Istilah fundamentalis bukan berasal dari terminologi Islam, tetapi berasal dari kata bahasa Inggris yaitu fundament. Sebuah terminologi yang lahir dalam konteks sejarah keagamaan di dunia kristen Amerika Serikat. Istilah fundamentalisme yang pada awalnya digunakan hanya untuk menyebut penganut Katolik yang menolak modernitas dan mempertahankan ajaran ortodoksi agamanya. Namun, saat ini istilah itu juga digunakan untuk penganut agama-agama lainnya yang memiliki kemiripan sehingga ada juga fundamentalisme Islam, Hindu, dan Budha. Sejalan dengan itu, penggunaan istilah fundamentalisme menimbulkan citra tertentu, misalnya ekstrimisme, fanatisme, atau bahkan terorisme dalam mewujudkan atau mempertahankan keyakinan keagamaan.
Fundamentalisme pada umumnya dianggap sebagai reaksi terhadap modernisme. Hal ini bermula dari anggapan bahwa moderisme merupakan sikap yang cenderung menafsirkan dogmatika agama secara elastis dan fleksibel untuk menyesuaikannya dengan kemajuan zaman dan tuntutan kemoderenan. Namun, justru pada akhirnya, membawa agama ke dalam posisi yang semakin terdesak ke pinggiran. Kaum fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya proses sekularisasi secara besar-besaran, dimana peranan agama akhirnya cenderung semakin terkesampingkan dan digantikan oleh peranan sains dan teknologi modern.5
Kecenderungan untuk menafsirkan dogmatika agama (scripture) secara rigit dan literalis seperti dilakukan oleh kaum fundamentalis Protestan itu, ternyata ditemukan juga di kalangan penganut agama lain. Oleh karena itu, para Islamisi
1-2
5Irwin M. Barrent, Fundamentalist: Hazard and Heartbreak, (Illinois : Open Court, 1990), h.
Barat kemudian menyebut gejala serupa di kalangan masyarakat Islam, sebagai fundamentalisme Islam, sebagaimana mereka menganggap gejala serupa pada agama- agama lain, sehingga muncul istilah kaum fundamentalis Sikh, Protestan, Katolik, Hindu dan sebagainya.
Menurut Mahmud Amin al-Alim, istilah fundamentalisme secara etimologi berasal dari kata “fundamen”, yang berarti dasar. Secara terminologi, berarti aliran pemikiran keagamaan yang cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis (tekstual). Adapun menurut M. Abid al-Jabiri, istilah “Islam Fundamentalis” pada awalnya dicetuskan sebagai signifier bagi gerakan Salafìyah Jamaludin al-Afghani karena bahasa Eropa tak punya istilah padanan yang tepat untuk menerjemahkan istilah “Salafiyah”. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafì. Profesor filsafat Universitas Cairo ini mengatakan bahwa “muslim fundamentalis” merupakan istilah untuk menunjuk gerakan kebangkitan Islam, revivalisme Islam, dan gerakan/kelompok Islam kontemporer, yang sering digunakan oleh peneliti Barat dan oleh banyak pemikir.6
Menurut Ali Syuaibi, fundamentalisme, yang dalam bahasa Arabnya disebut dengan istilah ushuliyah, artinya kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Dari pengertian ini, dapat dikatakan bahwa mayoritas umat Islam yang beriman bisa digolongkan sebagai fundamentalis (usuliyun). Mereka tidak mengamini kekerasan dan tidak mengimani terorisme karena keduanya bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah. Oleh sebab itu, ketika istilah fundamentalisme disematkan kepada gerakan Islam politik yang seringkali diwarnai dengan aksi kekerasan dan teror, maka tidak bisa secara mutlak dikatakan sebagai gerakan agama Islam, melainkan lebih dekat kepada gerakan politik biasa.7
Dari paparan di atas, terlihat bahwa istilah “Islam Fundamentalis” telah mengalami pemutlakan, pelebaran dan penyempitan makna. Istilah ini sempat
11
166-167
6Hassan Hanafi, Aku Bagian dari Fundamentalisme Islam, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h.
7Ali Syuaibi dan Gils Kibil, Meluruskan Radikalisme Islam, (Jakarta: Pustaka Azhari, 2004),
digunakan untuk merujuk pada fenomena Salafiyah al-Afghani. Istilah ini kemudian mengalami pelebaran, yaitu digunakan untuk semua gerakan revivalisme Islam. Lalu disempitkan untuk gerakan muslim radikal/ekstrim/literal/garis keras. Dari penyempitan makna inilah, yang kini sering dijadikan sebagai “relational meaning” bagi kata “Islam Fundamentalis”.
2. Latar Belakang Lahirnya Islam Fundamentalis
Pelacakan historis gerakan fundamentalis awal dalam Islam bermula pada usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya didorong oleh dua faktor, yang pertama: pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam, seperti gerakan Wahabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin Abd al-Wahhab di Saudi Arabia, Syah Waliyullah di India dan gerakan Sanusiyah di Afrika Utara yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi dari Aljazair. Dan yang kedua: Menimba gagasan-gagasan pembaruan dan ilmu pengetahuan dari Barat. Hal ini tercermin dalam pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki dan Mesir ke negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan dan dilanjutkan dengan gerakan penerjemahan karya-karya Barat ke dalam bahasa mereka. Pelajar-pelajar India juga banyak yang menuntut ilmu ke Inggris.
Gerakan pembaharuan itu, dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam memang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan poiltik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan-Islamisme (Persatuan umat Islam Sedunia) yang pada awalnya didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan Sanusiyah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaluddin al-Afghani. Al-Afghani-lah orang pertama yang menyadari sepenuhnya akan dominasi Barat dan bahayanya. Oleh karena itu, dia mengabdikan dirinya untuk memperingatkan dunia Islam akan hal tersebut dan melakukan usaha-usaha untuk pertahanan. Salah satunya adalah dengan menerapkan Islam secara fundamental. Al- Afgani juga berusaha membangkitkan semangat lokal dan nasional negeri-negeri Islam. Karena itu, al-Afghani dikenal sebagai Bapak Nasionalisme dalam Islam.
Paham Fundamentalis masuk ke negeri-negeri Islam seiring dengan gagasan nasionalisme yang berasal dari Barat, melalui persentuhan umat Islam dengan Barat yang menjajah mereka dan dipercepat oleh banyaknya pelajar Islam yang menuntut ilmu ke Eropa atau lembaga-lembaga pendidikan Barat yang didirikan di negeri mereka. Paham Fundamentalis ini pada mulanya banyak mendapat tantangan dan pemuka-pemuka Islam, namun akhirnya berkembang dengan cepat setelah gagasan Pan-Islamisme redup dan semakin kuatnya hegemoni Barat mencengkram negeri- negeri Islam.
Di Indonesia, gerakan fundamentalis lebih banyak dipengaruhi oleh instabilitas sosial politik dalam dan luar negeri. Sejak penjajahan Belanda sampai pada akhir masa pemerintahan Suharto, Indonesia mengalami krisis multidimensi yang parah. Demikan pula masalah Palestina dan penindasan terhadap negara-negara Islam yang lain, memberi andil yang besar terhadap perkembangan Islam fundamental di Indonesia. Era reformasi, kebebasan berpendapat dan berkelompok, merupakan momen emas bagi kaum fundamentalis untuk menyuarakan pendapatnya, menawarkan solusi mengatasi krisis multidimensi yang terjadi di Indonesia.8
3. Karakteristik Islam Fundamentalis
Karakteristik fundamentalisme yang dilekatkan pada Islam adalah skriptualisme, yaitu keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan dan dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu, dikembangkanlah gagasan dasar yang menyatakan bahwa agama tertentu dipegang secara kokoh dalam bentuk literal dan bulat tanpa kompromi, pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.
Fazlurrahman memberikan identifikasi gerakan Islam fundamentalis sebagai berikut:9
a. Bentuk keperihatinan yang mendalam atas kemerosotan moral dan sosial masyarakat muslim
h. 36-37
8Sudir Koadhi, “Dakwah dan Islam Fundamentalis”, Jurnal Tasamuh, Vol. 16, No. 10, 2018,
9Fazlurrahman, Islam: Challenges and Oportunities, (London: Edinburgh University Press,
1979), h. 23.
b. Menghimbau kepada kaum muslim untuk kembali kepada Islam yang orisinal, yang murni (salafiyah), dengan meninggalkan takhayul-takhayul.
c. Menghimbau untuk membuang beban yang menghancurkan berupa pandangan tentang takdir dari “agama rakyat”, dan teologi asy-ariyah yang berpengaruh di mana-mana.
d. Perlunya melakukan pembaruan yang dipelopori kaum fundamentalis melalui jihad sekalipun, kalau itu dianggap perlu.
Banyak kelompok Islam yang menolak disebut sebagai fundamentalis, meski beberapa karakteristik yang menjadi platform gerakannya diberikan label fundamentalis, sebagaimana dalam penjelasan berikut:10
a. Cenderung melakukan interpretasi literal terhadap teks-teks suci agama, dan menolak pemahaman kontekstual atas teks agama karena pemahaman seperti ini dianggap akan mereduksi kesucian agama.
b. Menolak pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan produk yang keliru dari pemahaman terhadap teks suci. Pemahaman dan sikap yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis, yang merupakan bentuk dari relativisme keagamaan.
c. Monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis cenderung menganggap dirinya sebagai penafsir yang paling absah atau paling benar sehingga memandang sesat kepada aliran yang tidak sepaham dengannya.
d. Setiap gerakan fundamentalis hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, eksklusifisme, intoleran, radikalisme, dan militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama dalam bentuk modernitas atau modernisme, sekularisasi atau tata nilai Barat pada umumnya.
10Abdurrahman Kasdi, “Fundamentalisme Islam Rimur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama”, Jurnal Tashwiurl Afkar, Vol. 4 No. 13, 2004, h. 21.
B. Kebebasan Berekspresi dalam Islam
1. Kebebasan Berekspresi
Kebebasan berekspresi adalah hak yang dibolehkan untuk warga negara. Dalam Islam kebebasan berekspresi sangat dihargai, sehingga seseorang yang berani menyatakan pendapatnya yang benar dihadapan seorang penguasa yang otoriter, tiran atau zalim dinilai sebagai suatu perjuangan yang paling mulia. Islam telah menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap individu dengan tujuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan syari’at. Namun kebebasan berpendapat itu tetap memiliki batasan- batasan. Untuk itu kebebasan berpendapat memiliki ukuran agar kebebasan berpendapat itu tidak menyebabkan kerusakan yang lebih banyak dari pada manfaatnya. Ukuran kebebasan berpendapat itu di antaranya adalah:
Pertama, tujuan menyerukan kebebasan berpendapat harus untuk merealisasikan kebaikan atau mencegah kerusakan dari tuduhan kesalahan yang melukai orang terhadap kejahatannya. Kedua, pendapatnya harus sesuai dengan akidah syari’at Islam, tidak keluar dari akidah syari’at Islam dengan alasan kebebasan berpikir.11 Ketiga, orang yang mengeluarkan pendapat dalam mengkritik tindakantindakan hakim harus bersandar kepada dalil-dalil yang qath’i (jelas) dan dalil tersebut bukanlah dari perkara-perkara ijtihad. Keempat, mengeluarkan pendapatnya dengan etika yang luhur. Tidak berbicara kotor, tidak mengumpat dan menghina, tidak menyesatkan pendapat orang, dan tidak menuduh secara asal. Karena kebebasan berpendapat seperti demikian telah berubah menjadi kebebasan berpendapat yang rusak atau buruk. Sebagaimana yang telah Allah jelaskan dalam surah an-Nahl (16) : 1
11Fadhilatul Husni, “Kebebasan Berekspresi dan Hak Konstitusional Warga Negara Perspektif Siyasah Dusturiyyah”, Jurnal Ijtihad, Vol. 36, No. 1, 2020, h. 78.
Terjemahnya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk 12
Kelima, tentang apa yang diungkapkan harus diyakini bahwa ungkapannya tersebut benar, dan harus jujur dalam setiap perkataan dan perbuatannya. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surat al-Isra’ (17) : 5
Terjemahnya: Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.13
Keenam, tentang apa yang diungkapkan harus diyakini kebenarannya, tidak boleh berdasarkan kabar angin. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surat al-Hujurat
Terjemahnya: Wahai orang-orang yang beriman! Jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.14
Ketujuh, pendapat yang dilontarkan tidak boleh menyebabkan kepada rusaknya kebaikan atau kepentingan bersama ataupun kerusakan terhadap orang lain,
12Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2007), h. 281.
13Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2007), h. 287.
14Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2007), h. 516.
baik secara individu atau kelompok. Kedelapan, tentang apa yang diucapkan harus dipertimbangkan antara kebaikan dan juga kerusakannya.
Berdasarkan ukuran-ukuran terkait kebebasan berpendapat dalam Islam yang telah disebutkan, apabila disandingkan dengan Pasal 27 sampai Pasal 29 UU ITE sesungguhnya tidak ada perbedaan yang signifikan. Seperti Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian. Dalam Islam sendiri disebutkan bahwa dalam mengeluarkan pendapat harus dengan etika yang luhur. Tidak boleh dengan cara berbicara kotor, mengumpat dan menghina, menyesatkan pendapat orang, dan menuduh secara asal. Pendapat yang dikeluarkan tersebut harus sesuai dengan akidah syari’at Islam. Pendapat yang dilontarkan tidak boleh menyebabkan kepada rusaknya kebaikan atau kepentingan bersama ataupun kerusakan terhadap orang lain baik secara individu atau kelompok. Dalam Islam dilarang mencemarkan nama baik seseorang dan menyebarkan informasi terkait ujaran kebencian. Apabila ingin menyampaikan sesuatu informasi harus yakin akan kebenaran informasi yang disampaikan, tidak boleh hanya berdasarkan kabar angin dan harus jujur dalam setiap informasi yang disampaikan.
Menyebarkan informasi dengan maksud untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu maupun kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan adalah sesuatu yang bertentangan dengan jaminan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan bertentangan pula dengan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral nilai- nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.15
2. Pembatasan berekspresi
Kebebasan berekspresi dapat dikatakan sebagai kebebasan yang mengandung nilai-nilai idiil atau intelektual yang dimiliki oleh setiap orang. Ahmad Syafi’I Ma’arif dengan mengutip perkataan Hasbi Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa Islam
15Fadhilatul Husni, “Kebebasan Berekspresi dan Hak Konstitusional Warga Negara Perspektif Siyasah Dusturiyyah”, h. 79.
memberikan hak untuk menyatakan pendapat secara bebas kepada setiap orang tanpa terkecuali. Kemerdekaan atau kebebasan ini berkaitan langsung dengan masalah kepentingan umum, seperti isu tentang akhlak, kemashlahatan dan undang-undang umum. Konsep al-Qur’an tentang amr ma’ruf wa nahy munkar adalah bukti bahwa Islam begitu dalam memperhatikan masalah kehidupan moral (akhlak) manusia dalam masyarakat. Pembatasan kemerdekaan menyatakan pendapat, menurut Ash- Shiddieqy, hanyalah dibolehkan untuk tujuan menjaga masyarakat dari suasana permusuhan yang disebabkan oleh kata-kata keji yang dilontarkan.
Mengemukakan pendapat (ekspresi) adalah masalah publik yang mudah dapat mengganggu hak-hak orang lain apabila tidak dikendalikan. Oleh karena itu kebebasan berekspresi tidak bersifat mutlak. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah memberi manusia kemampuan dan kebebasan mengemukakan pendapat dan ia juga mengarahkan manusia agar senantiasa tepat dan sopan dalam berbicara. Mashood A. Baderin dengan mengutip pendapat Kamali mengatakan bahwa pembatasan syari’at terhadap kebebasan mengemukakan pendapat dapat dikelompokkan kepada dua bagian, yaitu “pengekangan moral” dan “pengekangan hukum”. Pengekangan moral pada dasarnya ditujukan pada kesadaran orang beriman dan mencakup antara lain tindakan pencemaran nama baik, menggunjing, berbohong, mengumpat, mengungkapkan kelemahan orang lain, dan percekcokan yang sengit. Pengekangan hukum, yang sebagiannya dikenai sanksi tertentu, mencakup antara lain ucapan yang buruk atau menyakitkan hati di depan umum, tuduhan palsu, fitnah, penistaan, pengutukan, ucapan yang menghasut, dan penghujatan terhadap kesucian agama.
Kebebasan berekspresi termasuk hak asasi manusia yang derogable rights, diartikan sebagai hak-hak yang masih dapat ditangguhkan atau dibatasi (dikurangi) pemenuhannya oleh negara dalam kondisi tertentu atau dengan kata lain hak yang terdapat pembatasan. Pembatasan yang dilakukan pemerintah harus tetap menjamin bahkan memperkuat perlindungan hak asasi manusia. Dengan kata lain bahwa hak konstitusional warga negara dalam hal ini kebebasan berekspresi boleh saja dilakukan
pembatasan oleh negara agar tidak melanggar hak-hak orang lain. Karena pada dasarnya hak-hak sesorang itu dibatasi oleh hak-hak orang lain.16
3. Kebebasan Berekspresi dalam Pandangan Islam Fundamentalis
Kebebasan berekspresi adalah sebuah hak yang fundamental atau mendasar, pondasi (dasar) dari penegakan hak asasi manusia. Hak atas kebebasan berekspresi mencakup kebebasan untuk menyampaikan opini/pendapat, pandangan atau gagasan tanpa adanya intervensi/campur tangan, hak untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi, melalui media apapun tanpa memandang batas-batas wilayah. Kebebasan ini dilakukan baik secara lisan, tulisan/cetak, dalam bentuk seni/budaya, atau melalui media lain yang dipilihnya.17
Dalam Islam, kebebasan berpendapat adalah hak individu yang mengantarkanya kepada kepentingan dan nuraninya yang tidak boleh dikurangi negara atau ditinggalkan individu. Hal ini penting bagi kondisi pemikiran dan kemanusiaan setiap individu, agar seorang muslim dapat melakukan kewajiban- kewajiban Islamnya. Diantara kewajiban tersebut adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yang untuk merealisasikannya membutuhkan dan dituntut kecakapan mengutarakan pendapat secara bebas.
Kebebasan berpendapat ini harus dimanfaatkan untuk tujuan menyebarkan kebaikan, dan tidak untuk menyebarluaskan kejahatan dan kezaliman. Seseorang boleh mengemukakan pendapat secara bebas, asalkan tidak melanggar hukum mengenai penghujatan, fitnah, melawan kebenaran, menghina keyakinan orang lain atau dengan mengikuti kemauan sendiri. Dan dalam keadaan bagaimanapun juga Islam tidak akan mengizinkan kejahatan dan kekejian, dan juga tidak memberikan hak kepada siapa pun untuk menggunakan bahasa yang keji atau menghina atas nama
16Ifdhal Kasim, Hak Sipil dan Politik, Esai-Esai Pilihan, (Jakarta: ELSAM, 2001), h. 13.
17Mohamad Zaenal Arifin, “Penyelesaian Kasus Penodaan Agama dan Kebebasan Berekspresi dalam Perspektif Kitab Ushul Al-Fiqh Al-Islami Karya Wahbah Al-Zuhaili”, Jurnal Al- Fikrah, Vol. 2, No. 1, 2022, h. 62.
kritik.18 Oleh karena itu kebebasan berpendapat harus sesuai dengan prinsip kaidah umum hukum Islam, yakni mewajibkan setiap manusia supaya menegakkan dan melaksanakan yang benar, menghapus dan menghindari yang salah.
Kebebasan berpendapat dan berkelompok merupakan momen emas bagi kaum fundamentalis untuk menyuarakan pendapatnya, menawarkan solusi mengatasi krisis multidimensi yang terjadi. Pada saat Indonesia mengalami krisis multidimensi yang cukup akut, dari segi ekonomi, sosial, politik dan etika semuanya mengalami kemerosotan. Sehingga masyarakat resah dan kepercayaan kepada pemerintah dan sistemnya menghilang. Hal ini dirasakan pula oleh golongan muslim fundamentalis. Maka, setelah genderang reformasi ditabuh dan kebebasan berpendapat dan berkelompok terbuka lebar, mereka keluar dari persembunyian. Mendirikan kubu- kubu, lalu berteriak mengkampanyekan penerapan syariat sebagai solusi krisis.
Pergeseran arah orientasi gerakan kaum fundamentalis dari keagamaan ke politik sejatinya bukan karena birahi kekuasaan, melainkan sebagai sarana untuk menegakkan syariat Islam. Bagi kelompok fundamentalis, Islam adalah ajaran yang syumul dan kaffah yang mengandung elemen-elemen yang kompleks tentang kehidupan ini. Ajaran Islam harus terkejawantahkan dalam setiap gerak langkah umatnya. Namun ketika implementasi penegakan syariah terganggu bahkan terganjal karena persoalan politik, maka menerobos pintu-pintu politik adalah pilihan yang tidak dapat dihindari.
C. Kebebasan Beragama dalam Islam
1. Kebebasan Beragama
Hak kebebasan beragama merupakan hak yang esensi bagi manusia yang memungkinkan ia sanggup untuk menjawab dengan bebas panggilan kecintaan dari Tuhan dan untuk menjawab penciptanya. Hak untuk beriman secara bebas termasuk dalam kerangka kebebasan hati nurani perorangan. Kebutuhan untuk menjamin
18Abul A’la Maududi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam (Human Rights in Islam), terj.
Achmad Nashir Budiman, (Cet. 1; Bandung: Pustaka, 1985), h. 53.
kebebasan beragama harus diikuti dengan perlindungan hak-hak asasi manusia yang lain, yakni hak berkumpul; mencari, menerima, dan memberikan penerangan, dan mengajarkan agama atau kepercayaan. Kebebasan beragama juga mendorong penerapan kebebasan agama atau kepercayaan dalam ranah sosial, ekonomi, dan politik dalam lingkup nasional maupun internasional.19
Kebebasan beragama dipahami sebagai prinsip bahwa setiap individu bebas memilih dan mengimani agamanya serta mengamalkan sepenuhnya ajaran-ajaran agama yang diyakininya. Islam memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama masing-masing dan tidak diperbolehkan memaksakan keyakinannya kepada orang lain.20 Dengan demikian, maka tidak dibenarkan ada pihak-pihak lain untuk mengganggu-gugat hak yang paling dasar ini, baik berupa pengingkaran sepenuhnya atau hanya sekadar pereduksian. Setiap Muslim wajib menghormati dan menghargai hak asasi sesamanya, yang berupa jaminan atas hidup dan harta kekayaan, perlindungan kehormatan, kepribadian dan jaminan kehidupan pribadi, jaminan kebebasan pribadi, hak untuk menentang tirani, kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan berserikat, kebebasan mengeluarkan ucapan hati nurani dan keyakinan, perlindungan terhadap sentimen-sentimen keagamaan, perlindungan dari penghukuman yang sewenang-wenang, hak atas kebutuhan-kebutuhan hidup pokok, persamaan kedudukan di hadapan hukum, hak untuk menjauhi perbuatan dosa, dan hak ikut serta dalam urusan negara.21
Jadi yang dimaksud dengan kebebasan beragama dalam pandangan Islam adalah menciptakan suatu kondisi dalam masyarakat, yang dalam hal ini dapat menuntut tujuan-tujuan spiritual tertinggi dengan tidak dihalang-halangi oleh orang lain dan mengacu kepada agama yang bersumber pada wahyu yang datang dari Allah SWT, bukan berasal dari manusia, dan bukan pula berasal dari Nabi Muhammad
19Mukti Ali, Dialoog Antar Agama, (Jogjakarta: Yayasan Nida, 1970), h. 33-34.
20Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, (Cet.1; Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 95-96.
21Maulana Abul A’la Maududi, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Islam, (Cet. 2; Jakarta: Bumi Aksara, 2000), h. 22-40.
SAW. Posisi Nabi dalam agama Islam diakui sebagai yang ditugasi oleh Allah SWT untuk menyebarkan ajaran Islam tersebut kepada umat manusia. Dalam proses penyebaran agama Islam, nabi terlibat dalam memberi keterangan, penjelasan, uraian, dan contoh praktiknya. Namun keterlibatan ini masih dalam batas-batas yang dibolehkan Allah Swt.
2. Prinsip-prinsip Kebebasan Beragama dalam Islam
Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agama yang diyakini tanpa ada ancaman dan tekanan dalam bentuk apapun. Menurut ajaran Islam, setiap orang berhak memeluk agama sesuai dengan keyakinannya. Islam tidak pernah sedikitpun membenarkan pemaksaan terhadap seseorang untuk meninggalkan agamanya agar memeluk agama lain, apalagi untuk memeluk agama Islam. Sebagaimana Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah ayat 256
Terjemahnya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam): sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan allah Maha mendengar lagi maha mengetahui.2
Prinsip tentang kebebasan memeluk agama dalam Islam sangat ditekankan dan dijaga. Ayat tersebut menerangkan bahwa tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam. Mengenai sikap toleransi tersebut, dikatakan oleh al-Maududi merupakan prinsip yang ditanamkan oleh Islam kepada pemeluknya. Meskipun tidak ada kebenaran dan kebaikan yang lebih baik dari pada Islam, dan meskipun orang- orang Muslim ditugaskan untuk mengajak manusia memeluk Islam. namun mereka (kaum Muslim) tidak dibenarkan untuk menyebarkan iman melalui paksaan. Siapa pun yang memeluk Islam adalah melakukannya atas kesadaran dan pilihan nya
22Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2007), h. 42.
sendiri. Umat Islam harus menghormati keputusan orang-orang yang tidak menerima Islam dan tidak ada tekanan-tekanan moral, sosial, maupun politik yang dikenakan terhadap mereka untuk mengubah keyakinannya.23
Menurut Wafi, dalam Islam setidaknya ada 3 prinsip dalam kebebasan beragama. Pertama, kebebasan meyakini suatu agama dan larangan memaksa beragama. Artinya tak seorang pun dapat dipaksa untuk melepaskan agamanya dan memeluk Islam. Kedua, Islam memberi kebebasan untuk diskusi keagamaan. Artinya Islam mensahkan kebebasan individu untuk menyebarkan agama, dengan penjelasan dan alasan yang baik. Oleh karenanya al-Qur’an menuntut kaum muslimin untuk menggunakan kalimah yang lemah lembut dalam mengajak dan menyeru manusia ke dalam Islam. Ketiga, iman harus berasal dari kepastian dan keyakinan, bukan dari tradisi atau ikut-ikutan. Inilah sebabnya menurut sebagian ulama tauhid, imannya muqallid, tidak sah. Dan Allah akan menyiksa kaum musyrikin, yang hanya mengikuti dan meniru nenek moyangnya secara membabi buta, tanpa mengetahui dasar-dasarnya dengan mengorbankan kebebasan berpikir dan kepercayaan pribadi.24
Dalam konteks kebebasan beragama, terdapat perbedaan pendapat tentang seorang muslim yang berpindah ke agama lain (murtad). SA. Rahman mengatakan bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan hukuman murtad adalah kematian. Dan menurutnya, hadis yang menyatakan bahwa siapa saja yang berpindah agama akan dibunuh, ada beberapa kelemahan dalam isnadnya, yang merupakan hadis ahad. Di samping itu, sejarah juga membuktikan bahwa Nabi sendiri atau para sahabatnya tidak pernah memaksa seseorang untuk memeluk Islam, atau menghukum mati seseorang yang hanya karena berpindah keimanannya. Nabi selalu membiarkan orang-orang munafik yang kafir, setelah mereka beriman. Mereka tidak hanya menyembunyikan kekafirannya, tetapi seringkali mereka secara terang-terangan menghina Nabi, yang mengindikasikan kekafiran mereka. Namun demikian, mereka
23Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama, (Jakarta: Gema Insani, 2005), h. 43.
24Muh. In’amuzzahidin, “Konsep Kebebasan dalam Islam”, Jurnal at-Taqaddum, Vol. 7, No.
2, 2015, h. 267-268.
tetap dibiarkan Nabi, dan tidak diberi sanksi. Menurut as-Saidi, orang murtad yang boleh dibunuh adalah yang memerangi umat Islam. Pada saat itu, orang murtad dianggap memerangi umat Islam, karena umat Islam pada masa Nabi berada dalam keadaan perang. Dan orang-orang murtad tidak tinggal di rumah, tetapi ikut bergabung dengan musuh-musuh Islam, dan ikut menyerang. Sehingga perintah untuk membunuh orang murtad dikarenakan persekutuan mereka pada musuh-musuh Islam.25
3. Kebebasan Beragama dalam Pandangan Islam Fundamentalis
Islam fundamentalis meyakini bahwa Islam bukan hanya sekadar agama melainkan juga sistem politik yang diyakini dapat mengatur dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan di masyarakat. Oleh sebab itu hukum Syariat Islam bagi kalangan Islam fundamentalis perlu mendapatkan legitimasi hukum ke dalam sistem Undang-undang di Indonesia. Selain itu, di kalangan Islam fundamentalis terdapat pandangan yang menolak pluralisme agama bahkan dianggap haram oleh fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia), karena pluralisme menganggap semua ajaran agama sama.
Pernyataan tersebut, didasarkan bahwa adanya dalil keagamaan yang digunakan untuk mengharamkan pandangan pluralisme agama antara lain: perihal keyakinan, bahwa Islam adalah agama yang paling benar (QS. Ali-Imran ayat 19), agama selain Islam tidak akan diterima Tuhan di hari akhirat nanti (QS. Ali-Imran ayat 85).26 Jika dianggap demikian, maka Islam mempunyai keyakinan kuat bahwa Islam adalah agama yang mempunyai kebenaran tertinggi. Keyakinan terlampau tinggi itu membuat Islam fundamentalis menolak pluralisme agama. Padahal pluralisme agama adalah bagian dari karya ciptaan Tuhan. Ketika Islam fundamentalis menolak keberagaman agama yang ada di sekitarnya itu sama dengan menolak karya-Nya.
25As-Saidi, Abd al-Mutaal, Kebebasan Berpikir dalam Islam, (Hurriyyat al- Fikr Fî al-Islam), terj. Ibnu Burdah, (Cet. 1; Yogyakarta: Adi Wacana, 1999), h. 100-101.
26Zuhairi Misrawi, Al-Qur’an Kitab Tolerans Tafsir Tematik Rahmatan Lil ‘Alamin, (Pustaka Oasis, 2010), h. 182.
Berikut ini, merupakan ayat-ayat suci dalam Al-Quran yang menjadikan sebagai titik berangkat dari fundamentalisme dalam Islam:
a. Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, mereka orang yang ingkar, zalim, dan fasiq (QS. Al- Maidah ayat 44-47).
b. Seorang muslim tanpa menerima dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan melaksanakan hukum-hukum-Nya, maka ia bukanlah mukmin atau muslim secara utuh (QS. An-Nisa ayat 65).
c. Islam fundamentalis menolak pluralisme agama, dan memiliki klaim kebenaran yang melangit .
d. Islam fundamentalis sangat menaruh kebencian terhadap non-muslim oleh karena mereka adalah “musuh”. (QS. An-Nisa ayat 101).27
Kelompok Islam fundamentalis di Indonesia menginginkan hukum Islam menjadi dasar pijakan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Keinginan ini timbul karena Islam mengakui bahwa hukum Islam adalah hukum yang benar di hadapan Allah. Keyakinan yang tinggi yang diimani oleh umat Islam tertentu membuat mereka merasa bahwa dengan mengimplementasikan hukum Islam dapat mengatur seluruh kehidupan masyarakat Indonesia, mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini, dan hukum syariat Islam juga menyangkut dengan dunia akhirat. Tetapi sisi negatif dari pemberlakuan syariat Islam yang pertama adalah menolak pluralisme agama yang membuat orang di luar agamanya dipandang musuh padahal agama itu mengajarkan untuk saling mengasihi dan merangkul. Kedua, kelompok Islam fundamentalis ini hendak menyingkirkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia, dengan rasa kepercayaan diri yang tinggi menganggap bahwa Islam adalah agama, hukum, dan ideologi yang tertinggi dan benar. Konsep yang demikian ini dapat menyebabkan agama di luar Islam tidak mendapat tempat terhormat di negara Indonesia.
27Arthur Aritonang, “Pandangan Agama-agama terhadap Sila Pertama Pancasila”, Jurnal Teologi Kristen, Vol. 1, No. 1, 2021, h. 63-64.
Tags:
Politik Islam