PENEGAKAN HUKUM DAN PENCEGAHAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.    Pendahuluan

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar  biasa dan merusak terhadap sendi sendi kehidupan suatu negara dan bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai macam bencana yang menurut Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.[1]

Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah negara, pejabat negara atapun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Korupsi juga membahayakan terhadap standar moral dan intelektual masyarakat. Ketika korupsi merajalela, maka tidak ada nilai utama atau kemulyaan dalam masyarakat. Theobald menyatakan bahwa korupsi menimbulkan iklim ketamakan, selfishness, dan sinisism.[2] Gejala korupsi muncul ditandai dengan adanya penggunaan kekuasaan dan wewenang publik untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu yang sifatnya melanggar hukum dan norma-norma lainnya, sehingga dari perbuatan tersebut dapat menimbulkan kerugian negara atau perekonomin negara serta orang perorangan atau masyarakat.

B.     Faktor Yang Memepengaruhi Tindak Pidana Korupsi

korupsi dilihat dari karakteristik individual terjadi ketika seorang individu itu serakah atau tidak bisa menahan godaan, lemah dan tidak memiliki etika sebagai seorang pejabat publik, sementara penyebab korupsi dari sisi struktural dikarenakan oleh tiga hal, yakni:

1.    birokrasi atau organisasi yang gagal;  

2.    kualitas keterlibatan masyarakat; dan

3.    keserasian sistem hukum dengan permintaan masyarakat.

Pendapat lain mengenai penyebab korupsi dapat dilihat dari tulisan Bull dan Newell dalam kaitannya dengan korupsi politik. Mereka membagi penyebab korupsi ke dalam empat faktor yang dianggap dapat mewakili faktor-faktor penyebab langsung maupun faktor yang memfasilitasi tumbuhnya korupsi yakni faktor sejarah, struktur dan budaya. Sementara itu, dalam pandangan Shah, terjadinya korupsi di sektor publik akan sangat tergantung kepada sejumlah faktor yakni:

1.      kualitas manajemen sektor publik;

2.      sifat alamiah (kondisi) hubungan akuntabilitas antara pemerintah dan masyarakat;

3.      kerangka hukum; serta

4.      tingkatan proses sektor publik dilengkapi dengan transparansi dan diseminasi informasi

Sejalan dengan hal ini dalam teori GONE ada 4 (empat) faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan kejahata karena :[3]

1.       Greeds (keserakahan), berkaitan dengan adanya prilaku serakah yang secara potensial ada di dalam setiap orang; .

2.       Opportunity (kesempatan), berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk melakukan kecurangan terhadapnya; 

3.       Needs (kebutuhan), berkaitan dengan faktor-faktor yang dibutuhkan oleh individuindividu untuk menujang hidupnya yang wajar;

4.       Exposures (dipamerkan/pengungkapan) berkaitan dengan tindakan atau konsekwensi yang kan dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan kecurangan

Permasalahan korupsi yang telah meluas dan mengakar tidak bisa dilepaskan dari penegakan hukum atas tindak pidana korupsi. Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Misalnya:

a.       faktor hukum yang dibatasi pada undang-undang saja;

b.      faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum;

c.       faktor kebudayaan.[4]

Faktor internal dan eksternal tindak pidana korupsi yaitu:

1.    Sifat Serakah Manusia

Faktor internal penyebab terjadinya korupsi yang pertama, yaitu karena adanya sifat serakah manusia. Setiap manusia memiliki sikap serakah, selalu merasa tidak berkecukupan, dan memiliki hasrat besar untuk memiliki segalanya. Jika tidak dapat mengendalikan diri, maka korupsi akan terjadi dari diri sendiri.

2.    Gaya Hidup yang Konsumtif

Demi diterima dalam lingkungan sosial, banyak orang memilih untuk melakukan gaya hidup yang konsumtif. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya korupsi secara disadari. Perilaku konsumtif adalah perilaku yang suka membeli barang-barang tidak penting, dengan harga yang mahal maupun ekonomis. Perilaku ini dilakukan untuk memenuhi semua keinginan yang sementara.

3.    Dorongan Keluarga

Karena memiliki jabatan yang tinggi, ada beberapa orang yang menyelewengkan jabatannya untuk korupsi. Bahkan pelaku tindak pidana korupsi mendapatkan dorongan dari keluarganya untuk melakukan perbuatan tersebut. Hal ini tentu saja didasari dengan alasan memenuhi kebutuhan keluarga.

4.    Aspek Pemahaman Masyarakat Terhadap Korupsi

Adanya aspek pemahaman masyarakat yang kurang terhadap korupsi, bisa menjadi penyebab terjadinya korupsi. Hal ini dasari karena masyarakat tidak sadar kalau terlibat dalam korupsi, atau menjadi korban utama dalam tindak pidana korupsi. Masyarakat juga kurang paham, jika korupsi dapat dicegah dan diberantas.

5.    Aspek Ekonomi

Penyebab terjadinya korupsi paling sering karena adanya aspek ekonomi. Karena banyaknya kebutuhan untuk hidup dan merasa memiliki pendapatan yang kurang, sehingga ada sebagian orang yang nekat melakukan korupsi. Aspek ekonomi bisa menjadi dasar manusia merasa terdesak untuk mengambil jalan pintas, demi mencukupi kebutuhan dan keinginannya.

6.    Aspek Politis

Aspek politis dapat menyebabkan terjadinya korupsi. Tindakan ini dilakukan karena memiliki jabatan atau kekuasaan yang tinggi di pemerintahan. Demi mempertahankan jabatan dan memenangkan urusan politik, maka banyak orang melakukan tindakan korupsi.

7.    Aspek Organisasi

Penyebab terjadinya korupsi yang terakhir, yaitu karena adanya aspek organisasi. Biasanya hal ini akan didukung karena organisasi tersebut tidak memiliki aturan yang kuat. Organisasi juga tidak memiliki pemimpin yang dapat diteladani. Parahnya, organisasi tidak memiliki lembaga pengawasan dan sistem pengendalian manajemen yang lemah.

D.    Dampak yang Ditimbulkan

Korupsi berdampak sangat buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara karena telah terjadi kebusukan, ketidakjujuran, dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penyimpangan anggaran yang terjadi akibat korupsi telah menurunkan kualitas pelayanan negara kepada masyarakat. Pada tingkat makro, penyimpangan dana masyarakat ke dalam kantong pribadi telah menurunkan kemampuan negara untuk memberikan hal-hal yang bermanfaat untuk masyarakat, seperti: pendidikan, perlindungan lingkungan, penelitian, dan pembangunan. Pada tingkat mikro, korupsi telah meningkatkan ketidakpastian adanya pelayanan yang baik dari pemerintah kepada masyarakat.[5]

Dampak korupsi yang lain bisa berupa:

1.      Runtuhnya akhlak, moral, integritas, dan religiusitas bangsa.

2.      Adanya efek buruk bagi perekonomian negara.

3.      Korupsi memberi kontribusi bagi matinya etos kerja masyarakat.

4.      Terjadinya eksploitasi sumberdaya alam oleh segelintir orang.

5.      Memiliki dampak sosial dengan merosotnya human capital

Korupsi selalu membawa konsekuensi negatif terhadap proses demokratisasi dan pembangunan, sebab korupsi telah mendelegetimasi dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik melalui money-politik. Korupsi juga telah mendistorsi pengambilan keputusan pada kebijakan publik, tiadanya akuntabilitas publik serta menafikan the rule of law. Di sisi lain, korupsi menyebabkan berbagai proyek pembangunan dan fasilitas umum bermutu rendah serta tidak sesuai dengan kebutuhan yang semestinya, sehingga menghambat pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan.[6]

Adapun dampat lain yang di timbulkan tindak pidana korupsi yaitu:

a.       Bidang Demokrasi

Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidakseimbangan dalam pelayanan  masyarakat.

b.      Bidang Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dan mengurangi kualitas  pelayanan pemerintahan. Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun  ada  yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul  berkesimpulan  bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan  baru. Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan 

c.       Bidang Kesejahteraan Negara

Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.  Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil. Politikus-politikus "pro-bisnis" ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada  kampanye pemilu mereka.[7]

