 23690107008
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BONE
2025
BAB I
PENDAHULUAN
Latar BelakangHukum Masyarakat adalah sekumpulan individu yang hidup bersama dalam waktu relatif lama, dengan kesadaran akan adanya ikatan sebagai satu kesatuan yang terhubung dalam sebuah sistem kehidupan bersama. Di dalamnya, terdapat berbagai aturan yang bertujuan untuk mengatur perilaku para anggotanya.
Setiap masyarakat memiliki beragam kepentingan. Sebagian kepentingan ini mungkin saling mendukung, sementara yang lainnya bisa saling bertentangan. Ketika dua atau lebih kepentingan bertabrakan, terjadilah konflik yang dikenal dalam istilah hukum sebagai sengketa.
Sengketa ini bisa diselesaikan secara damai, tetapi terkadang konflik yang muncul menimbulkan ketegangan berkepanjangan, yang berpotensi merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, untuk menjaga agar kepentingan masing-masing pihak tidak melampaui batas norma yang ada, penting untuk menghindari tindakan main hakim sendiri. Jika salah satu pihak merasa haknya terlanggar, mereka memiliki pilihan untuk mencari penyelesaian sengketa sesuai dengan cara yang dianggap dapat menyelesaikan konflik tersebut.
Berdasarkan pemikiran di atas, masalah utama yang akan dibahas adalah alternatif penyelesaian sengketa apa saja yang dapat digunakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam menyelesaikan konflik mereka.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana Penyelesai Secara Litigasi dan Non-Litigasi
Apa Perbedaan dan Keunggulan Penyelesaian Secara Litigasi dan Non-Litigasi
TUJUAN
Untuk mengetahui bagaimana Penyelesaian Secara Litigasi dan Non-Litigasi
Untuk mengetahui Apa Perbedaan dan Keunggulan Penyelesaian Secara Litigasi dan Non-Litigasi
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penyelesaian Secara Litigasi dan Non-Litigasi
a. Proses Penyelesaian Secara Litigasi
Proses penyelesaian sengketa di pengadilan, yang sering dikenal dengan istilah "litigasi", merupakan metode penyelesaian konflik melalui jalur hukum dengan melibatkan hakim sebagai pihak yang berwenang untuk mengatur dan memutuskan perkara. Dalam proses ini, semua pihak yang terlibat harus saling berhadapan di hadapan hakim untuk membela hak-hak mereka. Akhir dari litigasi biasanya berupa putusan yang mencerminkan solusi win-lose.
Munir Fuadi menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa secara konvensional melalui badan pengadilan telah dilakukan selama ratusan, bahkan ribuan tahun. Di Indonesia, penerapan hukum Islam dalam penyelesaian sengketa sendiri telah dimulai sejak tahun 1855, sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Regering Reglement, serta teori Receptio in Complexu yang diajukan oleh LWC Van Der Berg. Teori ini menyatakan bahwa hukum Islam berlaku bagi seluruh umat Islam di Indonesia.
Dalam konteks penyelesaian perkara Ekonomi Syariah di lingkungan peradilan agama, prosesnya mengikuti ketentuan hukum acara perdata yang berlaku di peradilan umum. Dengan kata lain, jika upaya damai tidak membuahkan hasil, hakim akan melanjutkan pemeriksaan perkara di pengadilan sesuai dengan prosedur hukum acara perdata yang berlaku. Seperti umumnya proses penanganan perkara, hakim dituntut untuk mempelajari kasus secara mendalam guna memahami substansi serta semua aspek yang menyertai perkara tersebut..
Penyelasaian Secara Non-Litigasi
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) adalah upaya negosiasi atau kompromi untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan. Dalam proses ini, kehadiran pihak ketiga yang netral tidak dimaksudkan untuk memutuskan sengketa, melainkan para pihak yang terlibat sendiri yang akan menentukan keputusan akhir. Di Indonesia, penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan telah diatur dalam Undang-Undang Arbitrase. Beberapa alternatif yang dapat digunakan oleh pihak yang bersengketa mencakup: konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.
Untuk lebih memahami masing-masing alternatif, berikut penjelasannya:
a. Konsultasi
Menurut Rahmad Rosyadi, konsultasi adalah aktivitas perundingan antara klien dan penasihat hukumnya. Dalam konteks ini, konsultasi juga dianggap sebagai pertimbangan dari pihak-pihak terkait terhadap suatu masalah. Black's Law Dictionary menyatakan bahwa konsultasi merupakan tindakan personal antara klien dan konsultan. Di sini, konsultan memberikan pendapat untuk memenuhi kebutuhan klien. Tidak ada kewajiban bagi klien untuk mengikuti saran yang diberikan, sehingga mereka bebas untuk mengambil keputusan yang paling sesuai bagi kepentingan mereka. Meskipun konsultasi tidak menentukan hasil akhir, pendapat konsultan dapat menjadi pertimbangan yang berguna bagi klien. Kadangkala, konsultan juga diberi kesempatan untuk merumuskan solusi penyelesaian sengketa yang diinginkan oleh para pihak yang terlibat.
b. Negosiasi
Dalam buku "Business Law, Principles, Cases and Policy" yang ditulis oleh Mark E. Roszkowski, negosiasi dijelaskan sebagai proses di mana dua pihak dengan kepentingan yang berbeda berusaha mencapai kesepakatan melalui kompromi. Joni Emerson menekankan bahwa negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa tanpa melibatkan proses peradilan, dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama dalam semangat kerja sama yang harmonis dan kreatif. Dalam negosiasi, para pihak berinteraksi secara langsung, mendiskusikan masalah yang dihadapi secara terbuka dan kooperatif.
Agar dapat memiliki kekuatan mengikat, kesepakatan hasil negosiasi harus didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu 30 hari sejak perlunya pendaftaran, sesuai dengan Pasal 6 Ayat 7 dan 8 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternatif. Tahapan negosiasi menurut William Ury terdiri dari empat fase, yaitu:
Tahapan Persiapan
Persiapan sebagai Kunci Keberhasilan. Persiapan yang matang merupakan fondasi utama untuk meraih keberhasilan.
Mengenal Lawan. Sangat penting untuk mempelajari segala aspek dari pihak lawan. Lakukan penelitian secara mendalam agar kita bisa memahami karakter dan strategi mereka.
Berpikir Seperti Lawan. Usahakan untuk berpikir dari sudut pandang lawan, seolah-olah kepentingan mereka sama pentingnya dengan kepentingan kita. Ini akan membantu dalam merumuskan pendekatan yang lebih strategis.
Persiapkan Pertanyaan. Sebaiknya, siapkan daftar pertanyaan yang ingin diajukan sebelum pertemuan. Ajukan pertanyaan tersebut dengan bahasa yang jelas, dan hindari sikap yang bisa memojokkan atau menyerang lawan, agar diskusi tetap konstruktif.
Memahami Kepentingan. Penting untuk memahami tidak hanya kepentingan kita sendiri, tetapi juga kepentingan pihak lawan. Hal ini membantu dalam menemukan titik temu yang saling menguntungkan.
Identifikasi Masalah. Lakukan identifikasi masalah yang ada. Tanyakan pada diri sendiri apakah masalah tersebut merupakan tanggung jawab bersama yang perlu diselesaikan secara kolaboratif.
Menyiapkan Agenda. Siapkan agenda pertemuan yang jelas, dan pastikan segala logistik seperti ruang, alat, dan konsumsi juga tercukupi.
Membentuk Tim dan Strategi. Bentuk tim yang solid dan rencanakan strategi yang efektif agar semua tujuan dapat tercapai dengan baik.
Tahapan Orientasi dan Mengatur Posisi
Bertukar Informasi
Saling menjelaskan permasalahan dan kebutuhan
Mengajukan tawaran awal
Tahapan Pemberi Konsesi atau Tawar Menawa
Para pihak saling menyampaikan tawarannya, menjelaskan alasannya dan membujuk pihak lain untuk menerimanya.
Dapat menawarkan konsesi, tapi pastiakn kita memperoleh sesuatu sebagai imbalannya.
Mencoba memahami pemikiran pihak lawan.
Mengindentifikasi kebutuhan Bersama
Mengembangkan dan mendiskusikan opsi-opsi penyelesaian.
Tahapan Penutup
Mengevaluasi opsi-opsi berdasarkan kriteria objektif
Kesepakatan hanya menguntungkan bila tidak ada lagi opsi yang lebih baik, bila tidak berhasil mencapai kesepakatan, membatalakn komitmen atau menyatakan tidak ada komitmen
Mediasi
Mediasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir tujuh Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008, merupakan suatu metode penyelesaian sengketa yang dilakukan melalui proses perundingan untuk mencapai kesepakatan antara para pihak, dengan bantuan seorang mediator. Belakangan ini, mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa semakin memperoleh perhatian di Indonesia, dan hal ini dipicu oleh beberapa alasan, antara lain:
Faktor ekonomi sangat penting, di mana mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa memiliki potensi untuk menjadi sarana yang lebih ekonomis, baik dari segi biaya maupun waktu.
