Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Secara etimologis, kepemimpinan dalam Islam sering disebut sebagai khilafah, imamah atau imarah. Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu daya memimpin, kualitas seorang pemimpin, atau tindakan dalam memimpin. Secara terminologi, kepemimpinan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan.
Dalam terminologi Islam, perempuan disebut sebagai al-Mar‟ah, sedangkan bentuk jamaknya adalah an-Nisa yang sepadan dengan kata wanita, perempuan dewasa atau lawan jenis pria. Penjelasan mengenai perempuan dalam konteks Islam, kita perlu merujuk pada dua sumber utama hukum Islam yakni Al-Qur‟an dan Hadis .
Wacana tentang perempuan dalam Al-Qur‟an bisa kita temui dalam banyak ayat. Bahkan beberapa surat dalam Al-Qur‟an juga menggunakan nama perempuan, seperti QS. An-Nisa dan QS. Maryam. Di dalam Al-Qur‟an juga terdapat kisah seorang perempuan yang menjadi pemimpin dari sebuah kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis dari kerajaan Saba‟. Kisah tentang Ratu Balqis ada dalam dua surat dalam al- Qur‟an, yakni QS. An-Naml dan QS. Al-Anbiya. Ayat yang menceritakan tentang kepemimpinan perempuan terdapat dalam QS. An-Naml/27:23 yang berbunyi:
4Baharuddin dan Umiarso, Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), h. 80.
5Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Sygma Examedia Arkanleema, 2007), h. 87.]
Terjemahnya: Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.
Kerajaan Saba‟ digambarkan dalam Al-Qur‟an sebagai kerajaan yang makmur, rakyatnya sejahtera, dan memiliki angkatan perang yang kuat. Ketika Nabi Sulaiman mengirimkan surat kepada Ratu Balqis yang berisi ajakan untuk mengadakan hubungan diplomatik dan menyeru agar Ratu Balqis dan rakyatnya menyembah kepada Allah SWT, pada saat itu rakyat kerajaan Saba‟ masih menyembah matahari.6
Partisipasi perempuan dalam ruang publik sudah terjadi pada masa awal Islam, yakni ketika Nabi masih hidup. Terjadinya protes perempuan saat itu karena perempuan merasa tidak nyaman dengan kontruksi sosial yang dihadapinya. Aturan, pandangan, keyakinan, bahkan bahasa agama yang digunakan terkesan mensubordinasi mereka. Pada zaman Nabi, diantara kaum perempuan yang memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan adalah Ummu Salamah dalam peristiwa hijrah dalam wahyu Tuhan. Padahal banyak kaum wanita yang mau ikut hijrah. Perempuan yang memiliki peranan penting dalam mempengaruhi keputusan atau kebijakan publik masyarakat Islam, diantara mereka adalah Khadijah
6Nasaruddin Umar dan Amany Lubis, Hawa Sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi Gender dalam Kitab Tafsir dalam Ali Munhanif, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: Gramedia, 2002), h. 9-1
Fatimah, Aisyah, dan lain-lainnya. Mereka dipandang sebagai perempuan yang mempunyai kapasitas tertentu dan ideal. Pendapat dan pemikirannya sejajar dengan pendapat dan pemikiran kaum laki-laki. Mereka mempunyai kedudukan penting dalam masa awal perkembangan Islam. Banyak peran yang dimainkan kaum perempuan dalam merubah cara pandang yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat. Peran serta perempuan dalam sejarah Islam telah tercatat sejak awal agama Islam pertama kali muncul pada awal abad ke-7. Sebelum hadirnya ajaran Islam orang-orang pada zaman jhiliyah memiliki kebiasaan membunuh bayi perempuan yang baru dilahirkan dan tidak memberikan jatah warisan bagi anak atau cucu perempuan mereka.
B. Hak Perempuan Menjadi Pemimpin Publik
Selain itu, dalam sebuah negara, perempuan merupakan salah satu elemen penting sebuah negara yang termasuk dalam anggota masyarakat. Maka tidak heran jika kita sering mendengar sebuah ucapan “dibalik seorang laki-laki yang hebat, pasti ada seorang perempuan yang hebat dibelakanganya”, maka pemberdayaan terhadap politik perempuan merupakan sebuah solusi yang serius agar perempuan dapat memfungsikan dirinya dalam kehidupan politik berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dalam bidang yang mampu dilakukannya.7
Partisipasi perempuan dalam bidang politik di Indonesia secara umum memperlihatkan representasi yang rendah dalam tingkatan pengambilan keputusan, baik di tingkat supra struktural politik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan infrastruktural politik seperti partai politik dan kehidupan publik lainnya.
7Sa‟idah, Najmah dan Husnul Khatimah. Revisi Politik Perempuan, (Jakarta: Idea Pustaka Utama, 2003), hlm. 170-171.
Demikian pula keterwakilan perempuan dalam kehidupan politik dalam arti jumlah. Menjadi pertanyaan bagi kita apakah hal tersebut berkaitan dengan kualitas pihak perempuan dalam arti kurang mampu atau berkaitan akses atau bahkan aturan hukum yang dibuat dikondisikan perempuan dalam posisi termarginalkan. Apabila dicermati secara historis dan mendalam partisipasi perempuan di bidang politik selama ini hanya terkesan memainkan peran sekunder sekedar dianggap sebagai pemanis atau penggembira, dan ini jelas-jelas diindikasikan mencerminkan rendahnya pengetahuan mereka di bidang politik. Hal itu juga tidak terlepas dari kecenderungan masyarakat di Indonesia yang patriarkis, perempuan dianggap sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki.8
Konstitusi Indonesia juga mengatur hak asasi manusia dalam hukum dan pemerintahan memberikan porsi yang sama antara wanita dan pria tercermin dalam :
1. UUD 1945 dinyatakan:
a. Pasal 27 yang menyatakan: (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2)Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b. Pasal 28I (2) yang menyatakan: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
8Jati Nugroho, Perlindungan Hukum Perempuan Di Bidang Politik daam Melawan Ketidakadilan Gender, Jurnal Muwazah, Vo. 3, No.2, Desember, 2011, (Malang: Universitas Brawijaya Malang, 2011), h. 428.
a. Pasal 1 ayat (3), dinyatakan, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual mapun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.”
b. Pasal 49, dinyatakan ayat (1): Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik:
a. Pasal 2 ayat (5), Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaaimana dimaksud pada ayat 3 disusun dengan menyertakan paling rendah 30 % keterwakilan perempuan.
b. Pasal 20: “Kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat 2 dan 3 disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 % yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing”.
c. Pasal 31 ayat (1), Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender, dengan tujuan: (1) meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangs dan bernegara. (2) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan (3) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
4. UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, khususnya pasal-pasal berikut:
a. Pasal 8 ayat (1) dinyatakan Partai politik dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhipersyaratan: (1) Menyertakan sekurang- kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat. (2) “Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30 %. (tiga puluh perseratus).
b. Pasal 53, dinyatakan daftar calon sebagaimana dimaksud Pasal 52 memuat paling sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Dari penjelasan beberapa pasal di atas jelaslah dapat kita simpulkan bahwa dalam undang-undang persamaan hak untuk menjadi pemimpin baik perempuan maupun laki-laki telah tercover didalamnya, di era reformasi seperti sekarang ini kesempatan terbuka lebar bagi setiap warga negara untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Dengan adanya pembaharuan hukum, pemberdayaan perempuan dalam pembangunan dibidang politik
C. Pandangan Ulama Tentang Kepemimpinan Perempuan
Kontroversi ulama terkait kepemimpinan perempuan bermula dari pandangan persoalan asal kejadian perempuan, yang membawa kepada kontroversi pemikiran terkait kepemimpinan perempuan. Hal tersebut bisa dipahami dengan melihat potensi dan fitrah yang dimilik perempuan Dan hal itu dijadikan sebagai alasan bahwa seorang perempuan tidak bisa menjadi pemimpin. Al-Maraghi mengataakan bahwa Hawa diciptakan dari nafs wahidah yang artinya jenis yang satu atau jenis yang sama, sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dengan Hawa.9.