Tindak pidana korupsi banayak menimbulkan dampak dalam berbagi sektor misalnya dari sisi ekonomi, dampaknya yaitu lesunya pertumbuhan ekonomi dan investasi, penurunan produktivitas, rendahnya kualitas barang dan jasa publik, menurunnya pendapatan negara dari sektor pajak dan meningkatnya hutang pemerintah. Sedangkan untuk sisi Sosial bahwa korupsi merupakan penyebab kemiskinan, tercermin dari Mahalnya harga jasa dan pelayanan publik, Pengentasan kemiskinan semakin lambat, terbatasnya akses masyarakat miskin, meningkatnya angka kriminalitas, dan yang terakhir yaitu terlihat dari solidaritas sosial yang semakin langka, korupsi menggerogoti keuangan Negara dan mempengaruhi secara negatif penetapan kebijakan oleh institusi penyelenggara negara, menghambat keberhasilan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut Suhardjanto masyarakat menjadi korban utama adanya kasus korupsi di kalangan pemerintahan karena uang yang dibayarkan lewat pajak telah hilang, namun pelayanan publik yang ada kualitasnya pun berkurang. Korupsi juga menyebabkan efek berkepanjangan seperti inefisiensi penyelenggaraan kegiatan pemerintah, proses demokrasi yang menurun, terpuruknya pembangunan ekonomi, menjamurnya gelandangan, serta terjadinya degradasi moral negeri

E.     Solusi

Pemberantasan korupsi menghadapi berbagai kendala, namun upaya pemberantasan korupsi harus terus-menerus dilakukan dengan melakukan berbagai perubahan dan perbaikan. Perbaikan dan perubahan tersebut antara lain terkait dengan lembaga yang menangani korupsi agar selalu kompak dan tidak sektoral, upaya-upaya pencegahan juga terus dilakukan, kualitas SDM perlu ditingkatkan, kesejahteraan para penegak hukum menjadi prioritas. Meskipun tidak menjamin korupsi menjadi berkurang, perlu dipikirkan untuk melakukan revisi secara komprehensif terhadap UndangUndang tentang Pemberantasan Korupsi.

Pola tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tingkah laku atau tindakan yang tidak bermoral, tidak etis, dan/atau melanggar hukum untuk kepentingan pribadi dan/atau golongan yang merugikan keuangan negara, maka untuk memberantas tindak pidana korupsi tersebut, di samping mengoptimalkan hukum pidana, juga harus menggunakan sarana hukum perdata. Proses perdata dilakukan dalam pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen civil forfeiture. Civil forfeiture menjadi suatu alternatif yang sangat baik apabila jalur pidana tidak berhasil. Bahkan dalam praktiknya, ditemukan bahwa prosedur civil forfeiture dinilai lebih efektif dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri, meskipun prosedur ini tidak luput dari berbagai kelemahan seperti lambat dan biaya tinggi.

Model civil forfeiture adalah model yang menggunakan pembalikan beban pembuktian. Model ini merupakan model yang memfokuskan pada gugatan terhadap asset, bukan mengejar pelaku (tersangka). Penyitaan dengan menggunakan model civil forveiture ini lebih cepat setelah diduga adanya hubungan aset dengan tindak pidana sehingga aset negara dapat diselamatkan meskipun tersangka telah melarikan diri atau meninggal dunia. Pada prinsipnya civil forfeture adalah “hak negara harus kembali ke negara demi kesejahteraan rakyat”. Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju bisa dijadikan wacana bagi Indonesia karena civil forfeiture dapat memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasuskasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu, seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan civil forfeiture karena objeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga koruptor yang sakit, hilang, atau meninggal bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.



                [1]Nyoman Sarekat Putra Jaya. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2008), h. 69.

                [2]Robin Theobald, 1990, Corruption, Development and Underdevelopment, London: The McMillan Press Ltd., hlm. 112; Syed Hussein Alatas, 1995, Rasuah; Sifat, Sebab, dan Fungsi, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, hlm. 183.

                [3]Marwan Effendi, Korupsi & Strategi Nasional Pencegahan serta Pemberantasannya, Referensi, h. 26

                [4]Masyhudi, Sistem Integritas Nasional Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Buku Kompas, h, 25

                [5]Nadiatus Salama, Fenomena Korupsi Indonesia (Kajian Mengenai Motif dan Proses Terjadinya Korupsi), Pusat Penelitian IAIN Walisongo Semarang, 2010, h.25

                [6]Ibnu Santoso, Memburu Tikus-Tikus Otonom, (Yogyakarta,  Penerbit Gava Media, Cet I, 2011), h. 9

                [7]Bandaharo Saifuddin, Jurnal Warta 52 April, 2017, h, 8-9Dampak Dan Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Jurnal Warta 52 April, 2017, h, 8-9

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama