A. Hakikat qath’i dan zanni
1. Pengertian Qath’i dan zanni Menurut Bahasa
Dari segi etimologi/bahasa kata qath’i berasal dari bahasa Arab, yaitu al-Qat’u, yang merupakan bentuk Masdar dari kata kerja yang terdiri dari tiga huruf “ Qof – Tho’ – ‘Ain” yang berarti memotong, tajam, menjadikan sesuatu dengan yang lainnya jelas Dalam kamus bahasa Arab al Munjid tertulis ق-ط -عdengan contoh القول في قطع berarti menyatakan dengan pasti. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kata tersebut dalam bahasa arab ق-ط -عdapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti: tajam, jelas, pasti, yaqin, tak syak lagi. Kemudian kata tersebut mendapat imbuhan ‘’Ya nisbah” sehingga terbentuk kata “ qath’iy / قطعى yang menunjuk pada kata sifat sehingga bermakna sesuatu yang jelas atau sesuatu yag pasti.
Sedangkan kata zanni berasal dari bahasa Arab yang akar katanya ظن-ظنا -ىظنyang berarti ragu atau sangkaan. Kata zanni kadang disinonimkan dengan kata nazar yang berarti relatif atau nisbi. Sedang menurut Ibnu Zakarya kata zanni adalah bentuk yang terdiri dari tiga hurufي - ن – ظyang menunjuk kepada dua makna yang berbeda, yaitu yakin dan ragu . Zanni juga berarti tidak kuat atau diragukan . Dengan bentuk masdar tersebut lalu mendapat imbuhan ya al-nisbah sehingga terbentuk kata zanniy yang bermakna sesuatu yang bersifat dugaan, perkiraan atau sesuatu yang tidak pasti. Melihat pengertian zanni di atas, maka dapat disimpulkan bahwa zanni adalah sesuatu yang bersifat dugaan, relatif, sangkaan dan tidak pasti.
2. Pengertian qath’i dan zanni menurut istilah
Adapun pengertian qath’i dan zanni menurut istilah adalah sebagai berikut :Menurut Abu al-Ainain Badran al-Ainain seorang guru besar ushul al-Fiqh di Mesir bahwa qath’i adalah sesuatu yang menunjuk kepada hukum tertentu dan tidak mengandung kemungkinan makna lain, sedangkan zanni adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain. Menurut Abdul Wahhab Khallaf, qath’i adalah yang menunjuk kepada makna tertentu yang harus dipahami darinya (teks) tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak ada tempat atau peluang untuk memahami makna selain makna tersebut darinya (teks tersbut). Sedangkan zanni, nas yang menunjukkan atas makna yang memungkinkan untuk dita’wilkan atau dipalingkan dari makna asalnya kepada makna yang lain. Dari kedua definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa qath’i adalah suatu petunjuk hukum atau nas yang pengertiannya dapat dipahami dengan jelas tanpa ada peluang untuk menginterpretasikan dengan yang lain, sedang zanni suatu pentunjuk hukum yang dapat menerima makna lain. Di bawah ini akan dikemukakan contoh masingmasing baik qath’i maupun zanni, yaitu :
1. Contoh qath’i :
Ayat tentang perintah mendirikan sholat.QS. al-Baqarah/2: 43:
وأقيموا الصلاة
Artinya: “laksanakanlah sholat” Ayat ini belum pasti menunjuk kewajiban sholat dan belum pasti juga yang di maksud dengan sholat adalah kegiatan yang dimulai dengan takir dan diakhiri dengan salam. Karena sholat menurut bahasa adalah doa. Namun melalui aneka argumentasi lain, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan perintah sholat disini adalah wajib, dan ia adalah sholat lima kali sehari. Argumentasi itu dikuatkan oleh sikap rasulullah dan sahabat-sahabat beliau yang tidak pernah meninggalkannya, walaupun dalam keadaan kritis atau perang.Beliau juga menegaskan bahwa “perbedaan antara muslim dan kafir adalah sholat”.Setelah adanya berbagai argumentasi yang menguatkan, barulah dinyatakan bahwa makna tersebut adalah qath’i.
2. Contoh zanni
QS. al-Maidah (5):38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوْٓا اَيْدِيَهُمَا جَزَاۤءًۢ بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Terjemahnya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.15 Kata tangan dalam ayat ini, mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kiri, di samping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan tangan saja atau sampai siku. Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadis Rasulullah saw.16Jadi kekuatan hukum kata quru’ pada ayat pertama dan kata tangan pada ayat kedua "Ulama Fiqh" sepakat bahwa itu bersifat zanni.
3. Pandangan Ulama tentang Qath’i dan Zanni dalam al-Qur’an
Pembahasan qath’i dan zanni di kalangan ulama masing-masing terdiri atas dua bagian, yaitu qath’i al-Wurud atau qath’i al-tsubut (kepastian kebenaran sumber), qath’i al-dalalah (kepastian kpasti) dari segi kehadirannya, ketetapannya, dan periwayatannya dari Rasulullah saw. kepada umatnya. Maksudnya dipastikan bahwa setiap nas al-Qur’an yang dibaca itu adalah hakikat nas al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah kepada rasul-Nya.Ayat al-Qur’an dari segi kepastian kebenaran sumber atau qath’i al-tsubut, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam. Semua umat Islam yang dalam hal ini ulama, baik mufassir, usuliyyun maupun para fuqaha meyakini bahwa redaksi ayat al- Qur’an yang dibaca dewasa ini serupa dan sama dengan ayat-ayat yang diterima oleh Nabi Muhammad dari Allah swt. melalui perantaraan Malaikat Jibril a.s. Kepastian dan kebenaran sumber ayat-ayat alQur’an, dengan sendirinya merupakan ma’lum min al-din bi al-darurah sesuatu yang sudah sangat jelas, aksiomatik dalam ajaran Islam.
Dengan demikian ayat-ayat al-Qur’an dari segi sumbernya dinyatakan sebagai qath’i al-wurud atau qath’i al-tsubut tidak lagi menjadi pembahasan.Adapun dari segi dalalahnya terhadap hukum, sebagiannya adalah qath’i dan sebagiannya adalah zanni.Dengan demikian dikatakan bahwa, al-Qur’an itu dari segi wurudnya adalah qath’i dan dari segi dalalahnya ada yang qath’i dan ada yang zanni. M. Quraish Shihab menulis pendapat Muhammad Arkoum dalam bukunya Membumikan al- Qur’an mengatakan: “Kitab suci al-Qur’an itu mengandung kemungkinan makna yang tak terbatas, ia menghadirkan berbagai pemikiran dan penjelasan pada tingkat dasariah, eksistensi yang absolut. Selalu terbuka, tak pernah tetap dan tertutup hanya satu penafsiran makna. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikemukakan Abdullah Darras: “Apabila anda membaca al-Qur’an, maknanya akan jelas di hadapan anda. Tetapi bila anda membaca sekali lagi, maka anda akan menemukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda dapat menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam. Semuanya benar atau mungkin benar (ayat-ayat Qur’an) bagaikan intan, setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut lain. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka dia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat. Begitupula dengan pemikiran Masdar F. Mas’udi yang mengatakan bahwa dengan hanya berpijak pada teks formal, konsep qath’i dan zanni hanya akan menghasilkan kekakuan dan tidak bisa menghadapi persoalan-persoalan dunia modern.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Qath’i al-dalalah suatu ayat atau hadis apabila telah didukung oleh beberapa dalil zanni yang beraneka ragam dan kesemuanya mengandung kemungkinan arti yang sama.
2. Penunjukan sejumlah dalil zanni tadi kemudian disepakati oleh ulama. Artinya ke-qath’i-an suatu ayat atau hadis tergantung pada kesepakatan ulama.
3. Tidak ada ayat atau hadis yang qath’i apabila ia berdiri sendiri.
Perlu ditambahkan bahwa suatu ayat atau hadis mutawatir dapat menjadi qath’i dan zanni pada saat yang sama. Firman Allah yang berbunyi : Wa imsahu bi ru’usikum adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam ber-wudhu. Tetapi ia zanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. Ke-qath’i-an dan ke-zanni-an tersebut disebabkan karena seluruh ulama ber-ijma’ (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam ber-wudhu berdasarkan berbagai argumentasi.Namun mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba pada lafaz bi ru’usikum. Dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’i di satu sisi, dan zanni di sisi yang lain. Di satu sisi ia menunjukkan makna yang pasti, dan di sisi lain ia memberi berbagai alternative makna.30
Sedangkan mengenai hadis nabi, ulama mengatakan bahwa dari segi keberadaannya ada yang bersifat qath’i al-wurūd atau al-tsubut dan ada yang bersifat zanni al-wurūd atau al-tsubut. Menurut Abdul Karim Zaidan dan Abdul Wahab al-Khallaf, hadis yang digolongkan kepada qath’i al- wurūd atau al-tsubūt adalah hadis-hadis mutawātir, sebab hadis-hadis yang demikian tidak diragukan kebenarannya bahwa ia pasti bersumber dari Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, hadis mutawātir dilihat dari segi penukilannya dilakukan oleh jumlah rawi yang banyak dan secara logika tidak mungkin jumlah rawi yang banyak itu melakukan kedustaan.
Sementara sunnah yang digolongkan kepada zanni al-wurūd atau al- tsubut adalah hadis-hadis masyhur dan ahad, sebab kedua hadis ini dari segi penukilannya dari Nabi tidak mencapai tingkat mutawtir.
B. Hakikat Ta’abbudi dan ta’aqquli
1. Definisi Ta’aqquli dan Ta’abbudi
Kehadiran Islam yang dibawa Baginda Nabi Muhammad Saw. adalah agama yang membawa keadilan, perdamaian dan kebaikan. Kehadirannya membawa nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban. Asas-asasnya mengandung nilai universal, sempurna, elastis dan dinamis, sistematis dan bersifat ta’abbudi dan ta’aqquli. Kesemua asas-asas ini menjadi pedoman bagi umat Islam dimanapun berada. Salah satu yang menarik dalam asas tersebut adalah konsep ta’abbudi dan ta’aqquli. Ta’abbudi yang diartikan sebagai “ghairu ma’qulatil ma’na” (harus diikuti seperti apa adanya/taken for granteed) adalah konsep yang didalamnya mengandung “ajaran Islam yang baku” yakni ajaran yang berkaitan dengan tauhid.
Sementara ta’aqquli yang diartikan sebagai “ma’qulatul ma’na” (dapat dipikirkan), adalah ajaran yang perlu dikembangkan oleh akal manusia dan dirumuskan sesuai dengan perkembangan masyarakat, kebutuhan hukum dan keadilan pada suatu masa, tempat dan lingkungan.104 Lebih jelasnya, konsep yang berkaitan dengan ta’aqquli adalah setiap hal yang berkaitan dengan bidang mu’amalah (ahkam al-mu’amalat), seperti masalah kemasyarakatan, politik, kebudayaan, dan semua yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Dengan demikian, dalam masalah ta’abbudi, manusia hanya menerima ketentuan hukum syariat apa adanya dan melaksanakannya sesuai dengan ketentuan tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa ketentuan naṣ yang bersifat ta’abbudi, adalah gair ma’qūl al-ma’nā, atau mutlak, tidak membutuhkan nalar dan tidak dapat ditawar-tawar. Tegasnya, bahwa dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi (gair ma’qūl al-ma’nā,), di mana manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan. Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia untuk mengubah kaifiyāt (tata cara) pelaksanaan ibadah maḥḍah, berbeda dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam salat dan haji misalnya. Demikian juga manusia tidak bisa mengubah waktu-waktu pelaksanaan ibadah maḥḍah baik salat lima waktu, puasa Ramadan, maupun haji ke waktu-waktu di luar yang telah disyariatkan.
Makna ta’abbudi dan ta’aqquli di atas berkaitan dengan asumsi, bahwa manusia diciptakan Tuhan sebagai hamba yang harus patuh kepadaNya. Untuk itu manusia harus melakukan perbuatan yang menunjukkan kepatuhannya kepada Tuhan. Kepatuhan manusia kepada tuhan dapat dibedakan dalam dua bentuk. Pertama, ibadat yang fungsi utamanya mendekatkan manusia kepada tuhan, yakni beriman kepada-Nya dan segala konsekuensinya berupa ibadat yang biasa disebut maḥḍah. Kedua, muamalah yang berlaku menurut tradisi kebiasaan (adat), yang merupakan tulang punggung bagi kemaslahatan hidup manusia, tanpa ini kehidupan manusia akan rusak binasa. Jika yang terakhir ini bersifat duniawi dan dapat dipahami oleh nalar manusia (al-ma’qūl al-ma’nā), maka yang pertama tadi bersifat ukhrawi dan merupakan kewenangan mutlak Tuhan (ḥaqq Allāh).
2. Objek Ta’abbudi dan Ta’aqquli
Hukum Islam dalam garis besarnya dapat dibagi dua, yaitu yang bisa dinalar akal (rasio) manusia dan yang tidak bisa dinalar akal (rasio) manusia. Dalam kaitan ini menurut hasil penelitian ulama, jumlah naṣ yang bisa dinalar akal manusia jauh lebih banyak dibanding naṣ yang tidak bisa dinalar rasio. Tegasnya, hukum Islam itu ada yang masuk dalam wilayah ta’abbudi dan ada sebagian lainnya masuk dalam wilayah ta’aqquli. Objek ta’abbudi dan ta’qquli menjadi kajian ulama usul fiqh. Dalam kaitan ini ulama usul fiqh telah konsensus, bahwa hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah ibadah maḥḍah (murni) dan hal-hal yang ḍarūriyyah termasuk dalam objek ta’abbudi. Umat Islam tidak dapat dan tidak boleh melakukan interpretasi terhadap nas dan hukum-hukum yang bersifat ta’abbudi, seperti jumlah rakaat salat lima waktu, puasa Ramadan, kewajiban zakat, dan haji. Semua ketentuan itu bersifat mutlak dan manusia hanya melaksanakannya saja sesuai dengan naṣ (al-Qur’an, hadis).
Demikian juga hukum-hukum ḍarūriyyah yang merupakan kebutuhan primer manusia untuk mempertahankan eksistensinya dan mengembangkan fungsinya sebagai khalifah Allah di bumi. Dalam hal ini, ada lima aspek ḍarūriyyah yang harus dipelihara umat manusia, yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Semua ketentuan naṣ dalam aspek ini bersifat ta’abbudi, tidak membutuhkan interpretasi akal manusia untuk memodifikasi atau mengubahnya. Di samping itu, beberapa aspek dalam hukum keluarga (al-aḥwāl alsyakhṣiyyah) juga ada yang termasuk dalam kategori ta’abbudi, di antaranya ketentuan batas talak yang dapat dirujuk oleh suami hanyalah dua kali (QS 2: 229), ketentuan tentang batas iddah atau masa tunggu seorang istri yang ditalak suaminya (QS 2: 228, dan 234; QS 65: 4), sanksi kaffarat terhadap pelaku ẓihār dan ila’ (QS 2: 226; 58: 2-4). Semua ini dijelaskan Allah secara gamblang dan teperinci. Sehingga ketentuan ini tidak membutuhkan ijtihad. Termasuk juga dalam objek ta’abuddi adalah hal-hal yang berkaitan dengan akhlak yang bersifat permanen, misalnya kewajiban anak berbakti kepada kedua orang tuanya. Kewajiban tersebut tidak dapat berubah walau salah satu atau kedua orang tuanya telah murtad sekalipun. Dalam kaitan ini, Allah menegaskan dalam QS al-Isra’> (17): 23.
Para sahabat juga berbeda pendapat tentang objek ta’abbudi. Pada masa Nabi saw. sebagian kecil sahabat seperti Bilal bin Abi Rabah (W. 20 H/641 M) menganggap semua perintah dan larangan Nabi saw., baik dalam masalah ibadah maupun muamalah duniawi adalah sunnah yang harus ditaati (ta’abbudi bi al-nuṣūṣ). Namun, sebagian besar sahabat memandang objek ta’abbudi hanyalah yang berkaitan dengan masalah ibadah maḥḍah. Mereka tidak terikat pada naṣ-naṣ yang berkaitan dengan muamalah duniawi. Karena itu, mereka menggunakan nalar dalam mencari cara pelaksanaan yang lebih cocok dengan kondisi mereka. Pertimbangan utamanya adalah kepentingan masyarakat dan nilai keadilan, dengan tokoh utama dalam hal ini adalah Umar bin Khattab (w.23 H/644M.
Tags:
Politik Islam