Mens Rea Antara Niat Jahat dan Hak Konstitusional

Mens Rea dalam Kritik Tom Lembong: Antara Niat Jahat dan Hak Konstitusional

Dalam dunia hukum pidana, terdapat satu prinsip klasik yang menjadi fondasi untuk menentukan apakah suatu tindakan dapat dianggap sebagai tindak pidana atau bukan: mens rea. Dalam bahasa Latin, mens rea berarti “niat jahat”, yakni unsur kesengajaan atau kehendak batin pelaku dalam melakukan suatu perbuatan melawan hukum. Prinsip ini menjadi syarat penting dalam menentukan pertanggungjawaban pidana, selain unsur actus reus (perbuatan fisik).

Belakangan ini, prinsip mens rea kembali relevan dalam wacana publik seiring mencuatnya kritik dari Tom Lembong, mantan Kepala BKPM sekaligus ekonom kawakan, terhadap kebijakan pemerintah khususnya proyek pemindahan ibu kota negara (IKN). Kritik yang disampaikannya melalui media sosial dan forum publik dianggap oleh sebagian pihak sebagai tindakan yang “mengganggu stabilitas”, “tidak etis”, bahkan “berpotensi memecah belah”.

Tidak sedikit pula yang menuntut agar kritik tersebut diusut secara hukum, menyamakannya dengan penyebaran berita bohong atau perbuatan melawan hukum lainnya. Tetapi di sinilah urgensi kita mengkaji kembali: apakah kritik seperti yang dilakukan Tom Lembong dapat dipidana? Apakah dalam tindakannya terdapat mens rea? Atau justru ini adalah bentuk ekspresi konstitusional yang dijamin undang-undang?

Baca Juga: https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/sengketa-kewenangan-antar-lembaga-negara.html

Dalam teori hukum pidana, mens rea adalah salah satu unsur subjektif yang mutlak diperlukan untuk membuktikan adanya tindak pidana. Ia mengacu pada keadaan batin seseorang pada saat melakukan perbuatan pidana, baik ada kesengajaan ( dolus ) atau kelalaian ( culpa ). Bersama dengan actus reus (perbuatan lahiriah), mens rea membentuk konstruksi dasar pemidanaan modern.

Menurut Prof. Andi Hamzah, mens rea membedakan antara “orang yang benar-benar berniat merugikan negara” dan “orang yang melakukan kesalahan administratif tanpa niat jahat.” Dalam praktiknya, membuktikan manusia jauh lebih kompleks daripada membuktikan actus reus karena harus menyentuh motif, kesadaran, dan intensitas batin penipu.

Mens Rea: Unsur Niat Jahat yang Harus Terbukti

Dalam hukum pidana modern, khususnya di Indonesia, seseorang tidak dapat dipidana hanya karena perbuatannya secara objektif merugikan negara, pemerintah, atau kelompok tertentu. Diperlukan pula unsur subjektif, yaitu niat untuk melakukan kejahatan. Niat inilah yang dikenal sebagai mens rea.

Mens rea dibedakan ke dalam beberapa bentuk:

  • Dolus (kesengajaan penuh),

  • Dolus eventualis (kesengajaan dengan kemungkinan),

  • Culpa (kelalaian),

  • dan negligence (kelalaian berat).

Dalam konteks kritik terhadap kebijakan publik, terlebih bila dilakukan oleh tokoh intelektual atau mantan pejabat, sangat sulit untuk membuktikan adanya niat jahat secara pidana. Kritik yang dilontarkan Tom Lembong—baik terhadap aspek pembiayaan proyek IKN, dampak lingkungan, maupun keberlanjutan fiskal—didasarkan pada analisis ekonomi dan data publik. Ia tidak menyebarkan kebohongan, tidak menghasut untuk melawan hukum, dan tidak menunjukkan adanya motif untuk menghancurkan negara.

Apakah bisa dikatakan ada mens rea dalam tindakannya? Secara hukum, tidak.

Mengkritik kebijakan negara adalah hak setiap warga negara yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Maka jika suatu kritik dilakukan dalam kerangka konstitusional dan tanpa adanya unsur kebencian atau kebohongan, tidak ada dasar hukum pidana yang dapat menjeratnya.

Politik Hukum vs Prinsip Legalitas

Masalah menjadi rumit ketika hukum tidak hanya dijalankan berdasarkan asas-asas legalitas, tetapi juga oleh pertimbangan-pertimbangan politis. Beberapa pasal karet seperti Pasal 14 dan 15 UU No. 1 Tahun 1946 (berita bohong yang dapat menyebabkan keonaran), atau pasal ujaran kebencian dalam UU ITE, kerap digunakan untuk menjerat kritik publik. Namun bila pasal-pasal ini diterapkan terhadap Tom Lembong, maka harus dibuktikan pula mens rea-nya, yaitu bahwa ia dengan sengaja ingin menciptakan kegaduhan atau kerusuhan.

Apakah kritik terhadap proyek IKN termasuk “keonaran”? Apakah argumen ekonomi bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian? Apakah perbedaan pendapat dengan pemerintah menjadi alasan cukup untuk menyatakan bahwa seseorang memiliki niat jahat?

Dalam sistem hukum yang sehat, jawabannya: tidak.

Dalam hukum pidana, berlaku asas nullum crimen sine culpa (tidak ada kejahatan tanpa kesalahan). Artinya, negara tidak boleh menghukum seseorang tanpa adanya niat jahat atau kelalaian berat yang terbukti secara sah dan meyakinkan. Kritik, selama tidak bersifat fitnah atau hasutan kekerasan, tidak boleh serta-merta dikriminalisasi hanya karena bertentangan dengan arus kebijakan negara.

Mens Rea dan Bahaya Kriminalisasi Ekspresi

Jika negara mulai memaksakan penerapan hukum pidana terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik berbasis ilmu dan etika, maka ini menandai pergeseran hukum ke arah represif. Negara tidak lagi menjadikan hukum sebagai pelindung hak, tetapi sebagai alat kontrol sosial-politik. Ini merupakan kemunduran besar bagi negara hukum dan demokrasi.

Dalam konteks ini, mens rea yang justru patut dicurigai adalah milik mereka yang ingin memaksakan tafsir tunggal terhadap semua perbedaan pandangan. Ada niat untuk membungkam. Ada kehendak untuk menyingkirkan oposisi moral. Ada kesengajaan untuk membuat hukum menjadi alat stigmatisasi.

Maka pertanyaan yang lebih relevan bukan lagi apakah Tom Lembong memiliki mens rea, tetapi: apakah aparat penegak hukum dan elite politik yang ingin membungkamnya memiliki mens rea untuk menyalahgunakan hukum?

Baca Juga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/penafsiran-konstitusi-oleh-hakim.html

Pandangan Ahli: Kesalahan Kebijakan Bukan Selalu Pidana

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada, Prof. Eddy OS Hiariej (sebelum menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM), pernah menekankan bahwa “tidak semua tindakan yang merugikan negara adalah tindak pidana.” Dalam konteks itu, ia mengutip prinsip tidak ada kejahatan tanpa mens rea . Tanpa bukti niat jahat atau kesengajaan, maka tindakan hanya masuk ke ranah administrasi atau etik.

Senada, Prof. Romli Atmasasmita menyebut bahwa kebijakan kriminalisasi adalah bahaya laten dalam demokrasi. Ia mengingatkan bahwa aparat penegak hukum perlu ekstra hati-hati agar tidak mematikan kreativitas pejabat publik yang memang harus berani mengambil risiko dalam menjalankannya.

Penutup: Menyelamatkan Hukum dari Penyalahgunaan Kekuasaan

Kasus kritik Tom Lembong adalah contoh nyata betapa pentingnya menjaga hukum tetap berada di jalurnya: adil, proporsional, dan berbasis bukti. Kritik terhadap kebijakan publik tidak boleh dipidanakan hanya karena berbeda pendapat. Apalagi bila tidak ada niat jahat di baliknya.

Mens rea adalah prinsip kunci dalam keadilan pidana. Tanpa bukti niat jahat, maka tidak ada dasar untuk menyatakan seseorang bersalah. Dan dalam kasus Tom Lembong, tidak ditemukan indikasi bahwa ia bertindak dengan niat jahat terhadap negara. Ia menyuarakan kegelisahan intelektualnya, sesuai dengan hak dan tanggung jawab moralnya sebagai warga negara.

Hukum bukan alat kekuasaan. Ia adalah penjaga keadilan. Jika kita mulai menuduh kritik sebagai kejahatan, maka kita sedang membuka pintu menuju negara otoriter. Dan jika mens rea dipaksakan hanya berdasarkan tafsir politik, maka hukum akan kehilangan legitimasi di mata rakyat.

Baca juga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/netralitas-mk-sebagai-penjaga-konstitusi.html

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama