Kedudukan Mahkamah Konstitusi sebagai Penjaga Konstitusi: Netral atau Tergiring Kepentingan?
Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan institusi konstitusional yang dibentuk setelah reformasi 1998 sebagai manifestasi keinginan bangsa untuk membangun negara hukum yang demokratis dan berkeadilan. Melalui amandemen UUD 1945, Indonesia secara tegas menempatkan MK sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution) sebagaimana tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945. Lembaga ini diharapkan menjadi benteng terakhir dalam menjaga supremasi konstitusi, melindungi hak-hak konstitusional warga negara, serta menegakkan prinsip negara hukum.
Namun seiring perjalanan waktu, independensi dan netralitas Mahkamah Konstitusi mulai dipertanyakan. Beberapa putusan kontroversial serta dugaan konflik kepentingan di kalangan hakim konstitusi memicu kritik keras dari publik dan akademisi. Lantas, masihkah MK dapat disebut netral sebagai penjaga konstitusi?
Fungsi Mahkamah Konstitusi: Dari Ideal ke Realitas
Dalam norma konstitusional, Mahkamah Konstitusi diberi empat kewenangan utama dan satu kewajiban. Kewenangan tersebut adalah:
-
Menguji undang-undang terhadap UUD 1945,
-
Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara,
-
Memutus pembubaran partai politik, dan
-
Memutus sengketa hasil pemilihan umum.
Sementara kewajiban MK adalah memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran hukum berat oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 24C ayat (2) UUD 1945).
Baca Juga :https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/mahkamah-konstitusi-penjaga-konstitusi.html
Dalam praktiknya, MK telah memberikan berbagai putusan penting yang berpengaruh besar terhadap kehidupan hukum dan demokrasi di Indonesia. Misalnya, putusan pembatalan pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE, revisi aturan ambang batas parlemen, dan judicial review UU Pemilu. Putusan-putusan tersebut kerap dipuji karena memperkuat perlindungan hak konstitusional warga negara.
Namun idealisme tersebut tidak selalu selaras dengan realitas. Berbagai putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa tahun terakhir justru menimbulkan pertanyaan serius mengenai netralitas dan integritasnya.
Kontroversi Putusan: Studi Kasus Batas Usia Capres-Cawapres
Puncak kontroversi Mahkamah Konstitusi terjadi pada Oktober 2023 ketika lembaga ini memutus bahwa calon presiden dan wakil presiden tidak harus berusia minimal 40 tahun asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah. Putusan ini secara langsung membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo yang juga putra Presiden Joko Widodo, untuk maju sebagai calon wakil presiden dalam Pemilu 2024.
Kritik keras datang dari berbagai kalangan. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Saldi Isra (yang juga Wakil Ketua MK), menyampaikan dissenting opinion dan menyatakan bahwa putusan tersebut merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang oleh MK. Bahkan, sejumlah pakar menyebut MK telah memasuki wilayah politik praktis, bukan sekadar menafsirkan konstitusi secara yuridis.
Lebih parah, ketua MK saat itu, Anwar Usman, yang juga merupakan paman dari Gibran, dinyatakan melanggar kode etik oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK). Ia akhirnya dicopot dari jabatan ketua meskipun tidak diberhentikan sebagai hakim. Kasus ini mencoreng kredibilitas MK secara nasional dan internasional.
Baca Juga: https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/eksistensi-dpd-ri-dalam-sistem.html
Referensi:
-
Majelis Kehormatan MK, Putusan No. 2/MKMK/L/10/2023
-
Kompas, “Gibran Bisa Nyapres karena Putusan MK, Saldi Isra Menolak Keras” (2023)
-
The Conversation, “Putusan MK soal Batas Usia Capres Jadi Simbol Krisis Etika Konstitusi” (2023)
Antara Pro dan Kontra Netralitas MK
Pihak yang pro terhadap MK menyatakan bahwa:
-
MK bersifat independen karena hakim diangkat dari tiga lembaga berbeda: Presiden, DPR, dan MA.
-
Putusan MK bersifat final dan mengikat, mencerminkan kedaulatan hukum.
-
Sejumlah putusan MK telah memperkuat hak-hak konstitusional masyarakat.
Namun kritik (kontra) menyoroti:
-
Konflik kepentingan karena hakim memiliki relasi kekuasaan atau afiliasi politik.
-
Tidak adanya mekanisme kontrol efektif terhadap hakim MK yang diduga menyimpang.
-
Proses seleksi hakim yang cenderung politis dan tidak transparan.
Menjaga Independensi: Agenda Reformasi Mahkamah Konstitusi
Agar MK tetap berada pada jalur konstitusional dan tidak menjadi alat kekuasaan, sejumlah langkah perlu segera dilakukan:
-
Reformasi seleksi hakim konstitusi. Proses seleksi harus transparan, akuntabel, dan berbasis meritokrasi. Tidak boleh didominasi kepentingan politik jangka pendek.
-
Penguatan mekanisme etik. Kode etik hakim konstitusi harus ditegakkan tanpa kompromi. Badan pengawas independen seperti Majelis Kehormatan MK harus diberi kekuatan penuh dan tidak bisa diintervensi.
-
Revisi sistem pengusulan. Wacana membentuk komisi seleksi independen lintas lembaga bisa dipertimbangkan, agar MK tidak lagi menjadi ‘ladang kepentingan politik’.
-
Peningkatan partisipasi publik. Rakyat harus diberi akses untuk memantau dan memberikan masukan terhadap setiap putusan MK, terutama yang menyangkut kepentingan publik luas.
Referensi:
-
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (2010)
-
Bivitri Susanti, “Netralitas MK dalam Pusaran Politik” – PSHK (2023)
Penutup: Benteng Konstitusi atau Alat Kekuasaan?
Mahkamah Konstitusi sejatinya adalah benteng terakhir bagi konstitusi, pelindung demokrasi, dan penjaga hak-hak warga negara. Namun, apabila ia terjerumus ke dalam arus kepentingan politik, maka ia tidak lagi menjadi penegak hukum, melainkan justru alat legitimasi kekuasaan.
Masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada kemurnian MK. Penguatan kelembagaan, penegakan etika, dan reformasi sistem seleksi adalah keniscayaan. Jika tidak, maka lembaga yang dibanggakan karena integritasnya bisa berubah menjadi lembaga yang kehilangan kepercayaan publik—sebuah risiko besar bagi negara hukum demokratis.
Baca Juga :https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/yurisprudensi-sebagai-sumber-hukum.html