Amnesti dan Abolisi

Amnesti dan Abolisi: Antara Keadilan Hukum dan Kepentingan Politik



Hukum yang adil bukan hanya soal aturan, tapi juga soal arah dan niat kekuasaan.

Pemberian amnesti dan abolisi bukanlah hal asing dalam konstitusi dan praktik kenegaraan di Indonesia. Dua instrumen hukum ini, yang memiliki kekuatan membatalkan proses hukum pidana, sering kali menimbulkan perdebatan: apakah ia merupakan bentuk pemulihan keadilan, atau justru menjadi alat politik kekuasaan?

Secara normatif, Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa:

Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

  • Amnesti: Penghapusan hukuman pidana terhadap sekelompok orang untuk tindak pidana tertentu, biasanya yang bersifat politis.
  • Abolisi: Penghapusan proses hukum terhadap seseorang atau kelompok yang sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, atau persidangan.

Keduanya adalah hak prerogatif presiden, namun tidak absolut, karena harus dengan pertimbangan DPR.

Baca Juga: https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/mens-rea-antara-niat-jahat-dan-hak.html

Pemberian amnesti dan abolisi secara ideal bertujuan:

  • Menyelesaikan konflik politik atau sosial.
  • Mendorong rekonsiliasi nasional.
  • Menghindari konflik berkepanjangan.
  • Mengoreksi proses hukum yang bermuatan kepentingan kekuasaan di masa lalu.

Namun, dalam praktiknya, mekanisme ini juga sangat rawan digunakan untuk kepentingan politis.

Pihak yang Mendukung pemberian amnesti dan abolisi biasanya mengusung argumen:

  1. Restoratif dan kemanusiaan: Mencegah kriminalisasi terhadap aktivis, tokoh politik, atau individu yang menjadi korban ketidakadilan struktural.
  2. Stabilitas politik: Dalam kasus tertentu, amnesti mampu meredam potensi konflik horizontal atau vertikal di tengah masyarakat.
  3. Koreksi hukum: Mengintervensi proses hukum yang sarat pelanggaran prinsip keadilan dan HAM.

Pihak yang Menolak atau mengkritisi:

  1. Pelemahan supremasi hukum: Tindakan ini dianggap mencederai independensi penegakan hukum dan membuat hukum tunduk pada kekuasaan.
  2. Intervensi politis: Presiden dan DPR bisa menggunakan kewenangan ini sebagai alat tawar dalam perjanjian politik.
  3. Mendorong impunitas: Amnesti dan abolisi dapat membuka ruang bagi pelaku pelanggaran hukum untuk lepas dari tanggung jawab.

  • Prof. Jimly Asshiddiqie, Guru Besar Hukum Tata Negara:      Amnesti dan abolisi adalah instrumen konstitusional, tapi harus digunakan dalam batas moral dan keadilan, bukan sekadar akomodasi politik.

  • Prof. Mahfud MD, mantan Ketua MK dan Menkopolhukam:         Kita harus bedakan: apakah orang tersebut dikriminalisasi karena perjuangan politik yang sah, atau memang melakukan tindak pidana umum. Kalau hanya karena beda pendapat, itu masuk wilayah kebebasan sipil.

  • Dr. Margarito Kamis, pakar hukum tata negara:                              DPR jangan hanya jadi stempel. Pemberian amnesti dan abolisi harus diuji secara kritis, agar tidak menjadi preseden buruk.

Jika pemberian amnesti dan abolisi tidak disertai pertimbangan hukum objektif dan transparansi publik, maka akan timbul implikasi serius:

  1. Preseden hukum buruk: Kasus serupa akan menuntut perlakuan yang sama. Negara akan kehilangan konsistensi dalam penegakan hukum.
  2. Politik balas budi: Pemanfaatan amnesti untuk menguntungkan sekutu politik berpotensi menciptakan oligarki hukum.
  • Menurunnya kepercayaan publik: Masyarakat menjadi skeptis terhadap sistem hukum, karena hukum bisa dinegosiasikan melalui kekuasaan.Amnesti 1961 untuk pemberontak PRRI/Permesta: Sukses meredam konflik nasional, tapi jadi alat kompromi politik Orde Lama.
  • Amnesti untuk Din Minimi (2015): Mengundang kritik karena dilakukan pada kelompok bersenjata tanpa pertanggungjawaban hukum yang jelas.
  • Kasus Baiq Nuril (2019): Diberikan amnesti atas putusan pidana UU ITE yang dinilai tidak adil. Kasus ini justru menegaskan fungsi kemanusiaan amnesti.

Namun, jika ke depan amnesti digunakan untuk tokoh politik tertentu, bukan tidak mungkin kasus korupsi atau pidana politik lain akan “dimutihkan” melalui jalur yang sama.

Baca juga:https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/sengketa-kewenangan-antar-lembaga-negara.html

Syarat dan Ketentuan Pemberian Amnesti dan Abolisi

Meskipun tidak dirinci dalam UUD 1945, dalam praktik konstitusional dan perbandingan internasional, syarat ideal yang harus dipenuhi antara lain:

  • Ada dasar kemanusiaan atau konflik politik.
  • Tidak menyangkut pelanggaran HAM berat atau korupsi besar.
  • Berdasarkan rekomendasi lembaga independen (misalnya Komnas HAM, LPSK).
  • Melalui proses transparan dan akuntabel.
  • DPR memberikan persetujuan terbuka, bukan hanya formalitas.

Pemberian amnesti dan abolisi di Indonesia harus dikembalikan pada roh keadilan konstitusional, bukan alat dagang politik sesaat. Presiden dan DPR memiliki tanggung jawab besar agar keputusan ini:

  • Menjaga integritas hukum dan demokrasi.
  • Tidak digunakan sebagai mekanisme politik transaksional.
  • Tidak menjadi jalan pintas bagi kelompok yang ingin “membersihkan dosa” hukum demi kelangsungan kekuasaan.

Di tengah arus politik yang semakin transaksional, publik harus melek hukum dan kritis terhadap langkah-langkah negara yang menyangkut pemutihan tindak pidana atas nama rekonsiliasi.

Amnesti dan abolisi memang legal. Tapi belum tentu adil.Karena hukum bukan hanya soal pasal. Tapi soal keberanian mempertahankan integritas di tengah godaan kekuasaan.

Baca Juga: https://www.mahasiswahukum.site/2025/07/sengketa-kewenangan-antar-lembaga-negara.html


Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama