RELASI ISLAM DAN KONVENSIONAL TERHADAP TARDISI MATOMPANG PADA HARI JADI BONE pdf

                                                                        Abstarak

 

Dalam penelitian ini mengkaji persoalan relasi islam dan konvensional tehadap tradisi matompang rajang pada hari jadi bone dengan menggunakan metode penelitian Penelitian Kepustakaan (library research). Adapuan hasial penelitian yaitu: 1. Tradisi ini tercatat sejak abad ke-17 dan masih dilestarikan hingga saat ini. Pada tahun 2019, pemerintah daerah Kabupaten Bone memutuskan untuk mengadakan prosesi ini di Lapangan Merdeka setelah mendapatkan permohonan dari masyarakat Bugis di dalam dan luar kabupaten. Prosesi Mattompang Arajang dipimpin oleh seorang Bissu utama, yang merupakan kelompok waria yang dianggap suci oleh masyarakat Bugis karena memiliki kekuatan supranatural. Tradisi Mattompang Arajang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menyucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone. Beberapa benda pusaka yang disucikan termasuk Teddung Pulaweng (payung emas), Sembangeng Pulaweng (selempang emas), La Tea Riduni (kalewang), La Salaga (tombak), dan Alameng Tatarapeng (senjata adat tujuh atau Ade’Pitu). Masyarakat Bone menyambut baik pelaksanaan tradisi ini karena mereka menganggap benda-benda pusaka tersebut keramat dan tradisi ini merupakan ajang silaturahmi. Pandangan masyarakat terhadap tradisi Mattompang Arajang dapat berbeda. Beberapa orang mengaitkannya.

2. Makna spiritual dalam prosesi mattompang arajang melibatkan keyakinan terhadap hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal tetapi harus dipercaya. Ritual ini menghubungkan manusia dengan alam dan dewa melalui perantara bissu. Mantra-mantra yang diucapkan dalam ritual ini memiliki makna gaib dan menyiratkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah yang harus disembah. Prosesi mattompang arajang juga memiliki makna membersihkan dan mensucikan. Sekali dalam setahun, prosesi ini dilakukan untuk menyucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone yang pernah digunakan oleh para raja. Selain itu, prosesi ini juga mengajarkan para pejabat untuk berfikir jernih dan menjaga hal-hal yang disucikan.

Kata kunci: islam; tradisi; matompang arajang

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Pendahuluan

Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan budaya. Hal ini menyebabkan daerah yang satu dengan daerah yang lain memiliki kebudayaan dan tradisi yang berbeda-beda pula. Demi upaya mengembangkan budaya nasional, nilai-nilai budaya perlu untuk dibina dan dikembangkan. Keanekaragaman budaya merupakan warisan turun temurun dipelihara dan dilestarikan oleh para pelaku budaya. Sebagaimana tercantum dalam UndangUndang Dasar 1945 pasal 32 ayat 1 tentang negara Indonesia, menjamin hak kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.[1]

Menurut Koentjaraningrat unsur-unsur universal dari kebudayaan meliputi: sistem keagamaan dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, seni, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi dan peralatan.[2] Tradisi mattompang arajang merupakan suatu ritual pembersihan bendabenda pusaka yang disakralkan dari kerajaan Bone. Benda-benda tersebut disimpan di sebuah ruangan khusus di Sao raja. Pada upacara sakral ini yakni mattompang arajang, benda-benda pusaka itu disakralkan seperti makhluk hidup karena sebelum masuknya Islam di Kabupaten Bone masyarakat memiliki kepercayaan mengenai adanya Tuhan dengan sebutan “Dewata seuwaE”. Dengan demikian masyarakat Bugis di Watampone pra Islam percaya bahwa raja mereka adalah keturunan dewa yang memiliki kekuatan supranatural, sehingga yang


berhubungan dengan raja termasuk benda-benda peninggalan dianggap memiliki kekuatan gaib dan sangat dihormati.[3]