Menurut al-Shadiqiy, terkait kemungkinan kepemilikin keutaman oleh laki- laki yang tidak ada pada diri perempuan adalah dalam hal kekuatan fisik laki-laki dan kelemahan fisikal perempuan serta kemuliaan perempuan dalam hal iffah. Oleh karenya, laki-laki sebagaimana diutamakan dalam hal kecerdasan, keunggulan fisikal dan dalam keharusan memberikan nafkah keluarga, dibebani tugas untuk memelihara perempuan. Sebaliknya perempuan juga memiliki sesuatu yang tidak ada pada laki- laki,seperti dalam hal keperempuanan (unutsah). Menurutnya, penguatamaan laki- laki atas perempuan atau perempuan atas laki-laki, tidak lain hanyalah sebagai premis hikmah rabbaniyah seperti yang disebutkan dalam Q.S. An-Nahl: 71 dan dalam Q.S. Az-Zukhruf: 32.10
Hadis yang membahas tentang kepemimpinan perempuan dan dijadikan sandaran dalam hukum Islam seyogyanya ada di dalam beberapa Hadis,11 seperti Shahih Bukhari Nomor 4073:12
9Sulaiman Ibrahim, “Kepemimpinan Perempuan di Ruang Publik dalam Tafsir Al-Kasysāf”, Vol. 18, No. 2 Desember 2018, h. 462-463.
10Sulaiman Ibrahim, “Kepemimpinan Perempuan di Ruang Publik dalam Tafsir Al-Kasys- āf”, Vol. 18, No. 2 Desember 2018, h. 466.
11Yumima Rohmatullah, “Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Melacak Sejarah Feminisme melalui Pendekatan Hadis dan Hubungannya dengan Hukum Tata Negara”, Jurnal Syariah: Jurnal Ilmu Hukum dan Pemikiran, Vol. 17, No. 1, 2017, h. 92
(BUKHARI-4073) : Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Haitsam Telah menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Abu Bakrah dia berkata; Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku dengan suatu kalimat yang pernah aku dengar dari Rasulullah, -yaitu pada waktu perang Jamal tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang unta lalu aku ingin berperang bersama mereka.- Dia berkata; 'Tatkala sampai kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa penduduk Persia telah di pimpin oleh seorang anak perempuan putri raja Kisra, beliau bersabda: "Suatu kaum tidak akan beruntung, jika dipimpin oleh seorang wanita."
Dari Hadis di atas kalimat yang menjadi landasan untuk tidak menjadikan perempuan sebagai pemimpin ada pada kalimat; lan yuflih qaumun walau amrahum imraatan; tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada seorang wanita. Kalimat pada dua Hadis tersebut sering dijadikan justifikasi bagi kelompok yang menolak tentang kepemimpinan perempuan.Bahkan, tidak sedikit ulama yang menjadikan Hadis-Hadis di atassebagai bentuk pijakan hukum untuk melarang/menolak kepemimpinan perempuan.13
12Lidwa Pustaka i-software kitab 9 Imam (Bukhari-Kitab Peperangan), Bab Surat Nabi Shallallahu‟alaihi wa Sallam kepada Kisra dan Qaishar, No. Hadis 4073.
13Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Terj. As‟ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 96
Bagi Imam Malik, Imam Syafi‟I, dan Imam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana dikatakan al-Qardhawi, bahwa kedua Hadis di atas menjadi dasar jika perempuan tidak memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin, sehingga yang berhak menjadi pemimpin adalah laki-laki.14Pendapat ini pun ditegaskan oleh al-Baghawi, jika perempuan tidak sah menjadi pemimpin. Di sisi lain, al-Baghawi menegaskan, ketidak bolehan perempuan menjadi pemimpin disebabkan seorang pemimpin mesti keluar dan berjuang/berjihad demi kepentingan bangsa serta mesti mampu mengurusi segala urusan masyarakatnya dengan baik. Tidak mungkin hal semacam ini dapat dilakukan oleh perempuan, sementara posisi ia merupakan makhluk yang lemah.15
Tidak jarang pula hadis-hadis ini diperkuat dengan kondisi kodrati perempuan, bahwa ketidak bolehan perempuan menjadi pemimpin, selain lemah ada unsur-unsur lain yang pasti hadir pada diri perempuan, seperti menstruasi yang datang setiap bulan, hamil dan melahirkan serta menyusui dan merawat/mendidik anak-anaknya.Kondisi kodrati semacam ini menjadikan perempuan secara psikis dan emosional mudah terganggu.Sehingga menjadikan kondisi dirinya sering tidak stabil.Karena itu, sangat tidak mungkin jika perempuan bisa mengemban amanah untuk menjadi pemimpin.16
Menurut Musthafa al-Siba‟i, yang menjadi penyebab utama negara akan mengalami kehancuran bila dipimpin oleh perempuan disebabkan unsur perasaan yang lebih dominan ada pada diri perempuan daripada unsur pikiran.17Seorang pemimpin tidak boleh mengedepankan perasaannya dapat memimpin suatu negara, justru yang dibutuhkan adalah pikiran cemerlang. Urusan-urusan negara tidak akan teratasi dengan perasaan, tetapi hanya bisa teratasi melalui pikiran. Karena
14Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer,Terj. As‟ad Yasin,h. 96.