Dari segi ruang lingkup yang dibahasmediasi menawarkan kemampuan untuk menangani berbagai agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif, dan fleksibel.
Menurut Rajagukguk mengemukakan bahwa mediasi akan berhasil bila memiliki hal-hal sebagai berikut :
Para pihak ingin melanjutkan hubungan bisnis mereka
Para pihak mempunyai kepentingan yang sama untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cepat.
Litigasi dianggap oleh para pihak akan memakan waktu yang panjang, mahal dan akan menimbulkan pandangan buruk bagi kedua belah pihak karena adanya publikasi. Ditambah lagi belum tentu menang.
Walaupun para pihak dalam keadaan emosi, proses mediasi dianggap mereka sebagai tempat untuk bertemu dan menyampaikan kepentingan masingmasing.
Waktu adalah inti dari penyelesaian
Mediator yang baik akan mampu membuat kedua belah pihak berkomunikasi. Mediasi tidak akan berhasil bila salah satu pihak mengajukan gugatan atau klaim sembarang, dan pihak lainnya merasa ia akan menang melalui litigasi. Mediasi akan gagal bila salah satu menunda-nunda penyelesaian sengketa selama mungkin, salah satu pihak atau kedua belah pihak memang beritikad buruk.
Konsiliasi
Konsiliasi merupakan upaya untuk menjembatani keinginan pihak-pihak yang berselisih, sehingga dapat mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa dengan cara yang kekeluargaan. Menurut Munir Fuady, konsiliasi memiliki kemiripan dengan mediasi, karena keduanya adalah proses penyelesaian sengketa yang melibatkan negosiasi. Dalam hal ini, pihak ketiga yang netral dan tidak memihak akan berperan aktif membantu pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa untuk menemukan solusi yang tepat guna menyelesaikan masalah yang ada. Pada dasarnya konsiliasi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan mediasi, hanya saja konsiliator lebih aktif disbanding mediator di antaranya yaitu:
Konsialiasi adalah proses penyelesaian sengketa di luar pengadilan secara kooperatif.
Konsiliator adalah pihak ketiga yang netral yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan.
Konsiliator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
Konsiliator bersifat aktif dan mempunyai kewenangan mengusulkan pendapat dan merancang syarat-syarat kesepakatan di antara para pihak.
Konsiliator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan selama perundingan berlangsung.
Tujuan konsiliasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhir sengketa.
Proses konsiliasi akan berhasil dengan baik dan optimal apabila beberapa syarat terpenuhi sebagaimana yang berlaku dalam mediasi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Goospaster yaitu sebagai berikut:
Para pihak mempunyai kekuatan tawar-menawar yang sebanding
Para piahk menaruh perhatian terhadap hubungan di masa depan
Terdapat persoalan yang memungkinkan terjadinya pertukaran
Terdapat urgensi atau batas waktu untuk penyelesaian
Para pihak tidak memiliki permusuhan yang berlangsung lama dan mendalam
Apabila para pihak mempunyai pendukung atau pengikut, mereka tidak memiliki pengharapan yang banyak, tetapi dapat dikendalikan.
Mempertahankan suatu hak tidak lebih penting dibandingkan menyelesaikan persoalan yang mendesak.
Jika para pihak berada dala, proses litigasi, kepentingan-kepentingan pelaku lainnya seperti para pengacara dan penjamin tidak akan diperlakukan lebih baik dibandingkan mediasi.
Pendapat atau Penilaian Ahli
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1990 adalah pendapat (penilaian) ahli. Dalam rumusan pasal 52 Undang-Undang ini dinyatakan bahwa para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari Lembaga arbritase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian. Ketentuan ini pada dasarnya merupakan pelaksanaan dari tugas Lembaga arbitrase sebagaimana tersebut dalam pasal 1 ayat 8 undang-undang Nomor 30 tahun 1999 yang berbunyi Lembaga arbritase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Perbedaan dan keunggulan Penyelesaian Secara Litigasi dan Non-Litigasi
Perbedaan Litigasi dan Non-Litigasi
Litigasi
Litigasi merupakan proses persiapan dan presentasi dari berbagai kasus, yang mencakup penyediaan informasi secara menyeluruh serta kerja sama dalam mengidentifikasi permasalahan serta menghindari masalah yang tak terduga. Sementara itu, jalur litigasi merujuk pada penyelesaian konflik hukum melalui pengadilan.
Secara umum, tindakan gugatan dikenal sebagai litigasi. Gugatan adalah proses hukum yang diajukan di pengadilan, di mana penggugat—yang mengklaim telah mengalami kerugian akibat tindakan terdakwa—menuntut perlindungan hukum atau keadilan. Terdakwa diwajibkan untuk memberikan tanggapan terhadap keluhan yang disampaikan oleh penggugat. Jika penggugat berhasil, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan yang mendukungnya, termasuk kemungkinan penerbitan berbagai perintah untuk menegakkan hak, memberikan ganti rugi, atau menerapkan perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan tertentu. Individu yang lebih cenderung memilih jalur litigasi ketimbang mencari solusi di luar pengadilan biasanya dikenal dengan istilah 'sadar hokum..
Non-Litigasi
Jalur non-litigasi adalah cara untuk menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan, yang juga dikenal sebagai penyelesaian sengketa alternatif. Penyelesaian sengketa non-litigasi mencakup upaya negosiasi atau kompromi yang bertujuan untuk mencapai solusi yang saling menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat. Dalam proses ini, kehadiran pihak ketiga yang netral tidak bertujuan untuk memutuskan sengketa, melainkan memberi ruang bagi masing-masing pihak untuk mengambil keputusan akhir.
Pendekatan penyelesaian perkara di luar pengadilan ini diakui dalam peraturan No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman, yang menyatakan bahwa "penyelesaian perkara di luar pengadilan, atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase, diperbolehkan". Selain itu, dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, Pasal 1 angka 10 menjelaskan bahwa "Alternatif penyelesaian perkara (Alternative Dispute Resolution) adalah lembaga yang menangani penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, termasuk penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase..
2. Keunggulan Litigasi dan Non-Litigasi
a. Keunggulan Litigasi
Keuntungan dari penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi terletak pada keputusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang jelas dan bersifat final. Proses ini menciptakan kepastian hukum dengan posisi yang jelas bagi kedua belah pihak, yaitu menang atau kalah. Selain itu, putusan tersebut dapat dipaksakan pelaksanaannya jika pihak yang kalah enggan mematuhi isi keputusan pengadilan, melalui proses eksekusi.
Menurut Sudikno Mertokusumo, keputusan pengadilan memiliki tiga jenis kekuatan yang menjadi keistimewaan dalam penyelesaian sengketa secara litigasi. Pertama, kekuatan mengikat yang mewajibkan pihak-pihak untuk mematuhi keputusan tersebut. Kedua, kekuatan pembuktian yang memberikan dasar kuat terhadap fakta-fakta yang dipertimbangkan dalam putusan. Ketiga, kekuatan eksekutorial yang memungkinkan pelaksanaan putusan secara paksa jika diperlukan.
Adapun penjelasannya terkait dengan tiga macam kekuatan tersebut adalah : 1) Kekuatan Mengikat
Putusan hakim memiliki kekuatan mengikat, yang berarti bahwa keputusan yang diambil oleh hakim wajib ditaati oleh semua pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Para pihak berkewajiban untuk menghormati dan mematuhi putusan hakim. Ketika sebuah putusan hakim telah memperoleh kekuatan hukum tetap, keputusan tersebut tidak dapat diubah, bahkan oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali melalui upaya hukum yang luar biasa, seperti peninjauan kembali.
Keterikatan para pihak terhadap putusan hakim mencakup dua aspek, yaitu positif dan negatif. Secara positif, keputusan yang dibuat oleh hakim harus dianggap sebagai kebenaran (res judicata pro veritate habetur). Sedangkan secara negatif, hakim tidak diperbolehkan untuk mengadili perkara yang sudah pernah diputuskan sebelumnya antara pihak yang sama dan mengenai hal yang sama.
2) Kekuatan pembuktian
Putusan hakim memiliki kekuatan sebagai bukti, yang berarti bahwa keputusan tersebut memberikan kepastian mengenai hal-hal yang termuat di dalamnya. Penyusunan putusan hakim dalam bentuk tertulis sebagai akta otentik bertujuan agar putusan tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti oleh pihak-pihak yang memerlukan, baik untuk mengajukan banding, kasasi, peninjauan kembali, atau langkah hukum lainnya, serta untuk pelaksanaan dari keputusan tersebut.
3) Kekuatan Eksekutorial
Putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial, yang berarti bahwa keputusan tersebut tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan suatu masalah atau perkara serta menetapkan hak dan kewajiban, tetapi juga untuk memastikan bahwa pelaksanaannya dapat dilakukan secara paksa jika diperlukan. Ketentuan yang dihasilkan dari keputusan hakim akan dianggap tidak cukup dan tidak berarti jika tidak dapat direalisasikan atau dilaksanakan.
Oleh karena itu, karena putusan tersebut menetapkan dengan jelas hak dan kewajiban yang harus direalisasikan, putusan hakim memiliki kekuatan eksekutorial, yakni kemampuan untuk melaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam keputusan tersebut secara paksa melalui lembaga-lembaga negara.
b. Keunggulan Non-Litigasi
Waktu Singkat
Tidak ada pihak yang tahu (bersifat pribadi)
Kerjasama tetap terjadi
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Proses penyelesaian sengketa yang dilaksanakan melalui pengadilan atau yang sering disebut dengan istilah “litigasi”, yaitu suatu penyelesaian sengketa yang dilaksanakan dengan proses beracara di pengadilan di mana kewenangan untuk mengatur dan memutuskannya dilaksanakan oleh hakim. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non-litigasi) merupakan upaya tawarmenawar atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan. Kehadiran pihak ketiga yang netral bukan untuk memutuskan sengketa melainkan para pihak sendirilah yang mengambil keputusan akhir.
Litigasi adalah persiapan dan persentasi dari setiap kasus, termasuk juga memberikan informasi secara menyeluruh sebagaimana proses dan Kerjasama untuk mengidentifikasi permasalahan dan menghindari permasalahan yang tidak terduga. Sedangkan jalur litigasi adalah penyelesaian masalah hukum melalui jalur pengadilan. Sedangkan jalur non litigasi adalah menyelesaikan masalah hukum di luar pengadilan. Jalur non litigasi dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif. Penyelesaian sengkera di luar pengadilan (non-litigasi) merupakan upaya tawar menawar atau kompromi untuk memperoleh jalan keluar yang saling menguntungkan. Kelebihan penyelesaian sengketa secara litigasi adalah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang pasti, bersifat final, menciptakan kepastian hukum dengan posisi para pihak menang atau kalah (win and lose position), dan dapat dipaksakan pelaksanaan putusannya apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan (eksekusi). Sedangkan keunggulan secara non-litigasi yaitu Waktu Singkat, Tidak ada pihak yang tahu (bersifat pribadi) dan Kerjasama tetap terjadi.
DAFTAR PUSTAKA
Alasan Keberadaan BAMI, www.badanmediasi.com, diakses pada hari minggu tanggal 26 Februari 2023 pukul 13:42 WIB.
Amriani, Nurnaningsih. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada. 2012
Emerson, Joni. Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Negosiasi, Mediasi, Konsialisasi dan Arbitrasi. Jakarta: Gramedia Pustaka. 2001
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2002
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis, Menata Bisnis Modern di Era Global. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2005
Goodpaster, Gary. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa Dalam Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 Arbitrase Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. 1995
Hak, Nuril. Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah Mengapus Ekonomi Islam Bank Islam
Bunga Uang dan Bagi Hasil Wakaf Uang dan Sengketa Ekonomi Syariah. Yogyakarta: Teras. 2011
Hak, Nuril. Ekonomi Islam Hukum Bisnis Syariah Mengupas Ekonomi Islam, Bank Islam Bunga Uang dan Bagi Hasil, Wakaf Uang dan Sengketa Ekonomi Syariah.Yogyakarta. Teras. 2011
Hasan, Ahamdi. Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada Masyarakat Banjar. Banjarmasin. Antasari Press. 2009
Jamilah, Fitrotin. Strategi Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Medpress Digital. 2014
Ka’bah, Rif’al. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta. Universitas Yarsi. 1999
Manan, Abdul. Hukum Ekonomi Syariah Dalam Perspektif Kewenangan Peradilan Agama
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty. 1993
Mohamad Jusuf Husain Isa, dkk, Non Litigasi Efforts In Land Acquisition Dispute Resolution, Jurnal Multidisiplin Madani (MUDIMA), Vol.2 No 3, 2022, diakses pada hari Minggu Tanggal 26 Februari 2023 pukul 11:18 WIB.
Muhammad Marwan dan Jimmy, Kuasa Hukum. Surabaya: Reality Publisher. 2009
Rahmat Rosyadi dan Ngatino. Arbritase dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2002
Rajagukguk, Erman. Penyelesaian Sengketa Alternatif. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Suadi, Amran. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Teori & Praktik. Depok. Prenadamedia. 2017
Tags:
Hukum Perdata