Mattompang Arajang merupakan tradisi yang dilakukan pada 6 April bertepatan hari jadi Bone. Mattompang Arajang ialah proses yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan kebesaran para leluhur terdahulu. Pertama kali dilakukan saat sang raja telah menggunakan pusaka -pusaka tersebut, maka sang raja menyuruh para pembantunya untuk membersihkan atau menyucikannya kembali. Menurut Dewan Adat Bone, Mattompang Arajang sudah dimulai sejak dulu, namun tidak dilakukan setiap tahun seperti sekarang ini. Mattompang Arajang awalnya dilaksanakan pada masa pemerintahan La Ummasa Raja Bone ke-2 yang memerintah pada tahun 1365-1368 yang dikenal dengan gelar Petta Panre Bessie (Pandai besi). Walaupun hanya memerintah tiga tahun akan tetapi ia telah mewariskan tata cara bagaimana merawat benda tajam terutama perlengkapan perang kemudian kebiasaan itu dilanjutkan oleh raja-raja.[4]

Benda-benda pusaka yang disucikan (ditompang) antara lain teddung pulaweng (payung emas), sembangeng pulaweng (selempang emas), kelewang latea riduni, keris la makkawa, tombak la sagala, kelewang alameng tata rapeng (senjata tradisional tujuh atau ade‟pitu). Pencucian benda pusaka tersebut menggunakan beberapa sumur yang terdapat di Watampone Kabupaten Bone yaitu, sumur laccokkong, sumur lagaroang, sumur pissu, sumur itello, sumur paranie, sumur manurunge ri toro, sumur manurunge ri matajang. Mata air ini dikumpulkan sebagai bahan pembersih benda pusaka.[5]

Berbicara mengenai ritual yang merupakan salah satu cara berkomunikasi. Semua bentuk ritual bersifat komunikatif. Ritual selalu merupakan perilaku simbolik dalam situasi sosial. Oleh karena itu, ritual selalu merupakan suatu cara untuk menyampaikan sesuatu. Menyadari bahwa ritual sebagai salah satu cara dalam berkomunikasi, maka muncul istilah komunikasi ritual. Istilah komunikasi ritual pertama kalinya dicetuskan oleh James W. Carey menyebutkan bahwa, “In a ritual definition, communication is linked to terms such as “sharing,” “participation,” “associaton,” “fellowship,” and “thepossession ofa common faith.” Hal ini berarti, dalam perspektif ritual, komunikasi berkaitan dengan berbagi, partisipasi, pergaulan, persahabatan, dan kepemilikan akan keyakinan yang sama.[6]

Dalam Islam membolehkan beberapa kebiasaan manusia yang tidak bertentangan dengan syariat dan adab Islam atau sejalan dengannya. Oleh karena itu, Rasulullah saw. tidak menghapus semua adat dan budaya masyarakat Arab yang ada sebelum datangnya Islam. Namun, Rasulullah saw. melarang budaya yang mengandung unsur syirik dan budaya yang bertentangan dengan etika Islam.[7] persoalan kebudayaan, tidak muncul tiba-tiba. Istilah tersebut sudah digunakan para pendiri bangsa pada UUD 1945 dalam Pasal 32, yaitu “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, untuk menegaskan bahwa kebudayaan merupakan pilar kehidupan bangsa. Saat terjadi perubahan UUD 1945 pada awal masa reformasi melalui proses amandemen, pemajuan kebudayaan tetap menjadi prioritas bahkan makin ditegaskan. Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan menjadi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Prosesi matomang arajang di kabupaten bone dilakukan secara rutin dalam memperingati hari jadi bone yang dimana prosesi ini bisa dimaknai sebagai kebiasaan secara kenegeraan khususbya di kabupaten bone Maka dari itu penulis tertarik mengkaji hal tersebut.

B.     Rumusan Masalah

1.      Bagaimana hubungan antara Islam dan konvensional dalam konteks penghormatan terhadap tradisi Matompang arajang pada hari jadi Bone?

2.      Bagaimana makna simbolik yang terkandung dalam prosesi mattompang arajang pada hari jadi Bone?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui hubungan antara Islam dan konvensional dalam konteks penghormatan terhadap tradisi Matompang arajang pada hari jadi Bone

2.      Untk mengetahui makna simbolik yang terkandung dalam prosesi mattompang arajang pada hari jadi Bone

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Hubungan antara Islam dan konvensional dalam konteks penghormatan terhadap tradisi Matompang arajang pada hari jadi Bone

Prosesi Mattompang Arajang sendiri sudah lama dilakukan dan sudah tercatat oleh orang luar Bone setidaknya semenjak abad ke-17 (Petri, 1671; terus dilestarikan hingga kini. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, bertepatan dengan Hari Jadi Bone yang ke-689 (pada tahun 2019), Pemerintah Daerah Kabupaten Bone menetapkan bahwa prosesi dilakukan di Lapangan Merdeka mengacu pada permohonan masyarakat Bugis yang ada di dalam dan luar Kabupaten Bone sehingga segenap masyarakat dapat menyaksikannya. Segenap prosesi Mattompang Arajang dipimpin oleh seorang Bissu utama dan diiringi oleh para Bissu bawahannya dan para juru cuci pusaka yang bukan Bissu. Bissu sendiri adalah kelompok waria yang dianggap suci atau disucikan karena diyakini memiliki kekuatan supranatural.[8]

 Meski begitu, Bissu bukanlah serta merta dukun dan tidak setiap waria dapat menjadi Bissu. Intinya adalah bahwa tidak pernah acara Mattompang Arajang dapat terselenggara tanpa kehadiran dan pimpinan Bissu. Sementara dalam pendapat lain, Bissu dianggap sebagai kaum pendeta yang dipandang sebagai separuh manusia dan separuh dewa yang bertindak sebagai penghubung antara alam manusia dan alam para dewa Masyarakat tradisional Bugis sendiri menganggap Bissu sebagai manusia berjenis kelamin yang ke-lima karena dalam budaya Bugis dikenal keberadaan lima jenis kelamin manusia.[9]


Upacara adat Mattompang Arajang atau biasa juga disebut Masossoro Arajang rutin dilaksanakan setiap tahunnya bertepatan dengan hari jadi Bone. Upacara adat sakral  tersebut merupakan menyucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone yang disebut mappepaccing arajang atau dalam istilah Pangadereng RILANGIRIRI dan secara khusus disebut massosoro arajang (mattompang). Mattaompang Arajang pertama kali dilaksanakan, yaitu setiap sang raja telah menggunakan pusaka-pusaka tersebut, maka sang raja menyuruh para pembantunya untuk membersihkan atau menyucikannya kembali. Dari situlah dilakukan secara turun temurun hingga sekarang ini. Yang dimaksud dengan arajang adalah benda atau sekumpulan benda yang sakral karena memiliki nilai magis dan pernah digunakan oleh para raja atau pembesar kerajaan Benda-benda tersebut disimpan secara khusus dan sangat dihormati.Adapun benda-benda pusaka peninggalan kerajaan Bone yang disucikan atau dibersihkan pada saat prosesi mattompang arajang yaitu:[10]

1.    Teddung Pulaweng (Payung Emas)

 Merupakan  payung  pusaka  kerajaan  Bone yang  telah  ada  sejak  zaman kejayaan  raja  Bone XV La Tenri Tatta Arung Palakka (1645-1696). Pusaka  ini  merupakan  suatu  pusaka  karajaan yang  diterima oleh kerajaan Bone sebagai bentuk penghargaan dari kerajaan Pariaman yang merupakan wujud sikap persaudaraan antara kedua kerajaan. Sesudah pemerintahan raja Bone ke-15, maka pusaka ini menjadi suatu alat perlengkapan resmi pengangkatan dan pelantikan raja-raja hingga ke masa raja terakhir

2.    Sembangeng Pulaweng (Selempang Emas)

Merupakan pusaka kerajaan Bone pada masa Raja Bone yang ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Pusaka ini dipersembahkan kepada pemerintah kerajaan Bone sebagai penghargaan atas keberhasilan kerajaan Bone membangun kerja sama dengan raja Pariaman. Pusaka ini kemudian menjadi perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan penobatan raja-raja  Bone. Adapun  susunan dan bentuknya adalah sebagai berikut: Terbuat dari emas berbentuk rantai-rantai yang berbentuk rantai-rantai yang berukuran besar dengan jumlah 63 potongan, panjang 1,77 meter mencapai 5 kg.Pada  ujungnya  tergantung 2  buah  medali  emas bertuliskan    bahasa    belanda  sebagai   tanda penghormatan  kerajaan  belanda  kepada  Arung Palakka raja Bone ke-15.

3.    La Tea Riduni (Kalewang)

Sebuah kalewang yang disebut ALAMENG, sarung serta hulunya berlapis emas dan  dihiasai intan permata. Pusaka ini merupakan pusaka Raja Bone yang ke-15 La Tenri Tatta Arung Palakka. Pusaka selalu di kebumikan bersama raja yang  mengangkat, namun setiap kali itupun memunculkan diri di atas makam yang   diliputi cahaya terang benderang. Sehingga atas kejadian itu, maka pusaka ini  disebut  La Tea Riduni (yang  tak untuk  di  kebumikan). Pusaka ini kemudian di simpan dan mendapatkan pemeliharaan, sertadi pergunakan sebagai perlengkapan resmi dalam upacara pelantikan dan pengangkatan raja-raja Bone.

4.    La Salaga(Tombak)

Merupakan sebuah tombak yang pada pegangan dekat mata tombak dihiasi emas. Tombak ini merupakan simbol kehadiran Raja Bone. Tombak tersebut diberikan nama LA SALAGA dikarenakan pada saat perang raja-raja terdahulu sering menggunakan tombak ini dengan mempunyai kelebihan bahwa pada saat dilepaskan oleh pemiliknya tombak  tersebut akan mencari sasaranya sendiri.

5.    Alameng Tatarapeng (Senjata Adat Tujuh atau Ade’Pitu)

Pusaka kerajaan ini adalah sejenis kalewang yang hulu serta sarungnya berlapis emas, dan merupakan kelengkapan pakaian kebesaran anggota Ade’pitu. Selain itu adapula perlengkapan-perlengkapan yang dipakai oleh Bissu. Bissu adalah sebutan bagi pemimpin agama Bugis kuno yang dipercaya oleh para raja untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan demi memuji sang pencipta

Pandangan masyarakat terhadap tradisi mattompang arajang tentu ada pra dan kontra nya ialah, Kontra nya ialah masyarakat lebih mengaitkan tradisi mattompang arajang dengan agama sebab ada beberapa masyarakat berpandangan bahwa dalam pelaksanaan tradisi mattompang arajang harus dihadirkan bissu dan dimana masyarakat tidak percaya akan hal itu. Orang-orang islam garis keras yang berusaha melihat prosesi ini sebagai syariat padahal nyatanya tradisi ini bukan syariat, sebab tradisi ini merupakan alasan masyarakat bisa bersilaturahmi. Setelah mengetahui ini bersifat syariat kemudian membungkusnya kearah syirik dan itu sifatnya tidak objektif. Sedangkan dari segi pro nya sendiri mengarah pada masyarakat menyambut baik apabila tradisi mattopang arajang dilaksanakan, karena menurut mereka tradisi ini harus sangat amat dilestarikan dari generasi ke generasi. Mereka juga percaya bahwa benda-benda yang di tompang tersebut adalah benda-benda yang mereka anggap keramat apabila benda tersebut tidak di tompang masyarakat percaya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pun juga menganggap tradisi ini ajang silaturahmi.[11]

Tradisi Mattompang arajang disebut selalu menjadi salah satu rangkaian acara yang sangat dinantikan pada momentum hari jadi Bone di mana pada masa Puangta La Ummasa Petta Panre Bessie (Raja yang mulai menempah besi di kerajaan Bone) arajang ditompang karena adanya musuh, wabah, ataupun kemarau Panjang Dengan dilaksanakannya setiap tahunnya maka masyarakat Bone antusias dalam menyambut pelaksanaan tradisi mattompang arajang.[12]

Dalam tradisi matompang arajang pada hari jadi bone memiliki perbedaan pandagan ada kelompok yang mengatakan tidak sejalan nilai-nilai islam ada pula yang sepakat bahwa tradisi matompang arajang hanya sebagai penghormatan kepda leluhur yang telah berjuang dan sebagai pelestraian budaya, namun dalam perosesinya ada beberpapa ritual yang dilakukan yang dianggap bertentangn nilai islam seperti jenis kelamin bissu serta adanya mantra-mantra yang dilakukan sebelum dilakukanya matompang arajang. Penulis beranggapan bahwa sebelum adanya islam di kabupaten bone masyarakat mengenal tuhanya sebagai dewatasewwae yang diartiakan sebgai tuhan yang maha esa atau tunggal. Hal inilah penulis beranggapan tradisi ini sejalan dengan nilai islam. Tradisi ini dilakukan hanya sebagai pengitat terhadap masyarakat bahwa dalam kehidupan ada sosok gaib menciptakan manusia yaitu allah swt, dan Makna yang terkandung dalam ritual Mattompang Arajang adalah bentuk saling menghargai satu sama lain dalam hidup bermasyarakat dan tetap menjaga sopan santun serta etika dalam bermasyarakat, membersihkan diri dan tidak memandang rendah sesama mahluk hidup ciptaan Tuhan. Tidak melaksanakan ritual ini dianggap suatu tanda tidak menghargai raja-raja terdahulu dan tidak mensyukuri nikmat tuhan. Dalam kajian islam membenarka persoalan taradisi yang tidak bertentagan dengan ajaran, Rasulullah saw tidak menghapus seluruh adat dan budaya masyarakat Arab yang ada sebelum kedatangan Islam. Akan tetapi Rasulullah saw. melarang budaya-budaya yang mengandung unsur syirik dan budaya-budaya yang bertentangan dengan adab-adab Islami.

Dari segi hukum positif terkait tradisi dan kebudaan diakui eksistensisnya dalam konstitusi pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban” berdasarkan dari bunyi pasal tersebut tradisi Megoak-goakan merupakan salah satu identitas budaya masyarakat Desa Panji yang perlu dijaga keajegan dan kelestariannya. Sejalan dengan Pasal 38 ayat 2 seperti yang telah dijabarkan di atas, negara wajib menjaga menginventarisasi, dan memelihara Ekspresi Budaya Tradisonal. Hal ini jelas dimaksudkan agar Ekspresi Budaya Tradisonal tidak lekang dimakan zaman dan senantiasa lestari. Sebagai upaya merelevankan dan melestarikan kebudayaan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan atau dalam mereformasi hukum di Indonesia harus bertumpu pada keragaman budaya (Pluralisme budaya) bangsa Indonesia sehingga hukum yang dibentuk dapat memenuhi tuntutan hukum modem sebagaimana mempunyai sifat prefentif, dan fasilitatif. Dengan hukum yang berbasis pada setruktur masyarakat berarti hukum yang dibentuk dapat selaras (bukan sama) dengan pendapat Vog Suvigny yang mengemukakan bahwa hukum merupakan pencerminan "volkgeist" (jiwa rakyat). Satjipto Rahadjo menegaskan bahwa Hukum sebagai sarana kontrol sosial sarat dengan muatan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya sehingga suatu model hukum sebenarnya harus merupakan suatu tatanan yang "sosial sentris. Secara substansial adat istiadat meliputi norma dan hukum. Keduanya bersumber pada nilai budaya yang merupakan tingkatan yang paling tinggi dan paling abstrak. Hukum di dalam realitas harus dilihat sebagai perwujudan dan pencerminan dari setruktur masyarakat tempat, karena adat dan tradisi sebagi dari sumber dari pembentukan peraturan perundang undagan.

B.     Makna simbolik yang terkandung dalam prosesi mattompang arajang pada hari jadi Bone

Dalam tradisi matompang arajang pada hari jadi bone memiliki makna yakni:[13]

1.      Makna spiritual dalam prosesi mattompang arajang ada beberapa hal yang tidak bisa diterima oleh akal, namun harus dipercaya adanya. Pada prosesi puncak mattompang arajang, bissu mengucapkan mantra-mantra kemudian menusuk bagian tubuhnya seperti leher dan tidak meninggalkan bekas luka apapun. Dari situ, nilai-nilai spiritual dipercaya pada tradisi ini, karena bissu juga dianggap sebagai penghubung antara alam manusia dan dewa. Didalam ritual tersebut ada yang tidak bisa diterima oleh akal sehat ataupun logika manusia biasa sebab didalam nya ada mantra-mantra yang diucapkan dan dipercayai memiliki gaib, dengan arti bahwa manusia di muka bumi ini diciptakan oleh hal yang gaib yaitu Allah yang berhak dan wajib di sembah.

2.      Makna membersihkan/mensucikan pada prosesi mattompang arajang dilakukan sekali dalam setahun untuk menyucikan arajang benda-benda pusaka milik kerajaan Bone yang pernah digunakan oleh para raja disucikan dan begitu pula para raja beserta masyarakat nya agar tetap berfikir jernih dan tetap menjaga hal-hal yang disucikan, terutama kepada para pejabat dalam hal ini Bupati Bone agar senantiasa berfikir sehat dalam mengambil segala hal keputusan demi kepentingan masyarakat dan warganya demi mewujudkan cita-cita nenek moyang.

3.      Makna silaturahmi dan persatuan mattompang arajang juga dimaknai sebagai pemersatu semua lapisan masyarakat terutama turunan-turunan raja ataupun pejabat yang berada di luar daerah. Pada saat pelaksanaan prosesi mattompang arajang yang bertepatan pada hari jadi Bone para pejabat dan bupati Bone mengundang para turunan-turunan raja atau pejabat baik yang berada diluar daerah maupun didalam serta masyarakat bone dan unsur-unsur yang masih berkaitan dengan masyarakat terdahulu, maka momentum inilah membuat masyarakat Bone bersatu dalam pelaksanaan tradisi mattompang arajang.

4.      Makna pelestarian budaya prosesi mattompang arajang sebagai tradisi yang turun-temurun oleh para pendahulu-pendahulu masyarakat Bone sebagai tanda adanya perjuangan yang harus selalu dijaga oleh semua masyarakat Bone. Mattompang arajang menjadi aset budaya yang memberi kekhasan di setiap prosesi-prosesinya. Mulai dari awal prosesi sampai dengan berakhirnya tradisi mattompang arajang, adat yang diwariskan para pendahulu-pendahulu masyarakat Bone, kemudian diwariskan kepada anak cucu mereka dengan budaya yang sebagai simbol perjuangan dan sebagai arti rasa kasih sayang dengan sesama yang akan terus dilestarikan dan dijaga sampai generasi yang akan datang.

5.      Makna tarian bissu yang muncul dari tarian sere bissu dilakukan oleh para penari bissu dalam prosesi mattompang arajang yaitu yang pertama, sere alusu menyimbolkan makna tutur kata yang baik merujuk pada hal yang lembut dan sebagai sesama manusia tidak memandang strata sosialnya, kedua sere bibbi menyimbolkan makna dengan manyadari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri sebelum melihat kekurangan orang lain, ketiga sere mangko menyimbolkan makna dengan merangkul dan menyatukan sesama masyarakat, keempat sere lemma menyimbolkan makna santun terhadap sesama, santun terhadap sesama, serta tidak memandang status dalam masyarakat, dan kelima sere maddampu alameng/maggiri menyimbolkan makna mempergunakan senjata dalam hal-hal baik dan menolak hal buruk.

Dalam tradisi matompang arajang pada hari jadi bone sejalan dengan nilai nilai keislam kita liat dari  (Q.S. Al-Hadid:25) sebagi berikut:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيْزَانَ لِيَقُوْمَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ وَأَنْزَلْنَا الْحَدِيْدَ فِيْهِ بَأْسٌ شَدِيْدٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللَّهُ مَنْ يَنْصُرُهُ وَرُسُلَهُ بِالْغَيْبِ إِنَّ اللَّهَ قَوِيٌّ عَزِي

Terjemahnya :

Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa

Ayat di atas menjelaskan bahwa besi memiliki sifat kekuatan, dan Allah menyebutnya sebagai kekuatan yang hebat. Karena kekuatannya memiliki banyak manfaat bagi manusia. Kekuatan besi disebutkan dalam kisah Daud dan Dzulkarnain. Keberadaan besi juga menjadi ujian bagi manusia, apakah akan digunakan untuk menolong agama-Nya dan Rasul-Nya dalam (menegakkan sendi-sendi ajaran Islam) atau sebaliknya akan digunakan untuk menentang ketetapan-ketetapan-Nya. Jika besi dipakai untuk kemaslahatan manusia maka kekuatan yang hebat dari besi itu akan berbuah menjadi kebaikan bagi manusia, namun sebaliknya jika dipakai untuk menentang-Nya maka kerusakan di muka bumi bagi manusia tidak akan terelakkan lagi.

Melihat dari ayat dan makna dari matompang arajang itu sendiri adalah proses merawat dan membersihkan benda pusaka serta sebagai peletrian kebuyaan itu sendiri, pelaksanaan dari matompang arajang juga sebagai bentuk kebiasaan kenegraan yang dilakukan secara rutin dalam memperingati hari jadi bone hal ini merupakan kebiasaan hukum dalam menlankan pemerintahan. Prosesi ini sudah turun temurun dilakukan karena, ritual yang dilakukan memiliki makna spritual yang diaman manusia di muka bumi ini diciptakan oleh hal yang gaib yaitu Allah yang berhak dan wajib di sembah. Dalam prosesinya juga memiliki makna yang sejalan dengan ajaran agama islam seperti prilaku yang baik, tatakrama, sopan santun sesama manusia, persatuan, dan tidak membeda bedakan antar manusia, nilai-nilai inilah yang sengat sejalan dengan ajaran agama islam

BAB III

PENUTUP

1.      Kesimpulan

1.      Tradisi ini tercatat sejak abad ke-17 dan masih dilestarikan hingga saat ini. Pada tahun 2019, pemerintah daerah Kabupaten Bone memutuskan untuk mengadakan prosesi ini di Lapangan Merdeka setelah mendapatkan permohonan dari masyarakat Bugis di dalam dan luar kabupaten. Prosesi Mattompang Arajang dipimpin oleh seorang Bissu utama, yang merupakan kelompok waria yang dianggap suci oleh masyarakat Bugis karena memiliki kekuatan supranatural. Tradisi Mattompang Arajang dilaksanakan setiap tahunnya untuk menyucikan benda-benda pusaka kerajaan Bone. Beberapa benda pusaka yang disucikan termasuk Teddung Pulaweng (payung emas), Sembangeng Pulaweng (selempang emas), La Tea Riduni (kalewang), La Salaga (tombak), dan Alameng Tatarapeng (senjata adat tujuh atau Ade’Pitu). Masyarakat Bone menyambut baik pelaksanaan tradisi ini karena mereka menganggap benda-benda pusaka tersebut keramat dan tradisi ini merupakan ajang silaturahmi. Pandangan masyarakat terhadap tradisi Mattompang Arajang dapat berbeda. Beberapa orang mengaitkannya.

2.      Makna spiritual dalam prosesi mattompang arajang melibatkan keyakinan terhadap hal-hal yang tidak dapat diterima oleh akal tetapi harus dipercaya. Ritual ini menghubungkan manusia dengan alam dan dewa melalui perantara bissu. Mantra-mantra yang diucapkan dalam ritual ini memiliki makna gaib dan menyiratkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah yang harus disembah. Prosesi mattompang arajang juga memiliki makna membersihkan dan mensucikan. Sekali dalam setahun, prosesi ini dilakukan untuk menyucikan


benda-bendapusakakerajaan Bone yang pernah digunakan oleh para raja. mengajarkan para pejabat untuk berfikir jernih dan menjaga hal-hal yang disucikan, demi kepentingan masyarakat.

2.      Saran

Adapuan saran yang ditawarakan dari tulisan ini yaitu:

1.      Dalam prosesi matompang arajang harus tetap meletakkan nilai-nilai keislaman dalam proseseinya serta bisa digunakan sumber hukum

2.  Maka dalam tradisi tersebut biasa diimplemntasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.



                [1]Budiman Sinaga, Hukum Tata Negara (Tatanusa: Tangerang Selatan, 2014), h. 317

                [2]Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 74. 

                [3]Mastanning, ”Mattoana Arajang di Kecamatan Ajangale Kabupaten Bone (tinjauan kebudayaan Islam)”, Jurnal Rihla, Vol. 3, No. 1, (2015): h. 129. 

                [4]https://Bone.go.id/2020/01/31sejarah-penetapan-dan-makna-hari-jadi-Bone/. Diakses pada 15 januari 2024 pukul, 21. 04 wita.

                [5]Indarwati, dkk, “Ritual Mattompang Arajang prosesi penyucian benda pusaka kerajaan Bone (tinjauan semiotic budaya)”, Jurnal Onoma: Pendidikan, Bahasa dan Sastra, Vol.6, No. 2 (2020): h. 657

                [6]Yermia Djefri Manafe. “Komunikasi Ritual pada Budaya Bertani Atoni Pah Meto di Timor-Nusa Tenggara Timur”, Jurnal Komunikasi, Vol. 1 No. 3, (2011): h. 279. 

                [7]Mastanning, Jurnal Rihla, Vol. 3, No. 1, (2015): h. 132. 

                [8]Pelras,  L'oral et l'ecrit dans la tradition Bugis, Asie du Sud-est et Monde. Insulindien 10(2-4), h, 280

                [9]Sharyn, G.. Sex, gender and priests in South Sulawesi, Indonesia. The Newsletter No. 29, International Institute for Asian Studies, Leiden, 2002

                [10]Indarwati, Mariana, Rachman, Ritual Para Bissu, Para Waria Sakti di Kabupaten Bone Jurnal Idiomatik Vol. 2, No. 1, Juni 2019, H, 20-22.

                [11]Nurainun Hamida1 , Zainal Arifin , Eksistensi Tradisi Mattompang Arajang Di Kabupaten Bone (Studi Sosiokultural) Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 2; No.3; November 2022, h, 148

                [12]Mahmud, M. I., Djindar, N. I., Syahdar, F. A., Hakim, B., Mansyur, S., Saiful, A. M., & Sahroni, A. Biografi Lanskap Pusat Kerajaan Bone. WALENNAE: Jurnal Arkeologi Sulawesi Selatan Dan Tenggara, 18(2), 2020, h.  97.

                [13] Nurainun Hamida1 , Zainal Arifin , Eksistensi Tradisi Mattompang Arajang Di Kabupaten Bone (Studi Sosiokultural) Pinisi Journal of Sociology Education Review; Vol. 2; No.3; November 2022, h, 149-150.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama
'; (function() { var dsq = document.createElement('script'); dsq.type = 'text/javascript'; dsq.async = true; dsq.src = '//' + disqus_shortname + '.disqus.com/embed.js'; (document.getElementsByTagName('head')[0] || document.getElementsByTagName('body')[0]).appendChild(dsq); })();