15Abi Muhammad bin Mas‟ud al-Baghawi, Syarhus-Sunnah, (Beirut: Darul Kitab „Amaliyah),
16Yusuf Qardhawi, Fiqih Negara, Terj. Syafril Halim, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 223.
17Musthafa al-Siba‟i, Wanita di antara Hukum Islam dan Perundang-undangan, Terj.
Chadidjah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 65.
kekurangan perempuan dalam bidang pikiran inilah yang menjadi penyebab dirinya terhalang untuk menjadi pemimpin.18
Nampaknya, berbagai pandangan yang muncul dari ulama menolak kepemimpinan perempuan membaca sisi tekstual semata, tetapi tidak melihat konteks ketika Hadits itu muncul (asbabul wurud).Meskipun demikian, pandangan semacam ini sah-sah saja, terlebih dari sisi kualitas perawi Hadis ini diriwayatkan oleh perawi terkenal di dalam ilmu Hadis, seperti Bukhari, an-Nasa‟i, Turmudzi dan Ahmad.Tetapi penting juga melihat sisi kontekstualitas Hadis tersebut.Karena, ulama yang menyetujui tentang kepemimpinan perempuan penelaahannya dilakukan secara kontekstual.
Pandangan yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin, disetujui oleh at-Thabari. Menurutnya, kebolehan perempuan menjadi pemimpin didasarkan pada kebolehan perempuan menjadi saksi atas pernikahan.19Pada konteks ini terdapat kesetaraan dalam persoalan saksi antara laki-laki dan perempuan.Karena itu kesetaraan ini pun berlaku pada persoalan kepemimpinan. Di sisi lain Hadits yang berkaitan dengan ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin patut dilihat dan dipahami dari konteksnya yang sifatnya adalah pemberitaan bukan bagian dari ketentuan hukum.
Pendapat yang senada dengan at-Thabari disampaikan pula oleh Mahmud Syaltut. Ia menjelaskan, bahwa tabiat kemanusian antara laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan. Allah SWT menganugerahkan kepada perempuan seperti yang dianugerahkan kepada laki-laki.
Dia menganugerahkan kepada mereka berdua potensi dan kemampuan untuk memikul tanggungjawab. Semua tanggung jawab itu kelak pasti akan dihitung oleh- Nya.20
18Al-Zamakhsyari, Tafsîr al-Kasysyâf, (Mesir: Isa al-Bab al-Halab wa Syirkah), h. 523.
19Ibnu Hajar al-„Asqalani, Fath al-Bāri: Syarh Shahih al-Bukhari, h. 123.
20Mahmud Syaltut, Min Taujîhât al-IslâmSyaltut, (Kairo: Al-Idârah al-Âmah li al-Azhar, 1959), h. 193.
Sedangan menurut Quraish Shihab, hadis di atas tidak bersifa umum. Hadis tersebut ditujukan kepada masyarakat Persia pada saat itu, bukan kepada semua masyarakat dan dalam semua hal. Oleh karenya, tidak ada larangan terkait boleh tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat atau terjun di dunia politik, sebab tidak ditemukan satu ketentuan agama yang bisa dijadikan sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam dunia publik dan politik.21
Perbedaan pendapat antara para ulama berkaitan boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin, sejatinya merupakan perihal yang wajar.Masing- masing di antara para ulama memiliki alasan tersendiri dalam memahami Hadis tersebut. Bagi yang menggunakan pendekatan tekstual kepemimpinan perempuan tidak dibolehkan, tetapi bagi yang menggunakan pendekatan kontekstual/sosio- historis hal semacam ini dibolehkan.Maka dari itu, boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin sangat tergantung dari pendekatan yang dilakukan dalam menelaah Hadis yang berkaitan dengan kepemimpinan perempuan.
