SARANA BERFIKIR ILMIAH pdf

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Semua penalaran yang menggunakan pikiran sudah tentu berpangkal pada logika.   Dengannya,   dapat   diperoleh   hubungan   antar   pernyataan. Namun, tidak semua anggapan atau pernyataan berhubungan dengan logika. Hanya  yang  bernilai  benar  atau  salahlah  yang  bisa  dihubungkan  dengan logika.Sehingga  dalam  sebuah  diskursus  keilmuan,  kajian  seputar  logika memiliki andil yang signifikan terhadap perkembangan hal itu. Terlebih lagi, kondisi  masyarakat  yang  umumnya  cenderung  praktis  tampaknya  telah menuntun  para  pelajar  melupakan  aspek  terpenting  tersebut  dari  diskursus keilmuan.   Padahal    sebuah    konsep    dianggap    ilmiah    jika    mampu membuktikan   validitas   argumennya.[1]

tentunya   yang   terangkai   dalam sistematika  yang  logis  baik  menggunakan  panca  indra  ataupun  lainnya. Sehingga  di  sini  antara  penjelasan  dan  bukti-bukti  terdapat  sebuah  benang merah  yang tidak tergantikan.  Maka  nampaklah  bahwa  penyajian yang baik akan  menjadi keyworddari  kriteria  ilmiah  yang  paling  dasar.  Sehingga ungkapanbahwa  Metode  berpikir  ilmiah  memiliki  peran  penting  dalam mendukung manusia memperoleh cakrawala keilmuan baru dalam menjamin eksistensi  manusia  bukanlah  sebuah  bualan  belaka.  Dengan  menggunakan metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya.[2]


Perkembangan ilmu dan filsafat diawali dari rasa ingin tahu, kemudian meningkatnya rasa ingin tahu, lalu kebiasaan penalaran yang radikal dan divergen yang kemudian terbagi dua yaitu berkembangnya logika Deduktif dan Induktif, selanjutnya gabungan logika deduktif dan induktif yaitu proses Logika, Hipothetico dan Verifikasi, terakhir adalah berkembangnya kreativitas. Berdasarkan perkembangan ilmu abad 20 menjadikan manusia sebagai makhluk istimewa dilihat dari kemajuan berimajinasi. didasarkan atas dasar fungsi berfikir, merasa, cipta talen dan kreativitas. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Untuk melakukan kegiatan ilmiah secara baik perlu sarana berfikir, yang memungkinkan dilakukannya penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Sarana ilmiah pada dasarnya merupakan alat membantu kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Ditinjau dari pola berfikirnya, maka ilmu merupakan gabungan antara pola berfikir deduktif dan berfikir induktif, untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Penalaran ilmiah mengharuskan kita menguasai metode penelitian ilmiah yang pada hakekatnya merupakan pengumpulan fakta untuk mendukung atau menolak hipotesis yang diajukan. Kemampuan berfikir ilmiah yang baik harus didukung oleh penguasaan sarana berfikir ini dengan baik pula.[3]

Berpikir ilmiah adalah kegiatan yang berlangsung secara informal dan dapat digunakan di dalam kehidupan keseharian. Adapun riset adalah serangkaian kerja yang berlangsung sistematis, cermat dan teratur.[4] Hal ini tentu saja berkaitan dengan kenyataan bahwa ilmu berputar pada 3 (tiga) ranah sebagaimana dijelaskan oleh The Liang Gie (1977), yaitu: (1) ilmu sebagai aktifitas, (2) ilmu sebagai metode, dan (3) ilmu sebagai pengetahuan.[5]

Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana yang berupa bahasa, matematika dan statistika. Bahasa merupakan alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dimana bahasa merupakan alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran tersebut kepada orang lain. Ditinjau dari pola berpikirnya maka ilmu merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan berpikir induktif. Untuk itu maka penalaran ilmiah menyadarkan diri kepada proses logika deduktif dan logika induktif. Matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam berpikir deduktif ini sedangkan statistika mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif Berdasarkan pemikiran ini, maka tidak sukar untuk dimengerti mengapa mutu kegiatan keilmuan tidak mencapai taraf yang memuaskan, sekiranya sarana berfikir ilmiahnya memang kurang dikuasai. Melakukan kegiatan ilmiah dengan baik, diperlukan sarana yang berupa bahasa, matematika dan statistik. Hal ini dapat dipahami dengan beberapa pernyataan mengapa bahasa, matematika dan statistika diperlukan dalam kegiatan ilmiah.[6]

Alat-alat yang digunakan dalam sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika, dan statistika. Bahasa merupakan suatu komunikasi verbal. Manusia memerlukan bahasa karena bahasa adalah buah pikiran dari perasaan dan sikap. Bahasa digunakan untuk melakukaan komunikasi ilmiah. Simbol bahasa yang bersifat abstrak memungkinkan manusia untuk memikirkan sesuatu secara berlanjut. Dalam filsafat keilmuan fungsi, memikirkan sesuatu dalam benak tanpa objek yang sedang kita pikirkan membuat manusia berpikir terus menerus dan teratur serta mengkomunikasikan apa yang sedang dia pikirkan. Komunikasi ilmiah memberi informasi pengetahuan berbahasa dengan jelas bahwa makna yang terkandung dalam kata-kata yang digunakan dan diungkapkan secara tersusun (eksplisit) untuk mencegah pemberian makna yang lain.[7]

Dalam hal penalaran kita belum berbicara tentang materi dan sumber pengetahuan. Karena penalaran hanya merupakan cara berpikir tertentu. Untuk melakukan kegiatan analisis maka kegiatan penalaran tersebut harus diisi dengan materi pengetahuan yang berasal dari suatu sumber kebenaran. Pengetahuan yang digunakan dalam penalaran pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta. Mereka yang berpendapat bahwa rasio adalah sumber kebenaran mengembangkan paham yang kemudian disebut rasionalisme. Sedang mereka yang menyatakan bahwa fakta yang terungkap lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran mengembangkan paham empirisme.[8]

Induksi berkaitan dengan empirisme, yakni paham yang memandang fakta yang ditangkap oleh pengalaman manusia sebagai sumber kebenaran. Sementara itu, deduksi berkarib dengan rasionalisme, yaitu paham yang memandang rasio sebagai sumber kebenaran. Dengan demikian, berpikir ilmiah atau metode keilmuan merupakan kombinasi antara empirisme dan rasionalisme.[9] 

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana defenisi sarana berfikir ilamiah ?

2.      Mengapa bahasa, matematika dan statistika diperlukan dalam kegiatan ilmiah?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui sarana berfikir ilmiah

2.      Untuk mengetahui alat dalam proses ilmiah

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Defenisi sarana berfikir ilmiah

Berpikir merupakan kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola yang disebut silogismusatau silogisme. Silogisme tersusun dari dua pernyataan (premis mayor dan premis minor) dan sebuah kesimpulan. Suatu kesimpulan atau pengetahuan akan benar apabila (1) premis mayornya benar, (2) premis minornya benar, dan (3) cara penarikan kesimpulannya pun benar.[10]

Berpikir Ilmiah adalah sebuah metode yang fokus untuk mencapai suatu tujuan berpikir yang optimal. Berpikir Ilmiah juga disebut dengan berpikir kritis Dengan kata lain, berpikir ilmiah merupakan suatu cara berpikir yang sistematis, logis, dan empiris untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Sehingga berpikir ilmiah tersebut menghasilkan pengetahuan yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan. Tujuan berpikir ilmiah tentu saja untuk menghasilkan suatu keputusan dan kesimpulan dari proses berpikir yang sah dan benar. Berpikir ilmiah adalah sebuah proses panjang dan bersifat makro yang terjadi dalam diri seorang manusia. Melewati serangkaian uji kebenaran mulai dari proses pengamatan, perenungan,


pembandingan, pengujian, penarikan keputusan hingga menyimpulkan, semuanya ada dalam satu paket berpikir ilmiah yang dalam interaksinya dengan masyarakat kemudian disebut dengan pengetahuan ilmiah.[11]

Sarana bepikir juga menyandarkan diri pada proses logika deduktif dan proses logika induktif, sebagimana ilmu yang merupakan gabungan antara berpikir deduktif dan induktif. Implikasi proses deduktif dan induktif menggunakan logika ilmiah. Logika ilmiah merupakan sarana berpikir ilmiah yang paling penting Logika adalah sarana untuk berpikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, berpikir logis adalah berpikir sesuai dengan atura-aturan berpikir, seperti setengah tidak boleh lebih besar dari pada satu. Dalam penelitian ilmiah terdapat dua cara penarikan kesimpulan melalui cara kerja logika yaitu adalah induktif dan deduktif. Logika induktif adalah cara penarikan kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum dan rasional. Logika deduktif adalah cara penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum rasional menjadi kasus-kasus yang bersifat khusus sesuai fakta di lapangan.[12]

Untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik maka diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika dan statistika. Salah satu langkah ke arah penguasaan itu adalah mengetahui dengan benar peranan masing-masing sarana berpikir tersebut dalam keseluruhan proses ilmiah. Namun dalam makalah ini sarana berpikir ilmiah akan dikelompokkan menjadi tiga yaitu bahasa, matematika dan statistika, sedangkan pembahasan logika dimasukan dalam ketiga sarana tersebut sebagaimana telah dijelaskan di atas. Adapun sarana berfikir ilmiah adalah bahasa, matematika, statistika dan logika, kekempat sarana berfikir ilmiah ini sangat berperan dalam pembentukan ilmu yang baru.[13]

B.     Bahasa, matematika, logika, dan statistika diperlukan dalam kegiatan ilmiah

1.    Bahasa Sarana Berpikir Ilmiah

Dalam komunikasi ilmiah, tentu yang dipakai adalah bahasa ilmiah, lisan maupun tulisan. Bahasa ilmiah berbeda dengan bahasa sastra, bahasa agama, bahasa percakapan sehari-hari, dan ragam bahasa lainnya. Bahasa sastra sarat dengan keindahan atau estetika. Sementara itu, bahasa agama, dari perspektif theo-oriented, merupakan bahasa kitab suci yang preskriptif dan deskriptif, sedangkan dari perspektif anthropooriented, bisa mengarah pada narasi filsafat atau ilmiah.[14]

Bahasa ilmiah memiliki ciri-ciri tersendiri, yaitu informatif, reproduktif atau intersubjektif, dan antiseptik. Informatif berarti bahwa bahasa ilmiah mengungkapan informasi atau pengetahuan. Informasi atau pengetahuan ini dinyatakan secara eksplisit dan jelas untuk menghindari kesalahpahaman. Maksud ciri reproduktif adalah bahwa pembicara atau penulis menyampaikan informasi yang sama dengan informasi yang diterima oleh pendengar atau pembacanya. Menurut Kemeny, antiseptik berarti bahwa bahasa ilmiah itu objektif dan tidak memuat unsur emotif, kendatipun pada kenyataannya unsur emotif ini sulit dilepaskan dari unsur informatif.[15]

Slamet Iman Santoso mengimbuhkan bahwa bahasa ilmiah itu bersifat deskriptif (descriptive language). Artinya, bahasa ilmiah menjelaskan fakta dan pemikiran; dan pernyataan-pernyataan dalam bahasa ilmiah bisa diuji benar-salahnya. Beerling, Kwee, Mooij, Van Peursen menambahkan ciri intersubjektif,yaitu ungkapan-ungkapan yang dipakai mengandung makna-makna yang sama bagi para pemakainya.[16]

2.    Matematika Sarana Berpikir Ilmiah

Matematika merupakan sarana berpikir ilmiah yang menggunakan pola penalaran deduktif. Sarana berpikir ilmiah ini dalam proses pendidikan kita, merupakan bidang studi tersendiri. Artinya kita mempelajari sarana berpikir ilmiah ini seperti mempelajari berbagai cabang ilmu. Dalam hal ini kita harus memperhatikan dua hal. Pertama, sarana ilmiah bukan merupakan ilmu dalam pengertian bahwa sarana ilmiah itu merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan berdasarkan metode ilmiah. Seperti diketahui bahwa salah satu karakterisitk dari ilmu umpamanya adalah penggunaan berpikir deduktif dan induktif dalam mendapatkan pengetahuan. Sarana berpikir ilmiah tidak mempergunakan cara ini dalam mendapatkan pengetahuannya. Secara lebih tuntas dapat dikatakan bahwa sarana berpikir ilmiah mempunyai metode tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya yang berbeda dengan metode ilmiah.[17]

Selain sebagai bahasa, matematika juga berfungsi sebagai alat berpikir. Ilmu merupakan pengetahuan yang mendasarkan kepada analisis dalam menarik kesimpulan menurut suatu pola berpikir tertentu. Menurut Wittegenstein dalam, matematika merupakan metode berpikir yang logis. Berdasarkan perkembangannya maka masalah yang dihadapi logika makin lama makin rumit dan membutuhkan struktur analisis yang lebih sempurna. Dalam perspektif inilah maka logika berkembang menjadi matematika, sebagaimana yang disimpulkan oleh, "matematika adalah masa kedewasaan logika, sedangkan logika adalah masa kecil matematika"[18]

Peranan matematika sebagai sarana berpikir ilmiah disebutkan dapat diperolehnya kemampuankemampuan sebagai berikut :[19]

a.       Menggunakan algoritma

 Yang termasuk kedalam kemampuan ini antara lain adalah melakukan operasi hitung, operasi himpunan, dan operasi lainya. Juga menghitung ukuran tendensi sentral dari data yang banyak dengan cara manual.

b.      Melakukan manipulasi secara matematika

Yang termasuk kedalam kemampuan ini antara lain adalah menggunakan sifatsifat atau rumus-rumus atau prinsipprinsip atau teorema-teorema kedalam pernyataan matematika .

c.       Mengorganisasikan data

Kemampuan ini antara lain meliputi : mengorganisasikan data atau informasi, misalnya membedakan atau menyebutkan apa yang diketahui dari suatu soal atau masalah dari apa yang ditanyakan.

d.      Memanfatkan simbol, tabel, grafik, dan membuatnya

Kemampuan ini antara lain meliputi : menggunakan simbol, tabel, grafik untuk menunjukan suatu perubahan atau kecenderungan dan membuatnya.

e.       Mengenal dan menemukan pola

Kemampuan ini antara lain meliputi : mengenal pola susunan bilangan dan pola bangun geometri.

f.       Menarik kesimpulan

 Kemampuan ini antara lain meliputi : kemampuan menarik kesimpulan dari suatu hasil hitungan atau pembuktian suatu rumus.

g.      Membuat kalimat atau model matematika

Kemampuan ini antara lain meliputi : kemampuan secara sederhana dari fonemenadalam kehidupan sehari-hari kedalam model matematika atau sebaliknya denganmodel ini diharapkan akan mempermudah penyelesaianya.

h.      Membuat interpretasi bangun geometri

 Kemampuan ini antara lain meliputi : kemampuan menyatakan bagian-bagian dari bangun geometri dasar maupun ruang dan memahami posisi dari bagian.

i.        Memahami pengukuran dan satuannya

 Kemampuan ini antara lain meliputi ; kemampuan memilih satuan ukuran yang tepat, estimasi, mengubah satuan ukuran ke satuan lainnya.

j.        Menggunakan alat hitung dan alat bantu lainya dalam matematika, seperti tabel matematika, kalkulator, dan komputer.

3.    Logika Sarana Berpikir Ilmiah

Perkataan logika berasal dari kata “logos” bahasa Yunani yang berarti kata atau pikiran yang benar. Kalau ditinjau dari segi logat saja, maka ilmu logika itu berarti ilmu berkata benar atau ilmu berpikir benar. Dalam bahasa Arab dinamakan ilmu manthiq yang berarti ilmu bertutur benar10. Dalam Kamus Filsafat, logika – Inggris – logic, Latin: logica, Yunani: logike atau logikos apa yang termasuk ucapan yang dapat dimengerti atau akal budi yang berfungsi baik, teratur, sistematis, dapat dimengerti1. Dalam arti luas logika adalah sebuah metode dan prinsip-prinsip yang dapat memisahkan secara tegas antara penalaran yang benar dengan penalaran yang salah.[20]

Logika sebagai cabang filsafat – adalah cabang filsafat tentang berpikir. Logika membicarakan tentang aturan-aturan berpikir agar dengan aturan-aturan tersebut dapat mengambil kesimpulan yang benar. Dengan mengetahui cara atau aturan-aturan tersebut dapat menghindarkan diri dari kesalahan dalam mengambil keputusan., logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu dan kadang-kadang logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan.[21]

Dengan logika dapat dibedakan antara proses berpikir yang benar dan proses berpikir yang salah, ada tiga aspek penting dalam memahami logika:[22]

a.       Pengertian, pengertian merupakan tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dipahami, atau merupakan hasil pengetahuan hasil pengetahuan manusia mengenai realitas.

b.      Proposisi atau Pernyataan, adalah rangkaian dari pengertian yang dibentuk oleh akal budi, atau merupakan pernyataan mengenai hubungan yang terdapat di antara dua term.

Penalaran, yaitu suatu proses berpikir yang menghasilkan pengetahuan. mengatakan ada dua cara penarikan kesimpulan melalui cara logika yakni Induktif dan Deduktif. Suatu penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara tertentu, cara penarikan kesimpulan itu disebut logika, di mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai pengkajian untuk berpikir secara sahih.  Dalam logika, berpikir dipandang dari sudut kelurusan dan ketepatan , karena berpikir lurus dan tepat, merupakan objek formal logika.[23]

Kegunaan Logika menurut:[24]

a)      Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren.

b)      Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif.

c)      Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri.

d)     Memaksa dan mendorong orang  untuk berpikir sendiri dengan Menggunakan asas-asas sistematis.

e)      Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan kesalahan berpikir, kekeliruan serta kesesatan.

f)       Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian.

g)      Terhindar dari klenik, gugon-tuhon (bahasaJawa)

h)      Apabila sudah mampu berpikir rasional, kritis ,lurus, metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang.

Ketidak puasan atas keilmuan yang dibangun diatas pemikiran awam terus  mendorong  berbagai  disiplin  keilmuan,  salah  satunya  adalah  filsafat. Filsafat mengurai kembali semua asumsi tersebut guna mendapatkan sebuah pengetahuan  yang  hakiki. Setiap  kepala  memiliki  pemikirannya  masing- masing,  begitu  pula  dengan  para  ilmuan,  setiap  individu  merujuk  pada filsatat  yang  sama,  yaitu  penggunaan  metode  Ilmiah  dalam  menyelesaikan sebuah  problematika  keilmuan  yang  mereka  hadapi.Karena  penggunaan metode  ilmiah  dalam  sebuah  wacana  keilmuan  dapat  meringankan  ilmuan dan pengikutnya dalam melacak kebenaran wacana mereka tersebut. Sehigga akhirnya  lahirlah  sebuah  asumsi  bahwa  dalam  pengetahuan  ilmiah  semua kebenaran dapat dipertanggung jawabkan, meskipun hanya atas nama logika. Karena  padahakekatnya  setiap  kebenaran  ilmiah  selalu  diperkuat  dengan adanya  bukti-bukti  empiris  maupun  indrawi  yang  mengikutinya.Sehingga dalam  proses  berfikir  ilmiah  ataupun  sebuah  pencapaian  pemahaman  final perlu ditopang dengan logika.[25]

Penalaran   dalam   fungsinya   sebagai   kegiatan   berfikir   tentunya memiliki  karakteristik  atau  ciri-ciri  tertentu. Pertama,  adanya  pola  berfikir yang  secara  luas  (logis),  hal  inilah  yang  sering  disebut  sebagai  logika. Selanjutnya  dapat  dikatakan  bahwa  setiap  usaha  penalaran  mempunyai logikanya tersendiri karena ia merupakan sebuah proses berfikir. Sehingga Berfikir  secara  logis  dapat  dimaknai  sebagai  suatu  pola,  dan  ketentuan tertentu   yang   digunakan   dalam   proses   berfikir.   Maka   dari   itu   sebuah kerangka logika dalam satu hal tertentu sangat mungkin dianggap tidak logis jika  ditinjau  dari  kerangka  lainnya.  Hal  inilah  yang  menimbulkan  adanya ketidakkonsistenan    dalam    menggunakan    pola    pikir,    yang    akhirnya melahirkan  beberapa  motode  pendekatan  yang  bermacam-macam. Kedua, penalaran    harus    bersifat    analistik,    dengan    maksud    ia    merupakan pencerminan  dari  suatu  proses  berfikir  yang  bersandar  pada  suatu  analisa dan  kerangka  berfikir  tertentu,  dengan  logika  sebagai  pijakannya.  Secara sederhananya poin kedua ini merupakan sebuah proses menganalisa dengan logika  ilmiah  sebagai  pijakannya.  Yang  mana  analisa  sendiri  adalah  suatu kegiatan  berfikir  dengan  langkah-langkah  yang  tertentu.  Sehingga  kegiatan berfikir tidak semuanya berlandaskan pada penalaran. Maka dari itu berfikir dapat  dibedakan  mana  yang  menggunakan  dasar  logika  dan  analisa,  serta mana  yang  tanpa  menggunakan  penalaran  seperti  menggunakan  perasaan, intuisi,  ataupun  hal  lainnya.  Karena  hal-hal  tersebut  bersifat  non-analistik, yang tidak mendasarkan diri pada suatu pola berfikir tertentu.[26]

Pengetahuan    selalu    berkembang    dengan    ukuran-ukuran    yang konkrit,    model,    dan    metodologi,    serta    observasi.    Hingga    dalam perkembangannya   model   dan   cara   berfikir   yang   dianggapkuno   telah memperoleh  gugatan.  Hal  ini  dikarenakan,  tidak  semua  ilmu  pengetahuan dapat  didekati  dengan  cara  yang  sama.  Sehingga  ditemukannya  metode Penalaran  deduktif  yang  diambil  poin  intinya  dan  dirumuskan  secara  singkat,  maka didapatilah bentuk logis pikiran yang disebut silogisme ini. Sehingga penguasaan atas bentuk logis  ini  akan  sangat  membantu  memfokuskan  langkah-langkah  pola  pikirsehingga  terlihat hubungan  sebelum  mencapai  suatu  kesimpulan.[27]

Sehingga  jika  metode  ilmiah  adalah  sebuah prosedur  yang  digunakan  ilmuwan  dalam  mencari  suatu  kebenaran  baru, maka   ia   perlu   dijalankan   secara   sistematis   dan   ditinjau   kembali   dari kacamata  pengetahuan  yang  telah  ada  sebelumnya.  Secara  singkat  metode bernalar dapat digolongkan kedalam dua bentuk yang tampak saling bertolak belakang namun saling melengkapi, yaitu induksi dan deduksi

1.      Penalaran Deduktif (Rasionalisme/Logika Minor)

Penalaran  Deduktif  adalah  suatu  kerangka  atau  cara  berfikir  yang bertolak  darisebuah  asumsi  atau  pernyataan  yang  bersifat  umum  untuk mencapai  sebuah  kesimpulan  yang  bermakna  lebih  khusus.  Ia  sering  pula diartikan  dengan  istilah  logika  minor,  dikarenakan  memperdalami  dasar-dasar  pensesuaian  dalam  pemikiran  dengan  hukum,  rumus  dan  patokan-patokan   tertentu. Pola   penarikan   kesimpulan   dalam   metode   deduktif merujuk  pada  pola  berfikir  yang  disebut  silogisme.  Yaitu  bermula  dari  dua pernyataan   atau   lebih   dengan   sebuah   kesimpulan.   Yang   mana   kedua pernyataan  tersebut sering disebut sebagai premis  minor dan  premis  mayor. Serta selalu diikuti oleh penyimpulan yang diperoleh melalui penalaran dari kedua  premis  tersebut.  Namun  kesimpulan  di  sini  hanya  bernilai  benar  jika kedua  premis  dan  cara  yang  digunakan  juga  benar,  serta  hasilnya  juga menunjukkan  koherensi  data  tersebut. Contoh  dari  penggunaan  premis dalam deduksi: Premis Mayor: Perbuatan yang merugikan orang lain adalah dosa.  Premis  Minor:  Menipu  merugikan  orang  lain.  Kesimpulan:  Menipu adalah  dosa.  Selain  itu,  matematika  sebagai  salah  satu  disiplin  keilmuan yang    yang    menerapkan    prinsip    koherensi    di    dalam    pembuktian kebenarannya.[28]

2.      Penalaran Induktif (Empirisme/Logika Mayor)

Penalaran  induktif  adalah  cara  berfikir  untuk  menarik  kesimpulan dari pengamatan terhadap hal yang bersifat partikular kedalam gejala-gejala yang   bersifat   umum   atau   universal.   Sehingga   dapat   dikatakan   bahwapenalaran  ini  bertolak  dari kenyataan  yang  bersifat  terbatas  dan  khusus  lalu diakhiri  dengan  statemen  yang  bersifat  komplek  dan  umum. Generalisasi adalah  salah  satu  ciri  yang  paling  khas  dalam  metode  induksi.  Hanya  saja, generalisasi  di  sini  tidak  berarti  dengan  mudahnya  suatu  proposisi  yang diangkat  dari  suatu  individu  dibawa  untuk  digeneralisasikan  terhadap  suatu komunitas  yang  lebih  luas.  Justru,  melalui  metode  ini,  diberikan  suatu kemungkinan  untuk  disimpulkan.  Dalam  artian,  bahwa  ada  kemungkinan kesimpulan  itu  benar  tapi  tidak  berarti  bahwa  itu  pasti  benar,  sehingga akhirnya disinilah lahir probabilitas.[29]

Ciri  khas  dari  penalaran  induktif  adalah  generalisasi.  Generalisasi dapat  dilakukan  dengan  dua  metode  yang  berbeda. Pertama,  yang  dikenal dengan  istilah induksi  lengkap,  yaitu  generalisasi  yang  dilakukan  dengan diawali  hal-hal  partikular  yang  mencakup  keseluruhan  jumlah  dari  suatu peristiwa yang diteliti. Seperti dalam kasus: penelitian bahwa di depan setiap rumah   di   desa   ada   pohon   kelapa,   kemudian   digeneralisasikan   dengan pernyataan  umum  “setiap  rumah  di  desa  memiliki  pohon  kelapa.”  Maka generalisasi macam ini tidak bisa diperdebatkan dan tidak pula ragukan.Kedua,  yang  dilakukan  dengan  hanya  sebagian  hal  partikular,  atau bahkan  dengan  hanya  sebuah  hal  khusus.  Poin  kedua  inilah  yang  biasa disebut   dengan induksi  tidak   lengkap.[30]

Dalam   penalaran  induksi  atau penelitian   ilmiah   sering   kali   tidak   memungkinkan   menerapkan   induksi lengkap, oleh karena itu yang lazim digunakan adalah induksi tidak lengkap. Induksi  lengkap  dicapai  manakala  seluruh  kejadian  atau  premis  awalnya telah  diteliti dan diamati secara  mendalam. Namun jika  tidak semua  premis itu  diamati  dengan  teliti,  atau  ada  yang  terlewatkan  dan  terlanjur  sudah diambil suatu kesimpulan umum, maka diperolehlah induksi tidak lengkap. Bahkan  manakala  seseorang  seusai  mengamati  hal-hal  partikular  kemudian mengeneralisasikannya,   maka   sadar   atau   tidak,   ia   telah   menggunakan induksi. Generalisasi di sini mungkin benar mungkin pula salah, namun yang lebih   perlu   dicermati   adalah   agar   tidak   terjadi   sebuah   kecerobohan generalisasi. Misalnya “sarjana luar negeri lebih berkualitas daripada sarjana dalam negeri.” Jenis induksi tidak lengkap inilah yang sering kita dapati. Alasanya sederhana, keterbatasanmanusia.Induksi  sering  pula  diartikan  dengan  istilah  logika  mayor,  karena membahas  pensesuaian  pemikiran  dengan  dunia  empiris,  ia  menguji  hasil usaha    logika    formal    (deduktif),    dengan    membandingkannya    dengan kenyataan  empiris. Sehingga  penganut  paham  empirme  yang  lebih  sering mengembangkan   pengetahuan   bertolak   dari   pengalaman   konkrit.   Yang akhirnya  mereka  beranggapan  satu-satunya  pengetahuan  yang  benar  adalah yang  diperoleh  langsung  dari  pengalaman  nyata.  Dengan  demikian  secara tidak  langsung  penggiat  aliran  inilah  yang  sering  menggunakan  penalaran induktif. Karena Penalaran ini lebih banyak berpijak pada observasi indrawi atau  empiris.[31]

Dengan  kata  lain  penalaran  induktif  adalah  proses  penarikan kesimpulan   dari   kasus-kasus   yang   bersifat   individual   nyata   menjadi kesimpulan  yang  bersifat  umum.70Inilah  alasan  atas  eratnya  ikatan  antara logika induktif dengan istilah generalisasi, serta empirisme.Penarikan  kesimpulan  secara  induktif  menghadapkan  kita  kepada suatu  dilema  tersendiri,  yaitu  banyaknya  kasus  yang  harus  diamati  sampai mengerucut  pada  suatu  kesimpulan  yang general. Sebagai  contohnya  jika kita  ingin  mengetahui  berapa  rata-rata  tinggi  badan  anak  umur  9  tahun  di Indonesia  tentu  cara  paling  logis  adalah  dengan  mengukur  tinggi  seluruh anak  umur  9  tahun  diIndonesia.  Proses  tersebut  tentu  akan  memberikan kesimpulan  yang  dapat  dipertanggung  jawabkan  namun  pelaksanaan  dari proses   ini   sendiri   sudah   menjadi   dilema   yang   tidak   mudah   untuk ditanggulangi.Di   samping   itu,   guna   menghindari   kesalahan   yang   disebabkan karena  generalisasi  yang  terburu,  Bacon  menawarkan  empat  macam  idola atau    godaan    dalam    berfikir: Pertama,idola   tribus,    yaitu    menarik kesimpulan,  tanpa  dasar  yang  cukup.  Artinya,  kesimpulan  diperoleh  darik pengamatan yang kurang mendalam, dan memadai, sehingga ia diambil dari penelitian yang masih dangkal. Kedua, idola spesus, yakni, kesimpulan yang dihasilkan bukan berdasarkan pengamatan yang cukup, namun lebih sebagai hasil  dari  prasangka  belaka. Ketiga,  idola  fori,  poin  ketiga  ini  cukup menarik,   karena   kesimpulan   lahir   hanya   sebatas   mengikuti   anggapan ataupun  opini  public  secara  umum.  Dan  terakhir, idola  theari,  anggapan bahwa dunia ini hanyalah sebatas panggung sandiwara, makanya kesimpulan yang  diambil  hanya  berdasarkan  mitos,  doktrin,  ataupun  lainnya.[32]

BAB III

PENUTUP

1.      Kesimpulan

a.    Berpikir merupakan kegiatan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar. Berpikir ilmiah adalah kegiatan akal yang menggabungkan induksi dan deduksi Induksi adalah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat umum ditarik dari pernyataan-pernyataan atau kasus-kasus yang bersifat khusus; sedangkan, deduksi ialah cara berpikir yang di dalamnya kesimpulan yang bersifat khusus ditarik dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum

b.      sarana  berfikir ilmiah atau berfikir ilmiah tdk terlepas dari peroses berfilsafat atau proses penalaran maupun dunia akademik dalam sarah berfikir ilmiah tidak terlepas dari metode yang di gunakan adalah bahasa sebagai sarana berfikir ilmiah, matematika juga sebagai sarana berfikir ilmiah, serta logika yang juga merupakan sarana berfikir ulmiah yang tidak terlepas dari sebuah pealaran dan penarikan sebuah kesimpulan.

2.      Saran

Makalah ini tidak terlepas dari sebuah kesalan dan kekeliruan dan kuranya refrensi maka dari itu kami butuh sebuah pemahaman baru dari dosen pengajar

[1]Geoge F.Kneller, Introduction to the Philosophy of Education(New York: John Willey  & Son, 1964), 4.

[2]Baca: The Liang Gie, Dari Administrasi ke Filsafat(Yogyakarta: Supersukses, 1982)

 

[3]Muhammad Rijal,” Sarana Berfikir Ilmiah”, Jurnal Biology Science & Education vol 6 no 2 edisi jul-des 2017,h.2

[4]Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2006), h, 34

[5]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, (Jakarta: Liberty, 1977), h, 56

[6]Muhammad Rijal,” Sarana Berfikir Ilmiah”, Jurnal Biology Science & Education vol 6 no 2 edisi jul-des 2017,h.3

`[7]Syampadzi Nurroh, Ilsafat Ilmu Studi Kasus: Telaah Buku Filasafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer) Oleh Jujun S. Suriasumantri, Skripsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2 0 1 7, H, 13

[8] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) h. 45.

[9] Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 105

[10]Charlton Laird, The Miracle of Language, (New York: Fawcett, 1953),h. 49

[11] Joni Harnedi Pengenalan Metode Berpikir Ilmiah Pada Mahasiswa Baru Iain Takengon Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol. 1, No. 2, Agustus, 2022, h, 2

[12] Bachtiar, Amsal. Filsafat Ilmu. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011), h, 43

[13]Salam, Burhanudin, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h, 32

[14]Alif Danya Munsyi, Bahasa Menunjukkan Bangsa (Jakarta: Kepustakaan Gramedia Populer, 2005), h. 196.

[15]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 75.

[16]Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 7

[17]Melinda Rismawati , Mengembangkan Peran Matematika Sebagai Alat Berpikir Ilmiah Melalui Pembelajaran Berbasis Lesson Study, Vox Edukasi, Vol 7, No 2, Nopember 2016, h, 207-208

[18]Russel, On The Philosophy of Science. (New York : the Boobs Merril 1965),h, 76

[19]Suherman, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. (Bandung: JicaUniversita Pendidikan Indonesia 2003),h, 309

[20] Mohammad adib, filsafat ilmu,(yogyakrta pustaka belajar, 2010), h, 101

[21]Louis O. Kattsoff, pengantar filsafat ilmu, (jogyakarta : tirta wacana, 1992)h. 78

[22]Susanto, Filsafat Ilmu : sesuatu kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis, (Jakarta Bumi Aksara, , 2011), 53

[23]Cecep Sumarna, filsafat ilmu, (Bandaung : pt remaja rosdakarya, 2008), h, 68 

[24] Noh Ibrahim Boiliu,filsafat ekssistensi bagi pendidikan agama kristen, jurnal teologi vol 4 no 1 2014 h, .47-48

 

[25]Budi  F.  Hardiman, Filsafat  Modern (Jakarta:  Gramedia,  2004),  lihat  juga:  Jujun  S. Supriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer(Jakarta: Sinar Harapan, 1985), 215

[26]A. Hanafi, Pengantar Filsafat Ilmu(Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 33-35.

[27]barat  logika  adalah  suatubangunan,  maka  proposisi  adalah  batu,  pasir,  dan  semen  yang masih  tercampur dengan hal-hal lain. Mohammad Muslih, “Problem Keilmuan Kontemporer dan Pengaruhnya  Terhadap Dunia Pendidikan”, dalam Tsaqafah  jurnal  Peradaban  Islam, vol.8, Nomor1, April 2012, Gontor, Institu Studi Islam Darussalam (ISID), h, 30.

[28]julia  Branner, Memadu  Metode  Penelitian  Kualitatif  dan  Kuantitatif(Samarinda:  Pustaka Pelajar, 2002)h, 14

[29]Jan  Hendrik  Rapar, Pengantar  Logika: Asas-asas  Penalaran  Sistematis(Yogyakarta: Kanisius, t.th.), 86.

[30]rotasius  Hardono  Hadi,  dan  Kenneth  T.  Gallagher,Epistemologi,Filsafat Pengetahuan(Yogyakarta:Kanisius, 1994), 135

[31]Iskandar  Poeradisastra, Sumbangan Islam kepada Ilmu dan Kebudayaan Modern(Jakarta: Girimukti Pasaka, 1981)h. 113

[32]smail Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan(Washington: International Institute of Islamic Thought, 1982), 38-53.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();