BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penafsiran
berasal dari kata Tafsir, merupakan bentuk mashdar dari kata kerja
Fassara-Yufassiru yang berarti
menjelaskan, memberi komentar, menerjemahkan atau menta’wilkan.[1]
Sedangkan penafsiran dalam kamus Bahasa Indonesia diartikan menerangkan maksud
ayat-ayat Al-Qur’an atau kitab suci lain, atau menerangkan kata,
kalimat, cerita, dan sebagainya.[2]
Mayoritas
ulama sepakat bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang
mengandung mu’jizat, bernilai ibadah dalam membacanya, di
sampaikan dengan jalan mutawatir, ditulis dalam mushaf-mushaf, diawali surat
Al-Fatihah dan diakhiri surat An-Nas.[3]
Kajian
mengenai teks Al-Qur’an menjadi agenda
yang tetap dinamis dan aktual karena
sifat Al-Qur’an yang
senantiasa salih likuli zaman
wa makan(sesuai dengan kondisi
waktu dan Tempat), [4]bila
diasumsikan bahwa kandungan Al-Qur’an
bersifat Universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran
kesejarahan meniscayakan dialog
dengan pengalaman manusia dalam kontek waktu. Dengan begitu
tafsir sebagai cara
untuk memahami dan
menerangkan Makna Al-Qur’an, juga tidak lepas dari realitas kehidupan
seperti Aspek sosial politik.[5]
Prinsip kemajemukan di satu sisi merupakan sunnatullah yang
memberikan manfaat bagi masing-masing unsur masyarakat. Namun, di sisi lain
dapat menimbulkan potensi konflik, pertentangan bahkan permusuhan, bilamana
masing-masing unsur masyarakat tersebut, lebih mengutamakan kepentingannya
sendiri, merasa paling benar, tidaktoleransi, tidak saling menghargai, dan
seterusnya. Dalam konteks bangsa Indonesia, timbulnya potensi konflik dengan
latarbelakang kemajemukan agama masih dijumpai, diantaranya bila dikaitkan
dengan masalah kepemimpinan. Sebagian kalangan menilai kepemimpinan atas
komunitas muslim sebaiknya dipegang oleh orang-orang Islam sendiri. Menguatkan
pandangannya, mereka menukil teks-teks agama sebagai landasan dalam
berargumentasi. Sementara sebagian kalangan lain menilai bahwa identitas agama
tidaklah patut dikaitkan dengan masalah kepemimpinan dalam masyarakat majemuk.
Bila dipaksakan justru dapat menjadi isu SARA yang pada akhirnya membawa pada
perpecahan sesama anak bangsa. Dalam hal kepemimpinan yang terpenting adalah
tercapainya tujuan adanya pemimpin yaitu terciptanya keamanan, ketertiban umum,
keadilan dan kemakmuran masyarakat, terlepas apapun identitas agama pemimpin
yang mampu mewujudkan tujuan-tujuan tersebut.[6]
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimna pengertian auliya dalam alquraan?
2.
Bagaimna penggunnaan istilah auliya dalam
alquraan?
3.
Bagaimana Makna Kata Awliyā’ Dalam
Konteks Kepemimpinan Non-Muslim?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahuii makna daripada kata
auliya dalam alquraan
2.
Umtuk memebrikan pamahaman terhdap
istilah auliya dalam alquraan
3.
Untuk memebrikan kontribusi dan
penggunaan kata auliya dalam kontek kepemimpinan non muslim
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
dan Ruang Lingkup Non Muslim
1.
Pengertian non muslim dalam alquraan
Yang dimaksud dengan non-Muslim adalah orang yang
tidak menganut agama Islam, mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk
kepercayaan dan variasi ritualnya. Di dalam masyarakat umum ada tiga kelompok
besar yang dikenal dengan sebutan non-Muslim, diantaranya yaitu: Murtad, Ahl
Kitāb, dan Kāfir.[7]
Murtad, secara literal berarti orang yang berbalik,
kembali, atau keluar. Dalam pandangan hukum Islam, murtad berarti keluar dari
Islam atau tidak mengakui kebenaran Islam, baik dengan berpindah agama lain,
atau menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).Murtad bisa terjadi dengan
mengerjakan sesuatu yang jelas keharamannya dan hukumnya telah diketahui namun
tetap dikerjakan dengan anggapan, perbuatan tersebut boleh dilakukan. Perbuatan
tersebut dilakukan secara sengaja.[8]
Baik untuk maksud mempermudah atau menghina Islam atau karena keras kepala.
Misalnya, sujud menyembah matahari atau menginjak Alquran. Tetapi kalau perbuatan
itu dilakukan bukan karena menolak nas yang melarangnya atau disebabkan
penalaran yang keliru terhadap nas, ulama menilai orang tersebut tidak menjadi
murtad, juga orang yang dipaksa untuk murtad tidak tergolong orang yang murtad.
Sebagai contoh kasus Ammar bin Yasir dan kedua orang tuanya, yaitu Sumayyah dan
Yasir. Mereka dipaksa orang musyik untuk murtad. Ibu bapaknya menolak, sehingga
keduanya dibunuh dan tercatat sebagai orang Islam yang mati syahid pertama
dalam sejarah Islam. Sedangkan Ammar mengucapkan kufur sehingga dibebaskan.
Beliau kemudian datang dan menangis di hadapan Rasulullah saw. Kemudian
Rasulullah SAW, menghapus air matanya sambil bertanya, “bagaimana sikap hatimu”
Ammar menjawab, “Hatiku tenang dalam keimanan.” Maka Rasul menasihati, “kalau
mereka memaksamu kembali, maka ucapkan saja lagi apa yang telah kamu ucapkan
itu”[9]
2.
Trem Auliya’ (اولياء)
Mufrod Kata auliya’ adalah wali (وليٌ ( berasal dari akar kata ٗولي
(waw, lam, dan ya’) yang berarti dekat. Bentuk jama’ dari waliy (ولي ) adalah auliya’
(اولياء). Dari akar kata inilah kata-kata seperti يلئ ولئ (walā yalī) yang berarti dekat
dengan, mengikuti, ولَئ (walla)
memiliki arti menguasai, menolong, mencintai, أولئ (aulā) memiliki arti yang menguasakan,
mempercayakan, berbuat, ولَى (walan)
berarti menolong, membantu, bersahabat, تولّى(tawalla)
berarti menetapi, mengurus, menguasai,اِستولىءليها (istaula ‘alaih)
berarti memiliki, menguasai الأولى )al-aulā)
berarti yang paling berhak dan paling layak, ولأء (wallā’an)
memiliki arti berpaling dari, meninggalkan, dan أولى(aulaa)
berarti menunjukkan ancaman dan ultimatum, seperti pada لك أولى(aula
lak) berarti kecelakaan bagimu atau kecelakaan akan mendekatimu maka
berhati-hatilah. Semua kata turunan dari ولىmenunjukkan makna kedekatan kecuali
bila diiringi kata depan ءنara tersurat dan tersirat seperti walla’an
dan tawalla’an maka makna yang ditunjukkan adalah menjauhi atau
berpaling. Bentuk masdar dari ولىadalah ولآية , kata ini bisa dibaca dengan dua versi yaitu
dibaca kasrah huruf wawu dan dibaca fathah huruf wawu. Menurut
Imam Syibawaih, walāyah adalah bentuk mashdar dan wilāyah adalah
nama untuk sebuah pemerintahan kepemimpinan kemudian isim fa‟il nya auliya‟
adalah waliya yang memiliki arti penguasa.
Hal ini pula memiliki kesamaan dalam kamus english-arabic
dictionary, yang memaknai auliya’ dalam beberapa sebutan yaitu allies,
protectors, friends dan patron. Allies dimaknai sekutu, yaitu
perkumpulan sekelompok orang yang terancam yang dibentuk dengan sebuah
perjanjian. Adapun friends dimaknai dengan temen dekat. Sedangkan patron
di maknai pelindung dan penyokong, begitupun protectors dimaknai
pelindung juga namun dalam artian menjaga seseorang.
B.
Penggunaan
Istilah-Istilah Auliya’ dalam Al-Qur’an
AlQur’an secara komperehensif
sehingga banyak menimbulkan
penafsiran yang tidak sesuai
dengan kaidah tafsir,
baik penafsiran surat,
ayat, maupun kata -kata dalam Al-Qur’an. diantara
perkara-perkara tersebut ialah kata
“auliya” dalam Al Qur’an yang begitu Banyak di bahas oleh ahli pakar-pakar
tafsir untuk kecocokan tafsirnya yang berkenaan
dengan surat Al-Maidah
ayat 51 itu.
Masalah inilah yang membuat
peneliti, ingin meneliti
lebih dalam dari
beraga mnya makna Auliya’ dalam
Al-Qur’an.Bedasarkan hasil pra penelitian,
Kata Auliya’ dalam Al-Qur’an
berjumlah 42 Kali, Yaitu: Ali Imrān (3):
28, 175; Al-Nisā’ (4): 76, 89, 139, 144; Al-Māidah (5): 51
(2x), 57, 81;
Al-A’rāf (7): 3,
27, 30; Al-Anfāl
(8): 34(2x), 72,
73; AlTaubah (9): 23, 71; Yūnus
(10): 62; Hūd (11): 20, 113; Al-Ra’d
(13): 16; Al-Isrā’ (17): 97; Al-Kahfi
(18): 50, 102;
Al-Furqān (25): 18;
Al-Ankabūt (29): 41; AlZumar
(39): 3; Al-Syūra (42): 6, 9, 46; Al-Jātsiyah (45): 10, 19; Al-Ahqāf (46): 32; Al-Mumtahanah (60): 1;
Al-Jumu’ah (62): 6; Fushshilat (41): 31; Al -
Baqarah (2): 257; Al-An’ām (6): 121, 128; Al-Ahzab (33): 6.
Sebenarnya Terdapat banyak
makna Auliya‟ dalam
Al-Qur‟an, karena kata Auliya‟
dalam Al-Qur‟an Terulang sebanyak 42 dari 40 ayat.9 Makna-makna auliya‟ tersebut
di artikan sesuai
topik-topik ayatnya, berikut
ini penelilti paparkan beberapa
stilah auliya‟ dalam Al -Qur‟an, yaitu:
Makna auliya‟ yang
mengandung aspek politik,
yaitu dilarangnya menjadikan
orang-orang kafir sebagai teman dengan meninggalkan orangorang mukmin, seperti
pada QS. An-Nisa‟ Ayat 139 di bawah ini:
Menurut Sayyid Qutbh yang
dimaksud orang-orang kafir
disini menurut riwayat yang kuat
adalah kaum yahudi, dimana orang munafik berlidung kepada mereka sekaligus
bersama-sama mengatur siasat
untuk menipu kaum
muslimin. dalam akhir ayat 139 dari surat An-Nisa Allah SWT bertanya
dengan nada ingkar, dan Allah SWT langsung menjawab dari pertanyaan itu.
Demikianlah sentuhan inimembuka karakter dan ciri utama orang-orang munafik
yang sertia kepada orang kafir untuk mencari
kekuatan bukan kepada
kaum muslimin. Allah
SWT menetapkan bahwa kekuatan itu hanya ada padanya.[10]
Menurut Sayyid Qutbh
hanya ada satu
Ubudiah yang dapat
mengangkat derajat manusia yaitu
Ubudiah kepada Allah
SWT. ada dua
macam Ubudiahpertama, Ubudiah
menyerahkan diri secarah total hanya kepada Allah SWT atau kaffah biasanya
hal seperti ini
akan meperoleh keluhuran,
kemuliaan dan kebebasan. Kedua,
Ubudiah kepada sesama
hamba Allah SWT
hal seperti ini biasanya
akan memproleh dan
menjadi hina, rendah
dan terbelenggu. Ayat
ini melarang meminta pertolongan
kepada musuh-musuh Allah
SWT atau orang kafir, Karena sudah lengkap kalu mau
mencari kemuliaan dan kekuatan hanya ada pada Allah SWT.[11]
C.
Makna
Kata Awliyā’ Dalam Konteks Kepemimpinan Non-Muslim
Pada masa perkembangan dakwah Islam di Madinah, terdapat sedikitnya
tiga kekuatan yang saling berhadapan, yaitu: kekuatan orang beriman (kaum
muslimin) dari kalangan muhajirin dan Anshar, kekuatan ahl al-kitāb(Yahudi dan Nasrani) dan kekuatan kafir
Quraisy di Mekah. Di dalam kekuatan kaum muslimin sendiri, terdapat kekuatan
yang tidak sepenuhnya mendukung perkembangan dakwah Islam, meskipun secara
lahiriah pendukung kekuatan ini menyatakan diri sebagai orang beriman. Mereka
inilah yang disebut sebagai orang-orang munafiq.
Dalam perjalanannya, dua kekuatan terakhir (kekuatan ahl
al-kitābdan kekuatan kafir Quraisy) senantiasa
menghambat perkembangan dakwah
Islam. Mereka tidak rela, agama Islam dan kaum muslim
mendapatkan kejayaan, kemuliaan dan menjadi kekuatan baru yang dominan. Maka,
dalam sejarah banyak didapati upaya-upaya mereka dalam menghambat perkembangan
dakwah, hingga menyebabkan terjadinya peperangan-peperangan, pengkhianatan dan
tipu muslihat yang melibatkan ketiga kekuatan
tersebut. Keadaan tersebut
diperparah dengan munculnya
orang-orang munafiq dalam barisan
kekuatan kaum muslimin,
dimana secara diam-diam
mereka mengadakan persekongkolan, perjanjian kerjasama dengan musuh,
untuk melemahkan kekuatan kaum muslimin. Dengan demikian, kaum muslimin
menghadapi musuhmusuh dari luar maupun dari dalam barisan mereka.
Di sisi lain, masyarakat Arab saat itu hidup dalam budaya kesukuan.
Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (klan). Beberapa kelompok kabilah
membentuk suku dan dipimpin oleh seorang syekh. Mereka sangat menekankan
hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber
kekuatan bagi suatu kabilah atau suku. Bila salah satu suku atau kabilah
diserang atau diganggu, maka kabilah atau suku yang lain segera bangkit membelanya,
baik yang dibela tersebut sebagai pihak yang salah ataupun benar.[12]
Dalam budaya seperti itu, kelompok kabilah atau suku yang besar,
yang memiliki keunggulan kekuatan atau ekonomi menjadi dominan dan berpengaruh.
Oleh karenanya, masing-masing kelompok kabilah atau suku kemudian menjalin
perjanjian persekutuan atau kerjasama untuk saling bela membela satu sama
lainnya saat terjadi perang atau dianiaya. Hal ini diantaranya sebagai upaya
menjamin keselamatan anggota kabilah atau suku tersebut. Maka inilah yang
menjadikan mereka sebagai masyarakat yang memegang teguh janji. Bila suatu
kabilah atau suku sudah berjanji memberikan perlindungan atas keselamatan
seseorang, maka seluruh anggota kabilah atau suku akan membelanya. Dalam
konteks seperti di ataslah, ayat-ayat yang menyinggung masalah muwālah (persahabatan,
mengangkat seseorang menjadi ketua/pemimpin) dengan orang-orang kafir atau non
muslim diturunkan. Sepanjang penelusuran penulis, setidaknya didapati lima ayat
yang dapat dikaitkan dengan konteks kepemimpinan non muslim, yakni: QS.
Ali-‘Imrān [3]: 28, QS. al-Nisā’[4]: 144, QS. al-Māidah [5]: 51, 57 dan QS.
alMumtaḥanah [60]: 1.
Berikut pembahasan masing-masing ayat. Dalam Al-Qur’an surat QS. Ali-‘Imrān [3]: 28, Allah Swt. berfirman;
Sebab turunnya ayat
ini, sebagaimana dijelaskan
Wahbah Zuḥailiy adalah berkenaan
dengan orang-orang munafik yakni ‘Abdullah bin Ubay bin Salūl dan
temantemannya. Mereka bersahabat erat dengan orang Yahudi dan orang-orang
musyrik dan mengirimkan kabar-kabar rahasia kaum muslimin, dengan harapan
mereka dapat mengalahkan Rasulullah saw. Maka turunlah ayat ini, yang melarang
orang beriman berprilaku seperti orang-orang munafik tersebut. Adapun menurut
riwayat dari ibnu ‘Abbas, ayat ini turun berkenaan dengan tindakan ‘Ubādah bin Ṣāmit
al-Anshariy (seorang yang pernah ikut perang Badar dan bai’at Aqabah), ketika
terjadi perang Ahzab. ‘Ubadah pernah mengikat perjanjian untuk saling membantu
dengan lima ratus orang Yahudi, maka ketika perang Ahzab,‘Ubadah berinisiatif
mengusulkan kepada Rasulullah untuk minta bantuan mereka dalam menghadapi
musuh. Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.[13]
Pada ayat-ayat sebelum ayat 28 dalam surat ini, diantaranya berisi
uraian tentang kekuasaan Allah dan pengaturan-Nya terhadap alam raya dan
manusia. Juga mengecam orang-orang Yahudi yang menolak menjadikan kitab suci
sebagai rujukan hukum (ayat 23) dan seterusnya. Begitu hebatnya kuasa Allah dan
amat lemahnya manusia di hadapan Allah, serta buruknya perilaku orang-orang
Yahudi tersebut, maka sangat tidak pantas mengangkat orang-orang seperti itu
sebagai orang yang diserahi wewenang mengurus urusan kaum muslimin.Oleh
karenanya, dalam ayat ini Allah melarang orang beriman untuk menjadikan orang kafir
sebagai teman yang
erat dan meminta
pertolongan mereka. Dengan menjadikan mereka sebagai penolong,
maka itu berarti orang-orang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah Swt.
enggan melihat hamba-Nya yang beriman dalam keadaan lemah.[14]
Bila demikian halnya, meskipun ayat ini turun dalam konteks
melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin yang diberi wewenang menangani urusan orang-orang beriman, namun
larangan tersebut dapat juga mencakup orang yang dinamai muslim yang melakukan
aktivitas bertentangan dengan aturan agama Islam. Sebab larangan ini adalah
karena meskipun orang-orang kafir
tersebut secara lahiriah
bersahabat, menolong dan
bersedia membela kaum muslimin, namun hakikatnya mereka
menyimpan tipu muslihat kepada kaum muslimin. Di tambah lagi pertemanan yang
erat tersebut membuat (orang-orang munafik) mudah menyebarkan rahasia-rahasia
Rasulullah dan kaum muslimin dalam urusan dakwah, yang itu bisa membahayakan
agama Islam dan kaum muslimin sendiri. Namun demikian, ayat ini memberikan
pengecualian bagi orang beriman yang berada di negara musuh, dalam keadaan
takut akan kekuatan musuh. Maka, keadaan yang demikian memberikan kelonggaran
kepada orang beriman tersebut untuk berpurapura menampakkan keakraban atau
menerima kebaikan-kebaikan musuh, karena ia dalam keadaan terpaksa, sementara
hatinya tetap berpegang teguh pada keimanan, demi menolak bahaya bagi diri dan
agamanya.
Hal ini sekaligus mengisyaratkan tentang bolehnya bermu’amalah
dengan non-muslim dengan mu’amalah yang baik, saling menguntungkan dan tidak
memberikan bahaya bagi diri orang beriman maupun agama Islam. Apabila dilihat
asbāb al-nuzūlyang pertama, dalam ayat
ini yang dimaksud menjadikan awliyā’adalah menjalin hubungan akrab dengan
orang-orang Yahudi, sehingga waliitu dijadikan tempat meminta nasihat dan
tempat bercerita, termasuk hal-hal yang sangat pribadi. Maka kata awliyā’ dalam
ayat ini diartikan dengan teman akrab/erat.Sementara apabila dilihat dari asbāb
al-nuzūlriwayat kedua (ibn ‘Abbas), maka larangan menjadikan mereka waliy maksudnya adalah meminta pertolongan
atau bantuan kepada orang Yahudi dalam suatu urusan kaum muslimin, dalam hal
ini bersama-sama memerangi musuh. Dipandang dari satu sisi, meminta bantuan
atau pertolongan kepada musuh untuk menyelesaikan suatu urusan kaum muslimin,
sama halnya dengan memberikan wewenang menangani urusan kaum muslimin, sehingga
musuh tersebut bisa jadi memanfaatkan wewenang tersebut untuk kepentingan
mereka.
Dari sini, kata awliyā’ dapat diartikan dengan pemimpin. Namun di
sisi lain, menurut hemat penulis, apa yang diperbuat sahabat ‘Ubādah
(mengusulkan kepada Nabi saw. meminta pertolongan orang Yahudi), belum sampai
pada semangat bergantung yang sangat terhadap orang-orang Yahudi dan
merendahkan kekuatan orang beriman. Namun barangkali hanya sebatas keinginan
menambah kekuatan pihak pasukan muslimin.Apalagi seperti diketahui, budaya
persekutuan merupakan suatu hal yang lazim bagi orang-orang Arab. Oleh karena
kata awliyā’dalam ayat ini lebih tepat diartikan dengan penolong.
Selaras dengan ayat pertama di atas adalah QS. al-Nisā’[4]: 144, yang berbunyi:
Ayat ini pun melarang orang beriman untuk tidak berprilaku seperti
orang-orang munafik, yaitu orang-orang
yang tidak memiliki
pendirian, kadang-kadang bersatu dengan orang beriman dan
kadang-kadang bersatu dengan orang-orang kafir. Orangorang munafik tersebut
menjadikan orang-orang kafir sebagai teman-teman penolong serta pendukung
mereka, dan tempat mereka menyimpan rahasia, dengan meninggalkanpersahabatan
dan pembelaan orang-orang beriman. Atau tegasnya, lebih berpihak dan condong
kepada orang-orang kafir dibandingkan kepada orang-orangberiman.Konteks ayat
ini bila ayat ini dihubungkan dengan ayat 141 dalam surat yang sama adalah
permusuhan antara orang-orang beriman dengan orang-orang kafir. Di tengah
permusuhan keduanya inilah,
orang-orang munafik mengambil
bagian. Di satu
sisi mereka seolah-olah berpihak kepada orang-orang beriman, dan di sisi
lain mereka juga menampakkan diri sebagai yang berpihak kepada orang-orang
kafir.
Jikalau salah katu pihak dari orang-orang beriman atau orang-orang
kafir memperoleh kemenangan, maka
orang-orang munafik akan
menyatakan bahwa mereka
telah turut andil
dalam kemenangan tersebut. Adapun andil mereka dalam kemenangan
orang-orang kafir ialah dengan membuka rahasia-rahasia orang-orang mukmin dan
menyampaikan hal ihwal mereka kepada orang-orang kafir atau kalau mereka
berperang di pihak orang-orang mukmin mereka berperang tidak dengan sepenuh
hati.[15]
Dengan melihat konteksnya, maka kata awliyā’pada ayat ini lebih
tepat diartikan dengan teman-teman akrab atau penolong. Sebagaimana juga
ditegaskan oleh Rasyīd Ridhā, setelah mengulas maksud ayat ini, bahwa yang dimaksud
awliyā’ di ayat ini adalah pertolongan, yakni meminta pertolongan Yahudi yang
sedang bermusuhan dengan Nabi saw.[16] dan
juga sebagaimana dijelaskan al-Marâghiy, bahwa yang dimaksud awliyā’ di sini
adalah pemberian pertolongan, baik dengan perkataan maupun perbuatan yang
mengandung bahaya bagi kaum muslimin.[17]
Selanjutnya firman Allah dalam QS. al-Māidah [5]: 51
Ayat ini turun berkaitan keadaan dua orang, yaitu:pertama, ‘Ubādah
bin Ṣāmit yang melepaskan diri dari ikatan perjanjian membela orang Yahudi dan
tetap taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kedua,
‘Abdullah bin Ubay,
tokoh munafik yang
memiliki hubungan erat dengan orang Yahudi. Dia berkata; “(saya tidak
mau melepaskan diri dari sumpah setia dengan Yahudi), karena sesungguhnya saya
takut akan timbul bencana yang memerlukan pertolongan mereka.” [18]
Ayat ini pun turun berkenaan sikap munafik yang bersahabat setia
dengan orangorang Yahudi dan Nasrani. Memahami ayat di atas, sebenarnya tidak
bisa dilepaskan dengan ayat berikutnya (ayat 52). Pada ayat 52, dinyatakan
bahwa orang-orang munafik saat menyaksikan pertentangan yang terjadi antara
orang beriman dengan orangorang Yahudi, mereka menyangka orang-orang Yahudi
dapat mengalahkan orang beriman. Maka orang-orang munafiq segera mendekati dan
berbaik hati dengan orangorang Yahudi, dengan harapan diri mereka terhindar
dari bencana yang timbul akibat pertentangan tersebut.Maka ayat ini melarang
seluruh orang-orang beriman untuk menjadikan orangorang Yahudi dan Nasrani
sebagai para penolongnya. Juga tidak boleh mengadakan janji setia dengan mereka
untuk saling menolong, dengan meninggalkan orang-orang beriman lainnya. Siapa
pun yang yang menjadikan mereka sebagai penolong, pembela dengan
mengesampingkan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin lainnya, maka dia
termasuk dalam golongan yang memusuhi tersebut dan berarti pula dia sepaham dan
seagama dengannya sebab dia ridha dengan terhadap apa yang telah diperbuat
musuh tersebut Larangan menjadikan non-muslim sebagai awliyā’ yang
tersebut dalam ayat di
atas, dikemukakan dengan beberapa pengukuhan, yakni: pertama, terdapat larangan
tegas yang menyatakan, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani
sebagai pemimpin-pemimpin. Kedua,
penegasan bahwa sebagian
mereka adalah pemimpin bagi sebagian
yang lain. Ketiga, ancaman bagi mereka yang mengangkat mereka sebagai
pemimpin, bahwa ia
termasuk golongan mereka
serta merupakan orang yang zalim.[19]
Berdasarkan keadaan seperti yang dijelaskan di atas, penulis
menangkap dari sikaporang-orang munafiq tersebut ada semangat bergantung yang
sangat terhadap orangorang Yahudi, sehingga menjadikan diri mereka seolah-olah
dibawah kuasa orang-orang Yahudi. Orang-orang Yahudi itu dianggap sebagai
orang-orang kuat dan menakutkan, sehingga
karenanya orang-orang munafiq
berusaha untuk berkawan
dengan mereka dan mengangkatnya
sebagai kawan pelindung untuk memperkuat barisannya, dengan suatu harapan akan
sangat berguna di hari esok. Sikap seperti itu menunjukkan adanya kasih sayang
dan kecintaan yang sangat, yang menjadikan seseorang tidak dapat tidak, kecuali
tertarik kepadanya, memenuhi kehendaknya dan mengikuti perintahnya. Hal ini di
tunjukkan oleh ucapan mereka “kami takut mendapat
bencana”sebagaimana terekam dalam ayat 52 surat ini. Oleh karenanya,
kata awliyā’dalam ayat ini lebih tepat diartikan sekutu atau pemimpin. Pemimpin
yang dimaksud di sini adalah dalam pengertian luas yakni orang yang memiliki
wewenang guna menyelesaikan urusan orang lain, yang tidak boleh tidak dipenuhi
kehendak dan perintahnya.Berikutnya, masih memiliki kesamaan nada dengan surat
al-Mâidah [5]: 51 yaitu
QS. al-Māidah [5]: 57
Sebab turunnya ayat ini, dalam riwayat oleh Abu Shaykh dan Ibn
Hibban dari Ibn Abbas dikemukakan, bahwa serombongan kaum Yahudi diantaranya
Abu Yasir bin Akhṭab, Nafi’ bin Abi Nafi’ dan Ghazi bin ‘Amr datang menghadap
Rasulullah saw., dan bertanya kepada Rasul, yang mana engkau beriman?”.
Rasulullah saw. menjawab, “Aku beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya’qub dan anak-anaknya, serta apa yang
diberikan kepada Musa, Isa, dan kepada apa-apa yang diberikan kepada nabi-nabi
dari Tuhan mereka. Kami tidak membedabedakan seorangpun diantara mereka dan
hanya kepada-Nya lah kami berserah diri”. Ketika Rasulullah
saw. menyebut nama
Isa, mereka mengingkari
kenabiannya, dan berkata, “Kami
tidak percaya kepada Isa dan tidak percaya kepada orang yang beriman kepada
Isa”. Maka turunlah ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut.[20]
Ayat ini masih dalam satu konteks dengan ayat 51, yaitu suasana
yang tidak harmonis antara ahl al-kitāb (Yahudi dan Nasrani) dan orang-orang
musyrik di satu pihak, dengan orang beriman di pihak lain. Bila pada ayat 51
diterangkan salah satu penyebab larangan itu adalah bahwa sebagian mereka
adalah penolong bagi sebagian yang lain, yang karenanya tidak seorangpun dari
mereka yang memberi pertolongan kepada orang-orang beriman, maka ayat ini juga
memberikan alasan-alasan pelarangan menjadikan mereka awliyā’, yaitu;
orang-orang Yahudi dan Nasrani dan musyrik menjadikan agama Islam sebagai bahan
ejekan dan memandangnya sebagai suatu jenis permainan.Dengan demikian tampak
ayat 57 surat al-Māidah ini memberi penegasan kembali bagi orang beriman atas
larangan berteman akrab dan menjadikan penolong, sekutu Ayat ini turun
berkenaan dengan Ḥaṭib bin Abi Balta’ah yang memberi kabar kepada orang-orang
Quraisy dengan sepucuk surat yang dibawa seorang wanita. Kabar itu berisi
rencana penyerangan Rasulullah saw. dan kaum muslimin. Jibril kemudian memberitahu
Nabi saw., maka
beliau mengirim ‘Ali
bin Abi Ṭalib, Zubair dan Miqdad untuk mengambil
surat dari wanita tersebut. Mereka berhasil mengambilnya. Adapun Ḥaṭib
melakukan hal tersebut adalah untuk untuk mengambil perhatian kaum musyrikin
agar keluarganya yang berada di Mekah dijaga. Karena pada dasarnya
Ḥaṭib bukanlah orang
Mekah asli. Ḥaṭib
menyatakan bahwa ia melakukannya bukan karena ia telah kafir
dan berbuat curang, bukan pula karena Ḥaṭib mencintai kaum musyrikin. Akhirnya
Rasulullah saw. menerima alasannya dan memaafkan Ḥaṭib. Maka turunlah ayat ini,
berkenaan dengan peristiwa tersebut.[21]
Jadi, ayat ini diturunkan berkenaan dengan masalah persahabatan
dengan orangorang musyrik Mekah yang pada waktu itu mereka memerangi Allah dan
Rasul-Nya, dan mengusir orang-orang Islam dari Mekah, justru karena mereka
mengatakan kami beriman kepada Allah. Dalam suasana seperti itu, pemberian
informasi tentang rencanarencana perang, atau hal-hal berkaitan strategi dakwah
tentunya sangat membahayakan posisi kaum mukminin. Maka, orang-orang seperti
ini tidak boleh diajak bersahabat. Bila orang beriman memberikan kasih sayang
kepada musuh yang menolak kebenaran, bahkan membenci kaum muslimin, maka
musuh-musuh itu bila ada kesempatan yang baik pasti akan menumpas gerakan
dakwah Islam.
Sebagaimana ditegaskan dalam ayat ini, larangan berteman akrab
dengan orang-orang kafir oleh Al-Qur’an disertakan dua alasannya, yaitu:
Pertama, waqad kafarū bimā jāakum min al-ḥaq (mereka telah ingkar kepada kebenaran
yang datang kepadamu).Kedua, yukhrijūna rasūlahu wa iyyakum an tu’minū billāhi
rabbikum(mereka mengusir Rasul dan (mengusir)
kamu karena kamu
beriman kepada Allah,
Tuhanmu). Kedua alasan ini
menunjukkan betapa besarnya rasa permusuhan dan ketidakbersahabatan orang-orang
kafir tersebut. Karenanya sangat tidak masuk akal, orang-orang semacam itu
dijadikan pelindung dan teman akrab hanya demi keuntungan pribadi. Bahkan dalam
pandangan masa sekarang, tindakan semacam ini bisa dikategorikan sebagai
pengkhianatan. Bila dilihat asbab nuzul ayat ini, di mana ada keinginan dari Ḥaṭib
yang memang bukan asli Mekah, untuk mengambil perhatian kaum musyrikin dengan
mengirimkan sebuah rahasia agar keluarganya yang berada di Mekah dijaga, bukan
karena ia telah ingkar dan mencintai kaum musyrikin, maka kata awliyā’ pada
ayat ini mengisyaratkan keakraban yang hendak dibangun. Oleh karenanya, lebih
tepat diartikan teman akrab, tempat menyimpan rahasia dan mengharapkan
pertolongan.
Berdasarkan penjelasan terhadap ayat-ayat yang memiliki kaitan
dengan konteks kepemimpinan non muslim diatas, penulis berkesimpulan bahwa
makna kata awliyā’ pada ayat-ayat diatas ialah teman akrab, penolong, dan
pemimpin. Semua makna ini hakikatnya identik, sebab semuanya bermuara pada
unsur kedekatan atau keakraban yang sangat, yang digambarkan Al-Qur’an dengan tulqūna
ilayhim bi al-mawadda (kamu mencurahkan kepada mereka cinta kasih yang
meluap). Bukankah karena dekatnya atau akrabnya, satu pihak menjadikan pihak
lain tempat menyimpan rahasia. Karena unsur kedekatan pula, satu pihak akan
minta pertolongan atau perlindungan kepada pihak lain. Bahkan bisa pula satu
pihak tersebut mengandalkan kemampuan dan kekuatan pihak lain yang menurutnya
mampu mengurusi urusan atau perkara yang sedang dihadapinya, yang dengan
demikian menjadikan pihak lain tersebut pemimpin, pengurus atau pengendali
urusan tersebut. Adapun bila ada yang memandang makna-makna tersebut berbeda,
sebenarnya berkisar pada sudut pandang saja. Sebagaimana diketahui bahwa suatu kata bila diucapkan dalam suatu konteks tertentu, bisa jadi tidak sejalan untuk konteks lain. Atau juga suatu kata yang diucapkan suatu kelompok, belum tentu sesuai dengan yang maksud kelompok lain. Sebagai contoh: kata wali bagi ulama fiqh adalah sebutan untuk seorang ayah yang memiliki hak menikahkan anak perempuannya. Sedangkan bagi ulama sufi, wali adalah sebutan bagi orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Allah, sehingga orang tersebut memiliki karamah (keistimewaan) di luar batas manusia umumnya. Sama halnya dengan kata pemimpin. Di zaman sekarang, kata pemimpin seringkali difahami orang yang menduduki jabatan tertentu baik dalam pemerintahan maupun organisasi. Hal ini berbeda dengan pemahaman sebagian orang yang memahami kata pemimpin dengan orang yang memiliki pengaruh atau kuasa atas orang lain, sehingga dirinya dipatuhi. Yang semacam ini belum tentu menduduki suatu jabatan. Seseorang yang memiliki ilmu, wawasan yang luas, sehingga setiap katanya dan nasehatnya dipatuhi orang lain juga layak disebut pemimpin. Oleh sebab itu, kalaupun kata awliyā’pada ayat-ayat di atas ada yang dimaknai pemimpin, tidak selalu diasosiasikan dengan pemimpin dalam arti formal.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Memaknai auliya’ dalam beberapa
sebutan yaitu allies, protectors, friends dan patron. Allies
dimaknai sekutu, yaitu perkumpulan sekelompok orang yang terancam yang dibentuk
dengan sebuah perjanjian. Adapun friends dimaknai dengan temen dekat. Sedangkan patron
di maknai pelindung dan penyokong, begitupun protectors dimaknai
pelindung juga namun dalam artian menjaga seseorang.
“Auliya” dalam Al Qur’an yang begitu
Banyak di bahas oleh ahli pakar-pakar tafsir untuk kecocokan tafsirnya yang
berkenaan dengan surat
Al-Maidah ayat 51
itu. Masalah inilah yang
membuat peneliti, ingin
meneliti lebih dalam
dari beraga mnya makna Auliya’ dalam Al-Qur’an.Bedasarkan
hasil pra penelitian, Kata Auliya’ dalam Al-Qur’an berjumlah 42 Kali, Yaitu: Ali
Imrān (3): 28, 175; Al-Nisā’ (4): 76,
89, 139, 144; Al-Māidah (5): 51 (2x),
57, 81; Al-A’rāf
(7): 3, 27,
30; Al-Anfāl (8):
34(2x), 72, 73;
AlTaubah (9): 23, 71; Yūnus (10): 62; Hūd (11): 20, 113; Al-Ra’d (13): 16; Al-Isrā’
(17): 97; Al-Kahfi
(18): 50, 102;
Al-Furqān (25): 18;
Al-Ankabūt (29): 41;
AlZumar (39): 3; Al-Syūra (42): 6, 9, 46; Al-Jātsiyah (45): 10, 19; Al-Ahqāf (46): 32; Al-Mumtahanah (60): 1;
Al-Jumu’ah (62): 6; Fushshilat (41): 31; Al -
Baqarah (2): 257; Al-An’ām (6): 121, 128; Al-Ahzab (33): 6
Dalam konteks melarang orang-orang beriman menjadikan orang-orang
Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin yang diberi wewenang menangani urusan
orang-orang beriman, namun larangan tersebut dapat juga mencakup orang yang
dinamai muslim yang melakukan aktivitas bertentangan dengan aturan agama Islam.
Sebab larangan ini adalah karena meskipun orang-orang kafir tersebut
secara lahiriah bersahabat,
menolong dan bersedia
membela kaum muslimin, namun
hakikatnya mereka menyimpan tipu muslihat kepada kaum muslimin. Di tambah lagi
pertemanan yang erat tersebut membuat (orang-orang munafik) mudah menyebarkan
rahasia-rahasia Rasulullah dan kaum muslimin dalam urusan dakwah, yang itu bisa
membahayakan agama Islam dan kaum muslimin sendiri.
[1]A. Warson
Munawwir, Kamus Al-Munawwir, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku PP.
Al-Munawwir, 1984), h. 1334.
[2]Peter salim dan Yenny Salim, Kamus bahasa indonesia kontemporer,
(Jakarta: Modern english Press, 1991), h. 1503.
[3]Ahmad Muttaqin, M.Ag., Ulumul Qur‟an, skripsi Fakultas Ushuluddin:
Institut Agama Islam Negri, Raden Intan Lampung, 2012), h. 24-25
[4]Dadan rusmana, Metode Penelitian Al- Qur‟an dan Tafsir, (Bandung: Pustaka
Setia, 2015), h. 107.
[5]Taufikurahman, kajian tafsir
indonesia dalam mutawatir, Jurnal
keilmuan tafsir hadits Vol. 2, no 1(juni 2012), h. 2
[6]Fatimah Askan,” Kepemimpinan
Non-Muslim dalam Wacana Tafsir Studi Analisis Makna Kata Awliyā’ dalam
Al-Qur’an”, Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan
Tafsir, Volume 2, Nomor 1, 2019, h. 30
[7]5http://www.santricendikia.com/2012/04/sikap-muslim-terhadap-non-muslim.diunduh
pada tanggal 21- 10- 2022 pukul 21.33 wita
[8]Nasaruddin Umar, Deradikalisasi
Pemahaman al-Qur>an dan Hadis, (Jakarta: PT Alex Media Komputindo,
2014), 146.
[9]Nasaruddin Umar, (Jakarta: PT
Alex Media Komputindo, 2014), 146.
[10]Sayyid Qutub, Tafsir
Fi zhilalil Qur‟an dibawah naungan Al-qur‟an,
, jilid 3, (Jakarta: Gema
Insani, 2002), h.103.
[11]Sayyid Qutub, , (Jakarta: Gema Insani, 2002), h.103.
[12]Badri Yatim, Sejarah Peradaban
Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 11
[13]Wahbah Zuḥailiy, Tafsir
al-Wasīth,Juz 1, h. 186-187
[14]M. Quraish
Shihab, Tafsīr al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2,
h. 62.
[15]Departemen
Agama RI, Al-Qur’an wa Tarjamah
Ma’ānīhi ila al-Lughah
alIndonesiyyah,h. 146.
[16]Muḥammad Rasyīd
Ridhā, Tafsīr Al-Qur’an al-‘Aẓīm (yang masyhur dengan Tafsīr al-Manār),
Jilid V, h. 380
[17]Aḥmad Musthafa
al-Marāghiy, Tafsīr al-Marāghiy, diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar,
Juz 5, h. 317.
[18]Wahbah Zuḥailiy, Tafsir
al-Wasīth, Juz 1, h. 469. Lihat juga Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy,Tafsīr
Al-Quran al-Majīd, Jilid 2, h. 1098-1101
[19]M. Quraish Shihab, Tafsir
al-Misbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 3, h. 125.
[20]K.H.Q. Shaleh
dan H.A.A. Dahlan, Asbabun Nuzul, Latar Belakang Historis Turunnya Ayat-ayat Al-Qur’an, h. 199.
[21]Wahbah Zuḥailiy,
Tafsīr al-Wasīth, Juz 3, h. 2633. Lihat juga Muhammad Hasbi
Al-Shiddieqy,Tafsir Al-Quran al-Majid, Jilid 5, h. 4187-4188. Lihat juga
Aḥmad Mustafa al-Marāghiy, Tafsīr alMarāghiy, diterjemahkan oleh Bahrun
Abubakar, juz 28, h. 102-103.