Dalam memahami isu kodrati perempuan sering terjadi kerancuan, bahkan seakan menjadi permasalahan yang berkepanjangan, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan sendiri, kaum intelektual sampai kaum awam. Kodrat antar perempuan dijadikan alasan untuk mereduksi berbagai peran perempuan dalam keluarga maupun di masyarakat. Sedangkan kodrat itu dipandang sebagai pemberian dari Allah SWT. kepada hambanya. Akibat yang ditimbulkan dari pemikiran atau pemahaman terhadap makna kodrat perempuan, seperti asal kejadia perempuan, akal atau kemampuan dan agamnaya kurang, memposisikan perempuan pada titik yang rendah dan bahkan sangat lemah.22
21Sulaiman Ibrahim, “Kepemimpinan Perempuan di Ruang Publik dalam Tafsir Al-Kasysāf”, Vol. 18, No. 2 Desember 2018, h. 467.
22Sulaiman Ibrahim, “Kepemimpinan Perempuan di Ruang Publik dalam Tafsir Al-Kasys- āf”, Vol. 18, No. 2 Desember 2018, h. 467.
Sejarah juga telah mencatat bahwa seorang perempuan juga bisa menjadi pemimpin negara, antara lain:23
1. Razia Sultan (New Delhi)
2. Chajarat ad Nur (Kairoh)
3. Kutlug Turkan (Dinasti Mangol)
4. Sultan Tindu (Baghdad)
5. Sultan Fatimah (Asia Tenggara)
6. Indira Gandhi (India)
7. Marry Anderson (Presiden Republik Irlandia)
8. Megawati Soekarno Putri (Presiden Indonesia)
9. Susi Puji Astuti (Menteri Kalautan dan perikanan Indonesia)
10. Tri Rismaharini (Wali Kota Surabaya).
Selain dari kalangan ulama, ada juga beberapa tokoh mengatakan terkait kebolehan atau menyetujui bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin:24
1. Megawati Soekarno Putri
“siapa bilang perempuan tidak bisa menjadi seorang pemimpin, sejak dulu perempuan adalah pejuang. Sesuatu yang tidak masuk akal apabila di zaman sekarang wanita masih didiskriminasi. Terus terang saya tidak mau disebut makhluk kelas dua, Agama Islam mengajarkan kita untuk saling menghormati. Nabi Muhammad SAW. selalu menjadi garda terdepan dalam membela perempuan yang diperlakukan tidak adil. Saya tidak membela namun memang saya punyak hakuntuk itu. Saya inin supaya perlaakuan yang diskriminatif itu dihilangkan”
23Nurlita Fadhilah Isnaini, “Kepemimpinan Politik Perempuan Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dalam Perspektif Hukum Islam” (Skripsi, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2018), h. 46.
24Nurlita Fadhilah Isnaini, “Kepemimpinan Politik Perempuan Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dalam Perspektif Hukum Islam” (Skripsi, Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2018), h. 68-70.
2. Abdurahman Wahid atau Gusdur
Beliau mengatakan “bahwa syarat utama untuk calon presiden dan wakilnya bukanlah jenis kelamin, namun apabila dia bisa menciptakan keadilan, beriman kepada Allah SWT. selain itu ia juga mesti dipilih oleh raakyat”.
3. Prof. Dr. Nurcholis Madjid
Beliau mengatakan bahwa “hukum Agama Islam tidak dengan tegas mengatur boleh tidaknya menjadi kepala negara atau kepala pemerintahan. Beliau tidak mempermasalahkan apakah presiden atau wakil presiden nantinya perempuan, yang terpenting sosok itulah yang memiliki kemampuan”.”
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan mengenai hak perempuan menjadi pemimpin publik dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Partisipasi perempuan dalam ruang publik sudah terjadi pada masa awal Islam, yakni ketika Nabi masih hidup. Perempuan yang memiliki peranan penting dalam mempengaruhi keputusan atau kebijakan publik masyarakat Islam, diantara mereka adalah Khadijah, Fatimah, Aisyah, dan lain-lainnya. Mereka dipandang sebagai perempuan yang mempunyai kapasitas tertentu dan ideal. Ayat yang menceritakan tentang kepemimpinan perempuan terdapat dalam QS. An-Naml/27:23.
2. Konstitusi Indonesia juga mengatur hak asasi manusia dalam hukum dan pemerintahan memberikan porsi yang sama antara wanita dan pria tercermin dalam UUD 1945 Pasal 27 dan 28, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, serta UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.
3. Kepemimpinan politik perempuan dalam islam masih merupakan persoalan yang kontroversial. Perbedaan pendapat antara para ulama berkaitan boleh atau tidaknya perempuan menjadi pemimpin sejatinya merupakan perihal yang wajar.Masing-masing di antara para ulama memiliki alasan tersendiri dalam memahami Hadis tersebut.
Tags:
Politik Islam